Juli 2025

 



Hari Minggu Biasa, Pekan Biasa XVII, Tahun C/ 27 Juli 2025

“Roti Yang Secukupnya” (Romo Very Ara)

Kejadian 18:20-32; 

Mazmur 138:1-2a.2b.3.6.7b.7c-8; 

Kolose 2:12-24 

Lukas 11:1-13

“Berilah kami setiap hari makanan kami yang secukupnya.”

(Lukas 11:3)


Pada tahun 1900, seorang Biarawati Terkenal asal Italia, Muder Cabrini tiba di Amerika. Dia bekerja di tengah imigran Italia yang tertindas.

Di awal karyanya, dia tidak memiliki uang sepeser pun. Melihat kenyataan itu, seorang Putri Mahkota memberikan bantuan kepadanya dengan menawarkan sebuah rumah yang sangat besar dan luas untuk dijadikan biara serta tempat tinggal bagi anak-anak jalanan.

Uskup Agung Corrigan dari New York City tidak percaya semua gagasan ini, walaupun Putri Mahkota juga memberikan ribuan Dollar  untuk mendukung karya Muder Cabrini. Uskup Agung bertanya kepada Muder Cabrini dengan penuh keraguan, “Menurut Anda, berapa lama Anda bisa bertahan dengan jumlah uang ini? Dalam setahun saja, pasti tidak ada yang tersisa. Jika semuanya sudah dipergunakan, apa yang Anda lakukan?

Putri Mahkota yang berdiri di samping Muder Cabrini menjawab, “Yang Mulia, ketika kita berdoa Bapa Kami, kita memohon Rezeki Sehari-Hari, bukan persediaan untuk setahun.”

********************

Jawaban Putri Mahkota sungguh tepat. Jawaban ini sungguh-sungguh lahir dari imannya akan Allah sebagai Sumber Hidup bagi semua ciptaan-Nya, terutama manusia. Allah adalah Bapa yang Maha Kaya, Maha Segalanya. Dia adalah Sumber Hidup, Jaminan dan Andalan Tunggal bagi Manusia. Setiap saat (bukan dalam setahun), Allah yang Maha Kaya mengalirkan/memberikan Hidup-Nya sendiri demi kelangsungan hidup manusia.

Hidup Allah adalah memberi dengan cara memecah-mecahkan dan membagi-bagikan Tubuh Ilahi-Nya kepada semua manusia, ciptaan-Nya agar semua manusia memiliki hidup dan memilikinya secara berkelimpahan. Kodrat Allah, Sang Sumber Hidup yang Maha Kaya sudah dinyatakan-Nya dalam diri Putra-Nya, Yesus Kristus: Dia adalah Roti Surgawi, Roti Hidup bagi manusia. Dengan demikian, manusia tidak pernah boleh meragukan-Nya karena Dia, Sang Sumber Hidup yang Maha Kaya tidak akan pernah berhenti memberi. Dia yang menyatakan diri-Nya sebagai “Roti Surgawi,” sungguh-sungguh Sumber Kehidupan bagi manusia.

Karena itu, sangatlah aneh, ketika para penerjemah Kitab Suci ke dalam Bahasa Indonesia berani mengubah kata “roti” pada ayat ini dengan kata “makanan,” bahkan “rezeki.” Dengan perubahan kata, “roti” menjadi “makanan” atau “rezeki,” maka arti atau makna rohani/spiritual dari kata “roti” yang dibicarakan dan dinyatakan secara mendalam oleh Yesus dalam Injil Yohanes bab 6 mengenai Roti Surgawi dihilangkan.

Roti adalah Sumber Kehidupan. Roti itu berasal dari Allah dan dianugerahkan/diberikan kepada manusia. Dengan demikian, hakekat Roti yang sesungguhnya adalah Hidup Allah yang dianugerahkan, dialirkan dan diberikan secara gratis: Hidup Allah adalah “Memberi, ”Hidup yang Dipecah-Pecahkan dan Dibagi-Bagikan kepada semua manusia, ciptaan-Nya, setiap saat agar semua manusia memperoleh kehidupan yang layak.

Roti, Pemberian Allah Bersumber dari Cinta-Nya. Akan tetapi, roti, pemberian Cinta Allah kepada manusia tidak hanya berwujud makanan jasmani. Roti, Pemberian Cinta Allah yang paling Agung dan Mulia kepada manusia justru nyata Wajah yang Hidup; Berwujud Pribadi yang Hidup, yaitu Putra-Nya, Yesus Kristus. Dia adalah Pemberian Cinta Bapa dalam wujud Fisik-Insani agar semua manusia mengerti dan memahami bahwa Dasar dan Sumber Kehidupan semua manusia adalah Allah dan kebesaran cinta-Nya: Cinta adalah Sumber Kehidupan bagi semua manusia. Cinta Allah dalam Pribadi Putra-Nya memiliki Daya untuk mencipta, menghidupkan, menyatukan dan menyelamatkan semua manusia.

Kita semua, ciptaan Allah, terutama kita yang percaya kepada Putra-Nya, Yesus Kristus seharusnya tidak pernah boleh mencemaskan kebutuhan roti fisik sebab Dia tahu bahwa kita semua dan semua ciptaan yang berdiam di alam ini sangat membutuhkannya. Hidup-Nya adalah memberi, memecahkan dan membagikan Diri-Nya demi kehidupan dan keselamatan kita. Setiap saat Dia menganugerahkan kehidupan-Nya kepada kita semua dan seisi alam ini agar kita semua memperoleh kehidupan dan memiliki-Nya secara berkelimpakan. Jika Dia berhenti memberi, maka kehidupan kita akan “berakhir,” “mati,” tidak akan mengalir dalam diri kita. Karena itu, kita, para pengikut-Nya harus selalu menyambungkan diri dan kehidupan kita dengan Dia, Sang Sumber dan Dasar Kehidupan sebab kehidupan yang ada dalam diri kita adalah Milik-nya,... Dianugerah/Diberikan-Nya kepada kita.

Untuk itu, kita semua, pengikut-Nya harus mengerti makna yang terkandung dalam kata “roti,” baik secara rohani maupun secara fisik. Memiliki Roti Rohani berarti memiliki Dia dan Daya Cinta-Nya; memiliki Sumber Hidup yang Kekal, yaitu Dia/Allah dan Cinta-Nya. Kita harus melihat ke dalam diri kita: kita hanya bisa memiliki Roti Rohani, hanya jika kita memiliki Cinta, memiliki Dia, Sang Cinta. Jika kita memiliki Roti Rohani, memiliki Cinta, memiliki Dia, Sang Cinta, maka kita tidak akan pernah kekurangan roti jasmani.

Karena itu, ketika kita berdoa, “Berilah kami setiap hari roti yang secukupnya,” seharusnya kita yakin bahwa Allah yang Hidup dalam diri Putra-Nya sudah dan selalu menjawab doa kita ini. Mengapa? Karena hidup kita adalah milik-Nya. Setiap saat, Dia selalu mengalirkan dan memberikan: Setiap saat, Dia selalu Memecahkan-Mecahkan dan Membagi-Bagikan Hidup-Nya yang Maha Kaya, Maha Sakral, yaitu Tubuh-Nya yang Maha Kudus demi keselamatan dan kehidupan kita. Hidup-Nya adalah Sumber dan Dasar Hidup kita. Karena itu, kita harus selalu menyambungkan diri dan kehidupan kita dengan-Nya dalam situasi apa pun, terutama dalam keadaan kritis. Jika kita memiliki sikap iman demikian, maka kita akan merasa tenang tatkala berhadapan dengan kesulitan apa pun dalam kehidupan kita.

Akan tetapi, menerima Roti yang Maha Kudus, Pemberian Dia yang Rela Memecah-Mecahkan dan Membagi-Bagikan Tubuh-Nya demi keselamatan dan kehidupan kita menuntut kita semua, pengikut-Nya yang mengakui dan mengimani-Nya sebagai Sumber dan Dasar Hidupnya untuk tulus berbagi dengan semua orang yang membutuhkan, terutama kepada orang yang miskin-papa. Jika kita tidak meneruskan Pemberian Agung Yesus Kristus yang diterimanya dalam rupa Roti Altar yang Mahakudus, maka kita tidak menjadi saudara bagi sesamanya, tidak menjadi saudara Yesus Kristus dan tidak menjadi anak Bapa.

******************

Adalah seorang ibu yang sangat miskin: suaminya sudah meninggal. Dia hidup bersama ketiga anaknya. Dia bertetangga dengan keluarga yang sangat kaya, namun pelitan.

Pada suatu malam, ibu yang miskin ini sangat membutuhkan roti untuk diberikan kepada kepada ketiga anaknya. Mereka kelaparan. Ibu miskin ini memberanikan diri untuk menjumpai ibu yang kaya raya ini dan memohon kepadanya, “Berilah kami sedikit roti. Anak-anak saya kelaparan.”

Ibu kaya dengan nada ketus menjawab, “Saya tidak memiliki roti. Saya berani bersumpah. Jika saya menyimpan roti, biarkanlah Allah mengubahnya menjadi batu.” Mendengar perkataan yang ketus dari ibu kaya in, Ibu miskin pulang sambil menangis.

Sesudah itu, ibu kaya mengajak anak-anaknya untuk makan roti. Di saat dia membuka almari makanan, dia pun sangat terkejut: semua roti berubah menjadi batu.

Ibu kaya itu berkata kepada anak-anaknya, “Jangan Kuatir! Ini uang. Pergilah dan belilah roti sebanyak-banyaknya.”

Anak-anaknya pun bergegas pergi untuk membeli roti. Ibu kaya menunggu di rumah dengan segudang perasaan karena anak-anaknya sangat lama pulang, padahal took roti sangat dekat dengan rumahnya. Di saat anak-anaknya tiba di rumah, ibu kaya itu langsung bertanya, “Ke mana saja kalian pergi. Mengapa sangat lama?

Anak-anaknya berkata, “Ibu, keranjang roti ini sangat berat. Kami kesulitan membawanya.” Ibu kaya itu bergegas membuka keranjang iti. Dia sangat terkejut karena bukan roti yang ada dalam keranjang, melainkan batu.

Melihat kenyataan itu, ibu kaya itu bergegas ke toko roti yang sama untuk membeli roti yang baru. Dari toko roti, dia menuju rumah ibu miskin, tetangganya yang beberapa saat sebelumnya meminta roti kepadanya. Ibu kaya ini berkata, “Ibu, saya mohon maaf atas kejahatan saya pada ibu. Ini roti untuk ibu dan anak-anak ibu. Mulai saat ini, saya berjanji untuk tidak pelitan lagi. Tuhan sudah mengubah semua roti yang ada di rumah saya menjadi batu sehingga kami tidak bisa makan.”

Ibu kaya itu segera pulang ke rumahnya. Dia pun sangat terkejut ketika melihat semua batu yang ada dalam almari makanan dan keranjang berubah menjadi roti. Sejak peristiwa ini, ibu kaya yang pelitan ini menjadi seorang ibu yang sangat baik, bermurah hati dan rela berbagi dengan siapa pun, terutama dengan semua orang yang berkekurangan…

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

(sumber: google)


Luo Migu Biasa – 17

Fombaso I    : Kejadian 18:20–32

Fombaso II   : Kolose 2:12–14

Injil               : Lukas 11:1–13

 

Turia Somuso Dödö khö Yesu Keriso nisura Yohane.-

Me luo da'ö, Ilau mangandrö Yesu ba zi sambua nahia. Me no aefa mangandrö Ia, samösa ba gotalua ndra nifahaöNia, sanguma'ö khöNia : "He So'aya, fahaö ndra'aga ba wangandrö, simane Yohane same'e fanasa samahaö ira nifahaönia wangandrö." Imane khöra Yesu : "Na mangandrö ami, mimane :

He Ama ! Ya la'amoni'ö döiMö fefu niha. ya tohare gamatöröŵaU.

Be'e khöma gö soguna ero ma'ökhö. Be'e aefa khöma horöma.

Ya'aga sa göi ma'efa'ö zala ba niha fefu si no fasala khöma.

Ba böi tehegö göna ndra'aga fanandraigö."

Ba Imane Yesu khö ndra nifahaöNia : "Na so ba gotaluami zi möi ba nomo nawönia ba zi talu mbongi, ba imane khö nawönia andrö : He talifusö, be'e nifalaligu roti ma'ifu, ha tölu ngawua. Noa sa möi khögu niha si fahuwu khögu i'otarai kumoli, ba lö hadia ia khögu, önia. Hadia iŵa'ö dania moroi si bakha : Böi busi dödögu, noa sa mukusi mbawandruhö. No sa'ae mörö ba ngaigu ndraonogu. Tebai maosodo, ba wame'e khöu ni'andröu. Uŵa'ö khömi, he lö'ö göi ibe'e khönia, ba lö maoso ia, ba me si fahuwu khönia ia, ba maoso ia sa'atö, me iforege wangandrö, ba ibe'e khönia, hadia ia zoguna khönia. Börö da'ö : Mi'angandrö, ba tebe'e khömi. Mi'angalui ba misöndra. Mibököbökö mbawandruhö, ba tebokai. Dozi sangandrö, ba itema; sangalui, ba isöndra; khö zamökömökö bawandruhö, tebokai khönia. Ba haniha ba gotaluami zatua, same'e khö nononia gara, na i'andrö roti, ba same'e ulö, na i'andrö gi'a ? Ba ma zui same'e tongo, na i'andrö gadulo manu ? Gofu hewisa wa'a-lö-sökhimi, ba mi'ila sa'atö mibe'e zi sökhi ba ndraonomi. Ba lö mendrua manö Namami si so ba zorugo zangila wame'e Eheha Ni'amoni'ö ba niha sangandrö khöNia ?"-   

 Simanö duria somuso dödö khö Zo'aya ya'ita, Yesu Keriso.-

 

 FANGANDRÖ SI’OROI DÖDÖ BA MOFA’ABÖLÖ

 So sambua gamaedola si sökhi sibai wamondrongo, mendrua manö göi geluaha gamaedola andrö. Imane amaedola andrö: “Na si’oroi dödö tö wowengu, na si’oroi dödö tö we’e, alua yaŵa daŵa hörö ana’ate. Na tenga tö si’oroi dödö tö wowengu, na si’oroi dödö tö we’e, ba alua sibai yawa daŵa hörö, mane sibai gitö gae.” Amaedola andre sökhi sibai geluahania me moroi ba gamaedola andre tefaduhu’ö khöda wa famalua hadia ia andrö sökhi na si’oroi sibai ba dödö. Tandra wa si’oroi ba dödö dania lala halöwö andrö, ba oroma ia ba wangodödögö wamalua lala halowö andrö.

Bakha ba duria somuso dödö tarongo hewisa me ifaha’ö ndra nifaha’önia Yesu ba wangandrö. Fangandrö nifaha’öNia andrö ba no fangandrö sasese sibai ta’angandröi, ya’ia wangandrö “He Ama Khöma”. Bakha ba wangandrö andre sindruhu oroma wa’ahatö zi samösa niha khö Lowalangi ba ba nawönia niha. Oroma da’e ba wogaonida andrö “Ama” khö Lowalangi. Ba wangandrö andre göi oroma hewisa wamalua fangandrö andrö tenga ha ba wehede ba hiza i'o’ö buabua. Oroma da’e ba wangandö wanguma’ö “Efa’ö khöma horöma, simane fangefa’öma ba niha si fasala khöma”. Ba da’e göi oroma wa’ahatöda andrö ba nawöda niha.

Dumaduma wangandrö si’oroi dödö andrö, ya’ia wangandrö Gaberahamo andrö ba wombaso siföföna. Lö aetu I’andrö khö Lowalangi ena’ö Ihakhösi tödö Zodoma fabaya Gomora andrö. Ibe’e dödönia Aberahamo mbanua Zodoma fabaya Gomora andrö, tenga börö wa so gohitö dödönia ba mbanua andrö. Ba hiza ifalua da’ö no sitobali bua wamati ba fa’ahatönia khö Lowalangi. Da’e mbua wamati andrö niwa’ö Waulo ba mbanua Golose. Bua wamati ba fa’ahatö khö Lowalangi andrö, mowua ba oroma ia ba wangobadödöi ba ba wangomasi’ö awö.

Ba luo migu andrö göi, Gereja ma’asambua, nidönia’ö namada Paus Leo XIV, tatörö tödö ngaluo Dua ba Awe (Kakek Nenek). Tua ba awe andre no niha sebua fa’omasi si tebai tasulöni. Moroi khöra göi tafaha’ö ita ba wamalua famati, fanötöna ba fa’omasi. Da’e göi ni’oroi’ö Nama Paus Leo XIV, ena’ö lö aetu so khöra wamati, fanötöna ba fa’omasi. Andrö moguna göi ta’obadödöi ira andrö, me moroi ba khöra göi andrö so mbuabua simane ni’oroma’ö Gaberahamo andrö. Faduhu sibai dödöda, me asese lafangelama ita wanguma’ö, “Böi tafe’e dödö zatua. Na me’e dödö zatua, ba na mangandrö ia, irugi dödö Lowalangi.” Amen. (Ditulis oleh Kat. Ingatan Sihura, S.Ag)


 




Minggu Biasa XVI/C 
20 Juli 2025

Marta Kaya dalam Pelayanan tanpa Hati dan tanpa Kasih;

Maria Bertumbuh dan Berkembang dalam Kasih Berkat Komunikasihnya dengan Yesus

Lukas 10,38-42

*********************

Kasih Persaudaraan

Adalah Herta dan Agnes.. dua bersaudara yang sudah kehilangan kedua orang tua mereka. Sepeninggalan kedua orang tua kecintaan mereka, Herta dan Agnes berjuang bersama untuk melanjutkan kehidupan mereka. Mereka bekerja, sambil bersekolah.

Herta dan Agnes memiliki cita-cita yang berbeda untuk masa depan mereka. Herta belajar disainer, sedangkan Agnes mendalami ilmu perkantoran. Berkat kerja keras yang digalakkan bersama, keduanya mampu memenuhi impian mereka. Mereka pun mulai merancang kegiatan bersama di rumah mereka yang kecil.

Setelah menggapai segala sesuatu yang diimpikan, keduanya memutuskan untuk menikah dengan pria pilihan mereka masing-masing. Namun, sebelum impian mereka terwujud, dalam perjalanan waktu, Herta menemukan Agnes, adiknya terjatuh di depan tangga rumah mereka. Herta sangat terpukul ketika mengetahui adiknya menderita lumpuh seumur hidup. Herta menjemput Agnes di rumah sakit. Pada saat saat itu, Herta pun mulai mengubah semua rencana hidupnya.

Agnes, adiknya kehilangan sang kekasih yang sudah berjanji untuk menikahinya karena kekasihnya tidak ingin menghabiskan seluruh hidupnya untuk merawat seorang isteri yang lumpuh. Agnes, si lumpuh juga tidak ingin menjadi beban bagi Herta, kakaknya. Namun Herta tidak memedulikannya: Beban? Apa yang kaumaksudkan dengan beban? Bukanlah kamu adalah adik kandung saya?

Melihat Herta memusatkan seluruh perhatiannya untuk merawat Agnes, adiknya, kekasihnya pun memutuskan hubungan mereka. Dia hanya ingin menikahi Herta jika Agnes dikirim ke panti cacat. Namun, keinginannya ini tidak akan mungkin dipenuhi oleh Herta.

Karena kegigihannya bekerja, Herta pun memiliki toko pakaian. Mereka pun membangun toko dan rumah kediaman mereka tanpa tangga. Banyak orang mengira bahwa keduanya hidup dalam kesedihan dan penyesalan karena tidak menikah. Dugaan itu salah karena mereka sudah menjalani hidup selama lebih kurang tiga puluh tahun.

Walaupun cacat, Agnes tetap mengembangkan ketrampilannya: Dialah yang mengatur semua pembukuan usaha mereka. Usaha mereka sangat laris. Terkandang Agnes marah kalau orang-orang menatapnya penuh rasa kasihan. Dia tegas mengatakan kalau dia tidak membutuhkan belas kasihan dari siapa pun, selain dari Herta, kakaknya sendiri.

Sementara itu, dalam diri Herta berkutat kuat rasa cemas mengenai Agnes, adiknya. Dia selalu berdoa, “Ya Tuhan, untuk Agnes dan bukan untuk saya… izinkanlah saya untuk hidup lebih lama dari dia. Dia membutuhkan saya untuk mendampinginya… dan saya juga membutuhkan dia”.

Sikap Herta terhadap Agnes sungguh-sungguh diresapi dan dijiwai oleh kasih sejati. Herta mengasihi Agnes seperti dia mengasihi dirinya sendiri. Baginya, Agnes adalah dirinya yang lain dan harus dikasihi..

********************

 Marta dan Maria adalah dua bersaudara yang tinggal serumah. Keduanya memiliki perbedaan, baik karakter maupun peran yang diemban dalam rumah mereka.

o   Marta menyambut Yesus di rumah miliknya. Di mata kaum Yahudi, Marta adalah orang kuat, penguasa yang harus diperhitungkan karena dia memiliki rumah sendiri dan mengurus rumahnya sendiri.

o   Maria menjadi orang nomor dua di rumah Marta. Dia tidak memiliki kekuasaan apa pun di rumah itu. Peranannya hanyalah membantu Marta, pemilik dan penanggung-jawab utama atas rumah itu.

Akan tetapi, ketika Yesus berkunjung di rumah Marta, Maria justru melupakan tugas dan tanggung-jawabnya. Karena itu, Marta, sang pemilik dan penanggung-jawab utama atas rumah itu langsung bereaksi ketika melihat Maria duduk dekat kaki Yesus. Marta marah karena Maria tidak menjalankan tugas dan tanggung-jawabnya.

Marta dan Maria, sama-sama manusia dan sama-sama wanita. Namun, Marta adalah wanita yang kuat, sedangkan Maria lemah. Persoalannya:

o   Mengapa Marta ingin menguasai Maria?

o   Apakah Marta tidak sadar bahwa dengan berbuat demikian, dia tidak mengasihi saudaranya sebagai manusia yang semartabat sebagaimana diajarkan Kitab Suci: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!

o   Apakah dengan berusaha menguasai orang lain, manusia bisa memperlakukan manusia yang lain sebagai sesama?

o   Apakah dengan mempertahankan posisi, status, kelebihan pribadi, manusia masih mampu melihat dan memperlakukan manusia yang lain sebagai sesama yang sederajat, senasib, sekepentingan?

o   Apabila kita melihat keseharian kita, jawaban atas pertanyaan tadi adalah tidak mungkin.

Melalui pengalaman Marta dan Maria, Yesus ingin mengajarkan empat hal penting, baik untuk kaum Yahudi, kaum Farisi dan ahli Taurat maupun untuk kita mengenai arti sesama/saudara:

o   Sesama itu tidak terbatas pada kelompok saudara sebangsa, seras, semarga dan seagama.

o   Sesama adalah diriku yang lain

o   Orang yang diakui sebagai sesama harus sungguh-sungguh diperlakukan sebagai sesama dalam kasih dan dijiwai oleh kasih.

o   Kehidupan kekal sangat mustahil dialami tanpa kasih. Kasih itu butuh perjuangan: dalam lingkup keluarga dan komunitas pun, kasih tetap harus diperjuangkan. Kita tidak pernah boleh berpikir bahwa dengan keberadaan kita sebagai saudara sekandung, dengan sendirinya kita mampu mengasihi saudara kita.

Di manakah letak kesalahan Si Marta?

Sebagai pemilik, tuan dan penanggung jawab utama atas rumahnya, Marta pasti ingin melayani Yesus, Tuhan dengan sebaik-baiknya. Karena itu, dia sibuk melayani. Kesalahan dalam diri Marta tidak menonjol dan sulit ditemukan apabila kita tergesa-gesa membaca isi kisah ini.

Kesalahan pertama dalam diri Marta terletak pada semangat pelayanannya yang tidak diresapi dan tidak dijiwai oleh kasih sejati.

o   Marta pasti mengasihi Maria, namun dia lebih mengasihi dirinya sendiri.

o   Cinta diri yang kuat menjadikan semangat pelayanan Marta kurang simpatik dan kurang sempurna.

 

Kesalahan kedua dalam diri Marta adalah kurang berkomunikasi dengan Yesus sehingga dia pun kurang mengasihi Yesus dan memperalat Yesus untuk kepentingannya.

Yesus pun menegur Marta karena dia kurang mengasihi Yesus. Namun menurut Marta, Yesus seharusnya peduli bahwa Maria membiarkannya melayani seorang diri. Tetapi, Marta lupa bahwa Yesus adalah tamu yang tidak ingin mencampuri urusan keluarganya. Maka tanpa berpikir panjang, Marta ingin memperalat-memanfaatkan Yesus demi kepentingannya sendiri: “Suruhlah dia untuk membantu aku!. Ingat: memperalat dan memanfaatkan orang lain, apalagi tamu adalah sebuah kesalahan yang fatal.

Kesalahan ketiga dalam diri Marta adalah kurang mengasihi Maria karena kurangnya kasih kepada Yesus.

Dia menghendaki agar Maria membantunya. Agar keinginannya terpenuhi, dia mencari akal, hingga akhirnya dia tidak segan-segan memaksa Maria di hadapan tamunya. Walaupun paksaaan itu tampaknya halus, paksaan tetaplah paksaan dan itu sangat bertentangan dengan kasih sejati.

Bagian Terbaik

Yesus menegur Marta dan dalam kata-kata teguran-Nya itu sesungguhnya Yesus berbicara mengenai “banyak perkara” yang diusahakan Marta. Inilah kenyataan hidup Marta:

o   Dia ingin menunjukkan dirinya sebagai seorang pemilik, penanggung-jawab dan pengurus rumah tangga yang baik.

o   Dia ingin melayani Yesus.

o   Dia ingin agar pelayananya itu  tidak mengalami hambatan apa-apa.

o   Namun, dia justru melakukan segala-galanya itu dengan pikiran yang berantakan.

Dia mencari akal untuk memaksa Maria dan memanfaat Yesus untuk menggapai rencana dan keinginannya. Pikirannya sungguh-sungguh tegang. Mengapa?

o   Sebab seluruh pikiran dan hatinya hanya dipenuhi dengan kepentingannya sendiri.

o   Dia ingin mengurus segala-galanya dan dia ingin semuanya beres, walaupun untuk itu dia harus memaksa tamu dan saudaranya sendiri.

o   Ketegangan pikiran dan hati Marta ini terjadi karena kurang adanya kasih yang tulen dalam dirinya.

o   Kasih sejati selalu tenang, tidak peduli dengan gengsi, tahan dan tabah apabila terjadi sesuatu yang tidak beres serta tidak memaksa dan memperalat orang lain.

Maria memilih bagian yang terbaik. Sebagai manusia, dia pasti memiliki kekurangan. Namun, dalam kekuarangannya itu, dia memberikan hati dan perhatiannya kepada Yesus, bukan pertama-tama sebagai manusia biasa yang harus dilayani/perlu diberi makan, melainkan sebagai Tuhan yang membawa keselamatan. Karena itu, dia berjuang untuk menjalin komunikasi dengan Tuhan: Dia mendengarkan Tuhan.

o   Apabila dalam kesehariannya, Maria belum sanggup mendengarkan Tuhan dan dia pun memiliki kesibukan yang sama seperti Marta (tidak pernah berhenti bekerja), tidak pernah merenungkan tujuan hidupnya, dia pasti tidak akan tertarik untuk duduk mendengarkan perkataan Tuhan.

o   Maria justru belajar untuk mengasihi dan berbelas kasih. Inilah tujuan hidupnya. Dengan sendirinya dia menjadi lemah, nomor dua di rumah dan dikuasai oleh Marta, namun dirinya dikuasai dan dipenuhi oleh kasih sejati berkat komunikasinya dengan Tuhan

o   Akibatnya, dia berkembang dalam kasih sejati. Karena itu, dia tidak mau membela diri, dan tidak bereaksi ketika Marta memaksakannya melalui Yesus.

o   Yesus tahu akan hal ini sehingga langsung membela Maria. Yesus adalah pembela yang lemah dan tidak berarti di mata orang yang kuat dan penting di dunia ini. Bagian yang dipilih Maria adalah kasih. Kasih itu tidak berkesudahan dan harta yang harus dimiliki oleh setiap pengikut Tuhan. Kasih itu harus dinyatakan, dibagikan dengan cara menjadi lemah, nomor dua…

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

 

 

 

 

 

 


Minggu Biasa XV

13 Juli 2025

Cinta Kasih, Jantung Hukum Kristus

Ulangan 30:10-14;

Mazmur 69:14.17.30.31.33.34.36ab.37

atau Mazmur 19.8.9.10.11

Kolose 1:15-20; Lukas 10,25-37

**************************************

Setelah Toyohiko Kagawa menemukan Yesus Kristus dalam kehidupannya dan mengimani-Nya, Dia meninggalkan rumahnya yang nyaman dan hidup di kawasan kumuh Kota Tokyo. Di tempat inilah dia memberikan dirinya dengan membagibagikan kekayaannya kepada kaum papa-miskin, walaupun dia sendiri menderita penyakit TBC.

Dalam bukunya yang berjudul Keputusan-Keputusan Terkenal dalam Hidup, Cecil Northcott berkisah bahwa Kagawa adalah sesosok pribadi yang berkeinginan kuat untuk menjadi pengikut Yesus Kristus. Setiap saat dia berdoa demikian, “Ya Allah, jadikanlah aku seperti Yesus Kristus.”

Cecil berkisah bahwa pada malam pertama, seseorang yang berpenyakit kulit menular tidur di sampingnya. Pagi hari, orang itu meminta baju dan celananya. Kagawa pun memberikannya. Pada akhirnya, Kagawa tidak memiliki apa-apa lagi, selainh kimono tua yang melekat di badannya.

Dengan mengenakan kimono tua, Kagawa tetap bekerja, menolong kaum papa-miskin yang membutuhkan bantuannya, walaupun batuk selalu menyerangnya. Pada suatu hari, Kagawa berkata kepada kaum papa-miskin yang ditolongnya, “Allah adalah Cinta. Di mana ada Cinta, di sana ada Allah.”

Kaum papa-miskin yang berdiam di kawasan kumuh itu selalu acuh tak acuh kepadanya. Mereka tidak pernah menghormati atau mengaguminya. Ketika Kagawa tampak begitu letih, sahabat-sahabatnya memikulnya dan membawa dia ke pondoknya. Kagawa menghabiskan seluruh hidupnya untuk membantu kaum papa-miskin di kawasan pingiran Kota Tokyo.

Bagi Kagawa, sesama adalah orang-orang yang berugumul dengan kemiskinan yang mematahkan harapan dan orang-orang yang membutuhkan bantuannya. Mereka tidak memiliki rumah dan pekerjaan yang tetap. Mereka menggantungkan kehidupan pada cinta dan belas kasih orang-orang di sekitarnya.

************************

Ada begitu banyak orang miskin-papa terkapar di pinggiran kehidupan kita karena:

o   Dihimpit oleh tekanan ekonomi, ketidakadilan dan perlakukan sewenang-wenang  dari orang lain;

o   Ditipu dan dimanipulasi sehingga tertekan dan frustrasi,

o   Mengalami penderitaan lahir dan batin, bahkan karena kesalahan sendiri.

Apakah kita rela berbesar hati seperti Toyohiko Kagawa yang rela meninggalkan tempat tinggalnya yang nyaman dan bekerja untuk kaum papa-miskin di kawasan kumuh Kota Tokyo? Apakah kita rela turun dari keledai kenyamanan hidup kita untuk menolong sesama yang membutuhkan bantuan di pinggir jalan kehidupan kita? Apakah kita sadar bahwa dengan bergerak ke pinggir jalan untuk membantu orang-orang yang terkapar, kita sungguh-sungguh melakukan pekerjaan Kristus, menghidupi ajaran kasih-Nya Yesus dan mencicipi hidup kekal bersama Allah?

Kisah Yesus mengenai Orang Samaria yang Baik Hati ini hanya bermakna apabila dihubungkan dengan konteksnya, yaitu keinginan seorang Ahli Taurat untuk memperoleh hidup yang kekal. Dalam Injil Minggu ini dikisahkan mengenai seorang Ahli Taurat yang bertanya kepada Yesus mengenai apa yang seharusnya dilakukannya untuk memperoleh kehidupan yang kekal. Ketika Yesus menjawab bahwa dia harus mencintai Allah dan sesama seperti dia mencintai dirinya sendiri, Ahli Taurat itu kembali bertanya, “Dan siapakah sesamaku manusia? Untuk menjawab pertanyaannya, Yesus bercerita kepadanya mengenai Orang Samaria yang Baik Hati.

Dalam cerita itu, Yesus berkisah mengenai seseorang yang dirampok dan dipukul hingga sekarat. Seorang imam melihatnya, namun hatinya tidak tergerak untuk memberikan pertolongan kepadanya. Dia berpikir bahwa orang itu sudah mati sehingga dia tidak bersedia menyentuhnya. Bagi seorang imam, menyentuh jenazah akan membuat dirinya najis dan dia tidak diperkenankan untuk mempersembahkan kurban di Bait Allah selama tujuh hari (Bilangan 19:11). Baginya, melayani altar Tuhan lebih penting karena dia akan mendapatkan upahnya daripada melakukan perbuatan cinta kasih dan harus kehilangan penghasilannya.

Kemudian, datanglah seorang Lewi. Hatinya juga tidak tergerak untuk menolong orang yang sekarat itu karena dia lebih mementingkan keselamatan dirinya. Untuk itu, dia berusaha mencari jalan lain. Akhirnya, datanglah seorang Samaria. Dia tidak peduli dengan perbedaan sosio-politik dan sosio-religius dengan korban yang sedang sekarat. Dia juga tidak mempedulikan keselamatan dirinya. Dia melihat sesosok manusia sekarat yang sangat membutuhkan bantuannya. Karena itu, dengan segera, dia turun dari keledai tunggangannya dan memberikan bantuan.

Di mata orang Yahudi, orang Samaria dipandang kafir atau bidaah. Namun dari perbuatannya, dia justru menunjukkan kedalaman hidupnya dengan melaksanakan hukum Allah secara sempurna. Inti dan jantung hukum Allah adalah cinta kasih.

Kagawa berdoa supaya dia menjadi seperti Yesus Kristus. Di akhir petualangannya di kawasan kumuh Kota Tokyo, dia menuliskan kata-kata ini:

o   Allah berdiam dalam diri orang-orang yang paling rendah dan hina.

o   Allah duduk di debu bersama para narapidana di penjara.

o   Allah berdiri dengan anak-anak remaja yang nakal.

o   Allah berada bersama pengemis, orang sakit dan orang-orang yang tidak memiliki pekerjaan.

Oleh karena itu, siapa saja yang ingin berjumpa dengan Allah, dia harus mengunjungi sel-sel penjara, rumah sakit sebelum pergi ke Gereja. Sebelum membaca Kitab Suci, terlebih dahulu, dia harus menolong kaum papa-miskin dan para pengemis.”

Pada akhirnya, kita semua diadili oleh perbuatan cinta kasih yang kita lakukan kepada Allah dalam diri sesama. Inti iman kita tidak terletak:

o   Pada kesemarakan liturgi yang dirayakan;

o   Pada kekusukkan kita berdoa di hadapan tabernakel hingga pingsan;

o   Pada koor yang dinyanyian dengan suara merdu dan musik yang mengalun senduh,..

Iman kita justru tertetak pada perbuatan cinta kita kepada Allah dalam diri sesama, baik yang berada di rumah kita maupun di sekitar lingkup kehidupan kita. Melalui Kisah Orang Samaria yang Baik Hati, Yesus menegaskan bahwa kehidupan kekal hanya diperoleh jika kita melakukan perbuatan cinta, seperti yang dilakukan oleh Orang Samaria yang Baik Hati.

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 


 


Minggu Biasa XIV

06 Juli 2025

Halangan yang Dimanfaatkan

(Yesaya 66:10-14c; Mazmur 66:1-3a.4.5.6.7a.16.20; Galatia 6:14-18

Lukas 10:1-12.17-20)

*************************************

Seorang jenius menegaskan bahwa tidak ada penyakit fisik yang bisa menghalangi seseorang untuk berprestasi. Lord Byron berkaki pekuk. Robert Louis Stevenson dan John Keats menderita penyakit paru-paru. Charlers Steinmetz dan Paus Alexander memiliki tulang pungkung yang bungkuk. Laksanama Nelson hanya bermata satu. Edgar Allan Poe memiliki masalah mental. Charles Darwin adalah seorang cacat. Julius Cesar menderita sakit epilepsy. Thomas Alva Edison dan Ludwog Beethoven tuli. Peter Stuyvesant menggunakan kaki palsu dari kayu.

Mereka semua memiliki hambatan/halangan fisik untuk berkembang dan berperstasi. Namun hambatan/halangan fisik ini justru membangun kekuatan dan kehendak yang kuat dalam diri mereka untuk berprestasi.

Jika kita memiliki kesempatan, cobalah meneliti beberapa ekor semut yang bekerja. Letakanlah penghambat di jalan yang akan mereka lalui. Mereka akan mengelilingi penghalang itu, atau melewatinya dari atas atau dibawahnya, namun mereka tidak pernah mundur.

*********************************

Ketika mengutus para murid-Nya untuk meneruskan misi perutusan-Nya, Yesus memberikan penghalang dalam bentuk dua syarat yang harus dipatuhi oleh para utusan-Nya. Kedua syarat ini pasti membatasi kebebasan mereka untuk bergerak. Namun, mereka mengolah dan menghadapi hambatan ini sedemikian sehingga mampu membangun kehendak yang kuat untuk meneruskan misi Kristus yang sesuai dengan koridor Yesus sendiri.

Adapun dua syarat itu:

Pertama, mereka tidak diperkenankan membawa pundi-pundi atau bekal atau kasut. Pundi-pundi searti dengan uang. Bagi Yesus, uang itu merepotkan. Karena itu, setiap utusan yang akan berkarya bagi diri-Nya dan bagi keselamatan manusia harus merdeka dari uang sehingga tidak menjadi budak uang yang penghalang dalam menjalankan misi keselamatan. Kemerdekaan seorang utusan hanya bisa dicapai apabila ada keteguhan iman dan niat untuk tidak memikirkan pundi-uang. Niat ini bukanlah sebuah kesintingan di mata dunia yang gencar mencari uang. Utusan yang sungguh merdeka adalah pribadi yang tidak mencemaskan masa depan.

Kedua, Yesus juga menegaskan agar setiap utusan-Nya tidak diperkenankan untuk memberikan salam kepada siapa pun selama berada dalam perjalanan. Dasar larangan ini adalah kebiasaan yang hidup dan berkembang di wilayah Timur Tengah. Orang Timur Tengah sangat suka bersalaman dan berbasa basi dalam sebuah perjumpaan di diperjalanan: mereka akan duduk ngobrol, tanpa isi, tanpa arah. Yesus menegaskan larangan ini dengan satu alasan, yaitu misi perutusan-Nya sangat mendesak sehingga tidak ada waktu untuk berbasa basi dan berbual-bualan, untuk berbelok arah mengurus kepentingan pribadi dan melakukan aneka hal yang tidak sesuai dengan misi Yesus sendiri.

Tetapi, apabila memasuki sebuah rumah, utusan-Nya harus memberikan salam. Mengapa?

Salam yang disampaikan di rumah itu sangat berbeda dengan salam yang disampaikan di jalanan. Inti salam yang disampaikan di rumah lahir dari pemberikan diri, pembentangan isi hati yang damai, jernih dan tulus. Salam yang disampaikan di rumah bukanlah ucapan basa-basi yang tidak memiliki arti, melainkan ungkapan kehangatan cinta dan ketulusan untuk berbagi cinta dan isi hati, damai batin, yaitu cinta lahir dari hati, cinta yang memberikan kehangatan, keakraban, penuh kedamaian, menyatukan dan menyembuhkan.

Cinta dan damai yang keluar dari hati adalah rangkuman kedalaman batin yang terkait erat dengan cinta dan kedamaian Kerajaan Allah. Cinta dan damai batin adalah tanda kerajaan. Apabila cinta dan salam itu disampaikan dan diterima dengan tulus, maka pribadi yang menerima cinta dan salam itu menerima Kerajaan Allah, menerima Allah sendiri serta karunia cinta dan damai-Nya.

Karunia cinta dan damai adalah karunia Allah dan karunia Roh-Nya sendiri. Cinta dan damai sejati adalah inti Roh dan inti diri Allah sendiri. Apabila isi cinta dan Roh Allah itu tinggal di dalam hati kita, itu berarti Allah ada dalam hati dan kehidupan kita. Allah bekerja dalam hati dan kehidupan kita dan Allah sendirilah yang memberdayakan kita untuk memberikan cinta dan salam yang tulus kepada sesama: salam yang keluar dari hati dan bibir kita adalah cinta dan salam Allah sendiri.

Para utusan Yesus diberikan pesan untuk memberikan cinta dan damai kepada rumah, yaitu kepada orang-orang yang menerima mereka dalam rumah itu. Apabila mereka menerima cinta dan salam yang digerakan oleh Roh Allah sendiri, maka mereka akan menjadi sebuah keluarga yang berpadu hati, kaya cinta dan diliputi kedamaian.

Cinta dan damai yang keluar dari Allah, Sabda Allah dan Roh-Nya adalah makanan dan gizi rohani dari Allah sendiri untuk menyuburkan semangat cinta, pemberian diri bagi yang lain, menyembuhkan setiap pribadi yang dikunjungi. Penyembuhan itu terjadi berkat anugerah, yaitu cinta dan damai sejahtera, tanda datangnya Kerajaan Allah.

Apabila kita menerima Kerajaan Allah, maka kita menerima Allah sendiri, menerima Roh-Nya. Kita akan berjalan dalam koridor kehendak Allah dan bermisi sesuai dengan pikiran Allah sendiri, bukan pikiran kita. Karena itu, kehendak Allah dan tuntutan-Nya yang kerap membatasi kebebasan manusiawi kita harus ditaati.

Sebaliknya, apabila kita menolak cinta dan damai Allah dengan mengutamakan bekal, pundi, kasut (harta duniawi) dalam kehidupan kita, dengan sendirinya kita menolak kehadiran Allah yang melawati kita dengan penuh cinta dan kerahiman-Nya. Kita tidak berjalan pada koridor Allah. Saat ini, kita ditantang untuk memiliki pundi-pundi atau Allah? Jika kita mengutamakan bekal, pundi-pundi dan kasut (harta), layakah kita menjadi utusan Tuhan?

Ingatlah,....... Sodom, kota yang paling buruk namanya dalam Tradisi Perjanjian Lama akan lebih ringan tanggungannya daripada kota hati kita yang yang selama ini memiliki nama baik karena status kita, namun tidak memberikan tempat untuk Allah sendiri yang sudah memanggil kita.

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget