September 2025

 




Minggu Biasa XXV/C/II, 

Cerdik dan Licik Menggunakan Uang

Amsal 8:4-7

Mazmur 113:1-2.4-6.7-8

1 Timoteus 2:1-8

Lukas 16:1-13



*********************

 

Pada suatu hari, seorang pimpro jatuh sakit dan diantar ke Rumah Sakit Elisabet Medan untuk berobat. Setelah hasil rotgen diperiksa secara teliti, dokter bertanya kepada pimpro ini, ”Apakah bapak adalah pimpro jembatan yang baru-baru ini ambruk ketika dilewati truk yang memuat kelapa sawit?

Dengan polos pimpro itu menjawab, “Benar, dokter. Bagaimana dokter biasa tahu? Padahal dokter ada di Medan, sedangkan saya ada di Tanah Jawa, Pematangsiantar?

Dokter menjawab, ”Dalam surat kabar yang saya baca dijelaskan bahwa jembatan yang bapak bangun itu tidak kokoh karena kurang batu penyangganya. Padahal dana yang dipersiapkan miliaran. Hasil rotgen dengan jelas menunjukkan bahwa batu-batu itu, saat ini ada di dalam tubuh bapak. Bapak menderita penyakit kencing batu. Jelas terlihat di sini … ada beberapa batu di ginjal bagian kiri dan hati bapak juga ternyata mengeras seperti batu, karena batu yang sesungguhnya digunakan untuk membangun tiang penyangga dimasukan dalam hati bapak.

******************

 

Pimpro dalam kisah ini sangat cerdik mengatur anggaran proyeknya. Dia lihai bertimbang dan berhitung. Dia cerdik dan licik melakukan banyak cara, menerapkan aneka strategi untuk meraup keuntungan pribadi. Kecerdikan dan kelicikannya adalah kecerdikan anak-anak dunia yang dikuasai sepenuhnya oleh keserakahan dan ketamakan. Karena nafsu serakah dan tamak sudah menutup hati dan hidupnya, maka dia menjadi “manusia yang berhati batu”, mengeras seperti batu karena batu yang sesungguhnya digunakan untuk menjadi tiang penyangga jembatan dimasukan ke dalam hatinya.

**************

Yesus sangat cemas jika “proses pembatuan hati” akibat ketamakan dan keserahakan juga menimpah kita, para pengikut-Nya. Karena itu, Yesus menasihati kita agar tidak tamak, tidak serakah, tidak menjadi budak uang, tetapi cerdik dan licik menghadapi dan menggunakan uang. Agar isi nasihat-Nya dimengerti oleh para pengikut-Nya, Yesus membentangkan kisah mengenai bendahara yang tidak jujur.

Bendahara itu sungguh tidak jujur. Dia cerdik bertimbang sebelum bertindak. Ironisnya, Yesus tidak mengeritik dan tidak mengutuk ketidakjujuran bendahara itu. Sikap Yesus ini mengundang kita untuk bertanya, “Mengapa Yesus justru memuji tindakan bendahara yang tidak jujur?

Agar kita mengerti alasan, mengapa Yesus memuji ketidakjujuran bendahara dalam kisah ini, kita harus mengerti apa artinya “tidak jujur” dan apa artinya “cerdik” yang ada dalam pikiran Yesus:

Ungkapan “tidak jujur” dalam diri bendahara yang licik itu searti dengan “tidak dapat dipercaya, tidak dapat diandalkan, tidak becus dalam menjalankan tugasnya”. Apakah bendahara itu sungguh-sungguh tidak jujur selama menjalankan tugasnya hingga diakhir masa tugasnya? Tidak diketahui.

Ungkapan “tidak jujur” bisa dimengerti dalam arti yang lebih lunak, yaitu “bertindak sebagaimana lazimnya dilakukan oleh semua manusia di dunia ini”. Seperti semua manusia, bendahara ini terbiasa memikirkan seluruh perjalanan dan perjuangan hidupnya dari sisi materi. Ketidakjujurannya dan kecerdikannya sungguh-sungguh duniawi dan merupakan ketidakjujuran dan kecerdikan anak-anak dunia ini. Anak-anak dunia sangat tanggap dan cekatan membaca situasi dunia, cerdik mencari akal agar tidak dirugikan atau tidak celaka.

Yesus berharap agar kecerdikan anak-anak dunia ini tidak diikuti oleh “anak-anak terang”. Apabila anak-anak dunia cekatan membaca situasi dunia, cerdik mencari akal dan strategi untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya, anak-anak terang, orang-orang yang memiliki Kerajaan Allah harus lebih tanggap, cerdik dan cekatan membaca situasi bahaya dalam terang iman, terutama bahaya yang mengancam iman dan jiwa kita. Anak-anak terang harus selalu waspada, agar iman, jiwa dan diri kita tidak terperangkap dalam ikatan yang mencelakakan, menghancurkan dan membinasakan.

Ini berarti, yang dipuji Yesus dalam kisah bendahara yang licik bukanlah kesalahan yang dilakukan bendahara itu, melainkan kepandaiannya, kecerdikan dan kelicikannya  dalam menghadapi bahaya. Bendahara dipuji karena dengan memotong uang, di satu pihak dia merugikan majikannya, namun dipihak lain, dia juga menguntungkan majikannya sebab nama majikannya akan menjadi harum karena dipuja-puji oleh hamba-hamba yang kebetulan utangnya diringankan.

Melalui kisah bendahara yang tidak jujur dan licik ini, Yesus memberikan pesan praktis/sederhana kepada kita, anak-anak terang, pengikut-Nya sendiri: Sebagai anak-anak terang, di satu pihak, kita seharusnya tidak mengikat persahabatan dengan mamon, yaitu uang (mamon serati dengan deposito yang dipercayakan dan diandalkan karena memberikan rasa aman). Namun, dipihak lain, kita membutuhkan uang untuk hidup agar hidup kita tetap berlanjut. Karena tuntuntan ini, maka Yesus berkata agar kita tetap mengikat persahabatan dengan menggunakan uang.

Namun, Yesus mengingatkan kita bahwa uang adalah kekuatan maha dasyat yang harus dihadapi dan disikapi oleh semua manusia, terutama oleh kita orang berjubah. Kita harus cerdik dan licik dalam menghadapi dan menggunakan uang. Artinya, kita harus bersikap luwes dan sedemikian luwes terhadap uang supaya uang tidak menjadi kekuatan/diktator yang memperbudak kita, tetapi justru menjadi sahabat.

Cara yang paling tepat dalam menghadapi kekuatan maha dasyat dari uang ini adalah: kita harus menjadi tuan yang mengatur dan menggunakan uang, bukan menjadi budak uang dan diatur sepenuhnya oleh uang. Uang dipergunakan untuk kehidupan pribadi dan kehidupan bersama dengan memberikan sedekah. Namun, sedekah bukanlah jaminan utama untuk mengalami surga. Sikap yang paling tepat terhadap uang adalah memiliki kecerdikan khusus dalam menggunakan uang sehingga uang bisa membawa keuntungan yang luar biasa bagi diri kita. Dengan bersikap cerdik terhadap uang, kita tidak membiarkan diri dikuasai oleh uang, tetapi justru dilindungi dari bahaya serakah/tamak yang membuat hati kita menjadi keras, tidak lunak terhadap sesama. Jika sikap kita demikian, maka orang yang beruang pun akan diterima dalam kemah abadi, di rumah Bapa.

 

o   Apabila kita cerdik menggunakan uang seperti yang dikendaki Yesus, kita tidak akan terpancing, tergoda dan tergoncang apabila surga itu direbut dan dimiliki orang-orang yang sederhana.

o   Apabila kita cerdik menggunakan uang, tidak tamak, tidak serakah, kita akan bersahabat dengan semua orang, bukan seperti kaum Farisi dan Anak Sulung yang menutup diri terhadap sesama, termasuk terhadap bapak dan adiknya karena mata dan hati mereka ditutup oleh keserakahannya terhadap harta.

 

Orang Farisi dan ahli Taurat adalah wakil pemuka Yahudi yang menjadi hamba dan budah uang. Mereka serakah dan tamak terhadap uang, namun licik menyembunyikan keserakahan dan ketamakan mereka di balik kedok kemurahan hati dengan memberikan sedekah. Namun, Allah tidak bisa ditipu, tidak bisa dibohongin. Allah sungguh-sungguh tahu motivasi mereka dan kita dalam melakukan sesuatu. Apabila motivasi kita busuk, maka kesalehan kita akan membusuk. Allah sangat membenci  hati yang busuk, walaupun ditutupi dengan kedok yang indah.

 

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 



Minggu Biasa XXIV 14 September 2025

"Pertobatan Perut"

Keluaran 32:7-11.13-14

Mazmur 51:3-4.12.13.17.19

1 Tomoteus 1:12-17

Lukas 15,1-32 (1-10)

*********************************

 

Pada suatu malam, dalam situasi batas yang dialami Maria, ibu dari dua orang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mengajak kedua anaknya untuk bersujud dan berdoa di hadapan patung Santa Maria. Di dalam ruangan berukuran 4 x 5 m, yang penuh sesak dengan peralatan masak dan makan, tempat buku dan meja kecil, Maria bersama kedua anaknya duduk bersila di atas lantai beralaskan plastik tebal yang serentak menjadi tempat tidur mereka.

Ketika mendengar ajakan sang ibu tercinta, Yo, salah seorang dari kedua anaknya tidak menjawab. Yo tenggelam dalam khayalannya untuk mengendarai sebuah mobil. Di tangannya ada sebuah mobil plastik usang. Sementara Eli, kakak Yo, sudah mengambil sikap doa di hadapan patung Bunda Maria. Ibunya mengambil mobil mainan di tangan Yo secara paksa dan mengajaknya bersujud di hadapan patung Bunda Maria.

Yo menolak dan berkata, “Saya nggak mau berdoa, Ma?

Sementara itu, Ely memandangnya dengan perasaan jengkel dan berkata, “Kalau Yo berdoa bersama Bunda Maria, Yo bisa minta apa saja kepada Tuhan Allah. Tuhan Allah akan memberikan apa yang kamu inginkan”.

Yo tidak mau kalah, “Yesus dan Bunda Maria tidak punya apa-apa. Lihatlah, tangan Yesus dan Bunda Maria dibuka semuanya. Satu-satunya apel yang ada di tangan Bunda Maria sudah jatuh di makan ular.”

Yo menunjuk ke arah patung Bunda Maria. Patung itu melukiskan posisi Bunda Maria sedang berdiri dengan tangan terbuka, sedangkan kakinya menginjak ular yang sedang memakan buah apel. Sedangkan patung Yesus yang berada di salib tidak punya apa-apa.

“Yo, Tuhan Yesus dan Bunda Maria memang tidak mempunyai apa-apa. Bunda Maria hanya membantu kita untuk menyampaikan doa kita kepada Tuhan Yesus, Putra-Nya dan Tuhan Yesus kepada Allah, Bapa-Nya dan Bapa kita semua. Kalau Yo berdoa, maka Bunda Maria akan berdoa bersama Yo. Mari, kita berdoa bersama Bunda Maria agar permohonan kita didengar oleh Yesus dan Allah Bapa, sebab Allah sendirilah pemilik segala sesuatu yang ada di dunia ini.” Kata Maria, ibu Yo.

Maria memandang Yo sejenak dan mengajaknya berdoa, “Sekarang, ayo kita berdoa. Nanti Ely yang pertama menyampaikan doa permohonan, kemudian giliranmu, Yo!

Mereka berdoa sekali Bapa Kami dan sepuluh kali Salam Maria. Ely menyampaikan permohonannya agar berhasil dalam ulangannya keesokan harinya. Setelah Ely selesai berdoa, Yo diam saja, walau dia tahu gilirannya untuk menyampaikan doa permohonan. Ibunya berbisik kepada Yo untuk menyampaikan doa permohonan. Dengan terpaksa, Yo mulai berdoa, “Bunda Maria, bapak sudah lama tidak pulang. Kalau dia pulang ke rumah, seringkali mabuk dan marah-marah. Saya dan mbak Ely sering dipukul. Saya memohon agar bapak tidak lagi mabuk-mabukan dan marah-marah pada ibu; tidak memukul saya dan mbak Ely lagi. Saya sayang pada bapak, tetapi mengapa bapak tidak sayang pada saya? Amin. Tanpa sadar, air mata membasih pipi Yo, Ely dan Maria, ibunya.

Sudah lama sang bapak terkena PHK. Dia sudah berusaha untuk melamar kerja, namun tetap tidak ada panggilan. Semua jalan terasa buntu. Dia sudah membuka usaha dengan cara berjualan, namun gagal karena terbentur modal. Dalam situasi frustrasi dan putus asa, dia suka mabuk-mabukan. Dia menjual apa saja untuk membeli minuman dan mabuk-mbukan bersama pengangguran lainnya.

Dia memaksa agar Maria, istrinya selalu memberikan kepadanya uang. Padahal Maria harus bekerja keras sebagai tukang cuci pakaian tetangga dan berjualan kue di pasar. Namun perolehan hasil kerjanya itu selalu diminta secara paksa oleh sang suami untuk membelikan minuman. Jika tidak diberi, dia akan marah. Salah satu sasaran kemarahan adalah kedua anaknya dengan cara memukul dan mencaci maki mereka. Jika terjadi demikian, maka Maria berusaha memberikan uang agar suaminya dengan segera meninggalkan rumah.

Maria tidak tahan melihat penderitaan kedua anaknya, namun dia tidak sanggup mengubah situasi hidup mereka. Dia tidak tahu bagaimana caranya agar semuanya berubah. Dia bekerja keras dari pagi hingga dini hari, namun penghasilan yang diperolehnya tetap tidak mencukupi. Selain itu, rongrongan dan sikap kasar sang suami pada kedua anaknya membuatnya semakin tertekan.

Akhirnya, satu-satunya jalan yang ditempu adalah memasrahkan semua beban kehidupannya kepada Tuhan. Dia yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkannya berjuang sendirian dalam menghadapi semua beban penderitaannya. Maria ingat akan kotbah seorang imam bahwa Yesus hadir di tengah-tengah murid-Nya disaat mereka diamuk badai yang dasyat. Maria membayangkan dirinya sedang berada dalam amukkan badai yang dasyat dan menakutkan. Dia berharap agar Tuhan datang untuk menenangkan badai itu. Dia berharap agar tangan Tuhan berkarya di dalam hidupnya.

Permohonan Yo, anaknya, membuat Maria tidak mampu menahan deraian air matanya. Dia menatap kedua anaknya dengan linangan air mata. Yo yang masih membutuhkan belaian kasih sayang sang ayah, sering mendapat gaprakan dan kata makian yang menyakitkan. Ini bukan kesalahan Yo, melainkan kesalahan sang suami yang tidak tahan menghadapi pahitnya kehidupan ini.

Yo terdiam dengan mata terpejam. Dia berharap agar Bunda Maria berdoa bersamanya. Semuanya terdiam dalam doanya masing-masing. Tiba-tiba pintu terbuka; seorang lelaki kumal terdiam di depan pintu. Pakaiannya kotor; wajahnya kuyu, dari mulutnya tersebar aroma minuman keras dan mabuk. Dia berdiri sembari berpegang pada tiang pintu. Dia tampaknya mabuk berat. Maria dan kedua anaknya ketakutan. Kehadiran Hans, sang suami menebarkan rasa takut yang mencekam. Sejenak, mereka saling memandang dalam ketakutan. Dengan langkah terhuyung, lelaki itu bergerak ke arah Yo yang sudah disekam rasa takut yang luar biasa. Tiba-tiba, lelaki itu berteriak keras dan menangis. Dipeluknya Yo dan Ely, dengan tangisan yang tiada duanya. Dia tidak peduli kalau suaranya didengar banyak orang. Dia tidak malu akan semuanya itu.

Saat itu, dia tidak sanggup berkata apa-apa, selain menangis. Dia ingin melepaskan beban kepedihan di dalam hatinya. Yo dan Eli ikut menangis, walau mereka tidak tahu persis, mengapa mereka menagis. Mereka hanyut dalam tangisan sang ayah.

Sesungguhnya, sang ayah sudah lama berdiri di depan pintu. Dia hanya bersandar di dinding rumah sebab tidak mampu menyeret tubuhnya ke dalam rumah akibat mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar, dia mendengar percakapan istri dan anaknya. Hatinya hancur ibarat disayat sembilu. Batinya perih ketika mendengar doa Yo, putri bungsungnya. Dia malu pada dirinya sendiri. Dia sadar bahwa selama ini dia sudah menyepelehkan cinta kedua anaknya dan membalas cinta istrinya dengan perlakuan kasar dan caci maki. Dia salah memperlakukan istri dan kedua anaknya. Doa Yo dalam situasi batas, ibarat pedang yang menghancurkan dirinya dan membuatnya sadar bahwa dia sudah menyiksa mereka dengan perlakuannya yang kasar selama ini.

 

o   Cinta keluarga: Maria, Ely dan Yo mengubah kehidupan sang suami dan ayah kecintaan mereka.

o   Cinta Sang Bapa mengubah hidup anak kecintaannya yang hilang dari rangkulan kasih-Nya.

o   Namun, akar perubahan Hans dan anak yang hilang lahir dari situasi derita: PHK, gagal usaha, tidak mampu menghidup keluarga, penderitaan dan perut yang lapar.

*******************

Kisah kembalinya Si Anak yang Hilang setelah mengalami penderitaan akibat kelaparan (bangkrut), akhirnya tersimpul dalam benak saya sebagai kisah seorang anak manusia yang mengalami pertobatan karena alasan perut. Dikatakan demikian,  karena keinginan si anak yang hilang untuk kembali ke rumah bapanya karena kesusahan hidup yang dialaminya: Kelaparan, kecelakaan, sakit dan penderitaan lainnya di daerah perantauan.

Dalam kenyataannya, tidak sedikit di antara kita yang mengalami peristiwa hidup seperti si anak yang hilang dalam kisah Injil ini. Kita berniat untuk kembali ke jalan yang benar (bertobat) karena alasan perut.

 

o   Sebagai tahap awal, pertobatan perut, bukanlah hal yang buruk sebab pengalaman ini: sakit, derita, lapar, dll, sangat diperlukan dalam hidup manusia, terutama untuk menempah sikap iman yang benar.

o   Namun, adalah sangat konyol, jika manusia menunggu saatnya…ketika mengalami penderitaan baru bertobat dan mencari Allah.

o   Jika demikian, rasa-rasanya, tidak ada seorang pun yang mau bertobat dan mencari Allah, sebab tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengangan-angankan penderitaan dan kelaparan dalam hidupnya; sebaliknya manusia selalu berusaha untuk menghindar dari kecelakaan dan penderitaan itu.

 

Di sinilah letak persoalan pertobatan perut: Manusia bertobat hanya untuk menghindarkan diri dari penderitaan, kelaparan, kesakitan dan kelaparan. “Jangan berbuat jahat kepada orang lain, supaya kamu tidak dijahati.”

 

o   Saat ini, kita memiliki agama dan iman, namun kehidupan kita dihantui oleh hukum karma. Banyak di antara kita yang beriman ini memahami arti dosa sebagai tindakan yang  melanggar hukum.

o   Allah dipandang sebagai majikan yang membuat hukum: mengatur perilaku manusia, mana yang disebut dosa dan mana yang tidak.

 

Baik anak bungsu maupun anak sulung dalam kisah mengenai anak yang hilang ini menganggap bapak sebagai majikan mereka.

 

o   Anak bungsu berniat kembali kepada bapaknya untuk menjadi orang upahan saja.

o   Anak sulung menganggap bapaknya sebagai majikan yang suka memerintah.

o   Untuk mendapat pengampunan dan memperoleh keselamatan, mereka harus menaati perintah dan menjauhi larangan. Inilah yang di namakan pertobatan perut.

 

Iman Katolik bukanlah iman hukum. Iman Katolik berlandaskan pada cinta dan belas kasih Allah serta keselamatan-Nya dalam diri Kristus bagi semua orang. Oleh karena itu, jika kita berbicara soal dosa, kriterianya adalah cinta dan belas kasih Allah serta karya keselamatan-Nya dalam Kristus yang merangkul semua orang, bukan hukum yang dibuat manusia. Untuk memahami hal ini, kita melihat, siapa yang berperan dalam kisah anak yang hilang.

Karena itu judul kisah ini seharusnya bukan Kisah Anak yang Hilang dan tokoh utamanya bukanlah Si Bungsu, melainkan Sang Bapa yang Penuh Cinta dan Belas Kasih. Bapa yang dilukiskan dalam kisah ini adalah Allah yang baik hati, penuh belas kasih dan pengampun. Yesus melukiskan figur Allah yang baik, berbelas kasih dan pengampun melalui tindakan kasih-Nya yang merangkul, mengenakan jubah yang indah, mengenakan cincin kebesaran-Nya dan mengadakan perjamuan besar dalam suatu pesta yang meriah. Perjamuan itu diadakan karena sang ayah bersukacita atas kembalinya si anak bungsu, walaupun bermodalkan pertobatan perut. Sang ayah ingin agar semua orang merayakan kegembiraan itu dalam suatu pesta yang meriah.

Namun tindakan sang ayah yang baik dan pengampun tidak diterima oleh si sulung. Dia tidak menerima kalau seorang pendosa diampuni; dia tidak senang kalau adiknya yang baru kembali dipestakan. Yang ada dalam ingatannya hanya kesalahan dan dosa adiknya.

Walaupun demikian, sang ayah yang baik, berbelas kasih dan pengampun keluar dan mengajaknya untuk ikut berpesta. Sekarang, keputusan berada di tangan si sulung: mau masuk ke dalam pesta atau tidak? Yesus tidak menutup perumpamaan ini dengan memperlihatkan keputusan si sulung. Di sinilah kita bisa memahami makna pertobatan bagi orang Kristen dewasa, yang harus meninggalkan pertobatan yang bersifat kekanak-kanakan.

Tobat bukan hanya soal memperbaiki diri, membangun kesucian pribadi. Tobat adalah soal bagaimana kita sadar, mendalami, mengalami dan menghidupi isi cinta dan belas kasih sang ayah yang menyediakan perjamuan bahagia bersama anak sulung dan anak bungsungnya karena yakin sepenuhnya bahwa tiada Bapa yang paling baik dan berbelas kasih, Bapak-Ku sendiri.

Inti kisah ini menegaskan bahwa yang menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan Bapa, “Bukan karena anak-Nya mengaku segala kesalahan dan dosanya dengan penuh rasa sesal dan tobat, melainkan karena anak-Nya sadar bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik, selain Bapanya sendiri. Di luar rumah Bapanya, dia tidak menemukan apapun yang lebih baik, yaitu sebuah wujud kebaikan yang tidak dibangun atas dasar kecemburuan yang menyelamatkan, seperti kebaikan yang berakar dalam sikap batin Bapanya sendiri”.

Kisah ini menunjukkan bahwa titik puncak dari pertobatan adalah: “Apakah kita, ibarat si sulung yang tidak bersedia dan mau masuk ke dalam pesta besar yang diselenggarakan Allah dan melibatkan kita semua karena tidak menyadari kedalaman cinta dan belas kasih Bapa atau seperi anak bungsu?

Pada tahapan ini sikap tobat yang seharusnya dibangun bukanlah menjalankan hukum gereja atau sepuluh perintah Allah. Banyak orang yang mengikuti secara ketat hukum Allah: tidak mencuri, tidak iri hati, tidak membunuh, rajin ke gereja. Namun manusia seperti ini bisa saja tidak berbuat apa-apa untuk membangun solidaritas Allah yang mau menjadi bapak semua orang. Kita bisa berkata kepada Yesus, ”Semua perintah Allah sudah kuturuti sejak masa kecilku.”

Sikap yang tobat yang seharusnya dibangun harus lahir dari kedalaman iman kita bahwa Bapa adalah Cinta. Dia rahim dan berbelas kasih. Kebahagiaan Bapa adalah kesatuan yang kekal-abadi dengan semua manusia yang berdosa; Dia tidak peduli seberapa dalam manusia mengkhianati-Nya; Dia tidak memperhitungkan seberapa lebar jurang yang diciptakan manusia untuk memutuskan jalinan relasi dengan-Nya. Kebaikan Bapa tampak dalam sikap batin-Nya yang tidak mengingat kesalahan manusia: rela mengampuni dan menerima kembali setiap anak-Nya yang hilang dari rangkulan kasih-Nya.

 

Ingatlah.....

Allah dalam diri Yesus yang kita imani adalah Allah yang tidak mengingat dan memperhitungkan segala salah dan dosa kita. Namun, sikap Allah tersebut seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita untuk terus menjauh dan menghilang dari rangkulan kasih-Nya dengan melakukan tindakan yang berdosa, membenci, mendendam dan tidak bersedia memaafkan.

 

Terbukti....

o   Terasa sangat sulit bagi kita yang kuat dan dituakan untuk memberikan maaf kepada yang lemah; sebaliknya yang lemah selalu dituntut untuk memaafkan kesalahan si kuat.

o   Betapa sulit orang yang berkedudukan memberikan maaf kepada bawahannya, walaupun nyata-nyata salah hanya karena harga diri.

o   Betapa sulit orangtua memohon maaf kepada anak-anak mereka, walaupun nyata-nyata salah hanya karena mereka orangtua.

o   Betapa sulit sang suami memohon maaf kepada istri, walaupun nyata-nyata bersalah (pukul istri karena kalah judi), hanya karena dia laki.

o   Betapa sulitnya seorang imam memaafkan umatnya, walau pun nyata salah karena harga dirinya sebaga seorang imam.

 

Karena itu, marilah kita belajar dan berjuang untuk menghidupi sikap Sang Bapa: selalu terbuka untuk mengampuni. Ingatlah... dalam cinta selalu ada pengampunan. Orang yang sulit mengampuni adalah orang yang tidak memiliki iman dan hampa cinta. Cinta bukanlah cinta jika tidak ada pengampunan... Pribadi yang beriman adalah pribadi yang mencintai dan pribadi yang tulus mengampuni...

 

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 



Minggu Biasa XXIII 7 September 2025

Syarat Menjadi Murid Yesus

Kebijaksanaan 9:13-18

Mazmur 90:3.4.5.6.12.13.14+17

Filemon 9b-10.12.17

Lukas 14,25-35

Adalah kisah nyata dari seorang pelari tercepat Inggris yang bernama Eric Lidel. Kisah ini kelak didokumentasikan dalam sebuah film yang berjudul “Kereta-kereta Api” (Chariots of Fire).

Ketika Olympiade pada tahun 1924, Eric adalah pelari tercepat yang sangat diandalkan untuk mempersembahkan Emas Olympiade untuk Inggris. Sebagai seorang pelari yang sungguh-sungguh Katolik, Eric memiliki aturan sendiri: Dia tidak akan pernah bertanding/berlari pada Hari Minggu. Komitmen Eric ini justru berbenturan dengan jadwal yang ditetapkan oleh panitian Olympiade: Panitia menetapkan bahwa jadwal final pertandingan lari berjarak 100 meter akan diadakan pada Hari Minggu.

Keadaan ini sungguh menggeparkan dunia. Eric tetap setia pada komitmennya: dia tidak akan pernah bertanding pada Hari Minggu. Ketika mengetahui bahwa Eric menolak untuk bertanding pada Hari Minggu, Inggris menekan dan memaksa Eric. Inggris menuduh Eric sebagai Pengkhianat Bangsa. Tetapi, Eric pantang menyerah. Dia tetap bertahan pada keputusannya. Dia tidak bertanding pada Hari Minggu.

Ketika muncul jadwal pertandingan perlombaan lari 400 meter, Eric memutuskan untuk berlomba walaupun dia tidak pernah mengikuti pertandingan pada jarak tersebut. Ada hal menarik yang terjadi sebelum pertandingan dimulai: Pelari Amerika Jackson Scholz memberikan sepotong kertas kecil kepada Eric. Dalam kertas itu ada tulisan yang berbunyi: “Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa” (Yohanes 12:26). Beberapa menit kemudian, pertandingan dimulai. Eric memenangkan kejuaran lari Olympiade berjarak 400 meter. Dalam tangannya tetap tergenggam kertas kecil pemberian Jackson. Kertas itu tersimpan rapih dalam dokumen pribadinya.

****************************

Menolak untuk bertanding pada Hari Minggu atas nama negara bukanlah persoalan yang gampang bagi Eric. Dia harus berhadapan dengan negara dan seluruh rakyat di negaranya. Dia ditekan dan dicap pengkhianat oleh negaranya dan oleh dunia karena tidak bersedia menyumbangkan medali emas bagi negaranya. Namun bagi Eric, apalah artinya sekeping emas dan sanjungan kehormatan yang diberikan negara daripada kehormatan yang diberikannya kepada Allah, Pencipta dan Sumber kehidupan-Nya? Eric berkukuh pada pendirian hatinya: dia memutuskan untuk berada di Gereja, mengikuti Misa Kudus dan menolak untuk bertanding.

o   Bagi Eric, Misa lebih utama daripada sekeping emas, nama besar dan penghormatan negara. Dihormati Allah jauh lebih mulia daripada dihormati negara dan dunia.

o   Bagi Eric, Allah diatas segalanya, bukan manusia. Eric pun menerima pahala dari Allah karena menomorsatukan Allah, bukan kehormatan dirinya. “Bapa-Ku akan memberikan pahala kepada siapa pun yang melayani Aku ... Barangsiapa melayani Aku, dia akan dihormati Bapa”.

**********************

Yesus dikagumi, dicintai dan dikelilingi oleh banyak orang. Mereka berduyun-duyun mengikuti Dia di setiap perjalanan-Nya. Tiba-tiba Yesus berpaling dan berbicara kepada mereka, “Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci  bapaknya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudaranya laki-laki dan perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”.

Kata-kata Yesus ini ibarat siraman air dingin di saat tubuh gerah karena kepanasan. Namun, kata “membenci” dalam konteks ini harus dimengerti dalam pemahaman bangsa Yahudi. Bagi orang Yahudi, “membenci”, bukanlah perasaan benci, tidak suka, melawan, melainkan “tidak menomorsatukan atau tidak mendewakan.” Perkataan Yesus ini harus dimengerti demikian: “Jika seseorang datang kepada-Ku, namun tetap menomorsatukan bapaknya, ibunya, anak-anaknya, saudara-saudaranya, bahkan nyawanya sendiri, dia tidak layak menjadi murid-Ku.” Apabila kita ingin mengikuti Yesus, kita harus menomorsatukan Yesus.

Pernyataan Yesus ini diteguhkan oleh penegasan-Nya yang kedua, “Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku”. Perkataan ini menunjukan bahwa apabila kita ingin menjadi murid Yesus, kita bukan hanya menyangkal diri, melainkan bersedia mati di salib. Kita harus bersedia memikul balok salib hingga ke tempat penyaliban. Namun penegasan Yesus ini merupakan sebuah kiasan: maksud yang sesungguhnya adalah: apabila kita ingin mengikuti Yesus, kita harus melekat dan menyatu dengan Yesus hingga memandang perjalanan hidup di bumi ini bukan sebagai tujuan utama. Tujuan perjalanan hidup di bumi terarah pada satu titik yaitu Allah sendiri. Agar kita bisa melekat dan bersatu dengan Yesus, kita harus mati bagi diri kita sendiri, mati terhadap keinginan untuk mengejar-ngejar hal yang duniawi dan mati terhadap kepentingan-kepentingan duniawi.

Karena tuntutan untuk menjadi murid Yesus sangat berat, maka kita harus mempertimbangkan dan mengambil keputusan yang jelas/tegas. Unsur utama yang harus dipertimbangkan dan diputuskan adalah:

o   Menggeser kepentingan diri.

o   Apabila kita mengikuti Yesus, namun tidak dengan niat yang utuh, kita akan gagal: Jangan-jangan kalian nanti senasib dengan raja itu ... Ia berangkat untuk memang, tetapi akhirnya kalah”.

o   Jika kita ingin menang, maka tentukan hanya satu pilihan, yaitu memilih Yesus dengan hati yang utuh.

o   Jaminan kemenangan kita adalah Yesus dan penyerahan diri kita yang total kepada-Nya. Kita harus yakin bahwa Yesus yang diikuti adalah Raja atas diri dan kehidupan kita.

 Bagaimana dengan kita, pengikut Kristus yang hidup zaman ini? Apakah kita hidup dengan mengutamakan kepentingan manusiawi/duniawi yang bersifat sementara, menjadikan diri dan kehidupan kita sebagai pusat atau memperjuangkan dan mengutamakan kepentingan kita di hadapan Allah demi keselamatan kekal dengan mematikan keinginan-keinginan manusiawi kita?

 

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

 Buona Domenica!

Dio Ti Benedica!

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget