Bac. I Yesaya 35:1-6a.10

Mazmur 146: 7.8.9a.9b.-10

Bac. II Yakobus 5:7-10

Matius 11:2-1

Minggu, Pekan III Adven, Tahun A

14 Desember 2025

“Berbahagialah orang yang tidak menolak Aku”

(Matius 11:6)

**************************

Seorang anak lelaki duduk bersama kakeknya di baranda sebuah rumah pertanian. Mereka mendengar deru suara mobil yang sedang menuruni jalan becek yang jarang dilalui, dekat rumah pertanian tersebut. Ketika pengemudi mobil melihat mereka berada di baranda depan, dia berhenti untuk menanyakan arah jalan menuju kota terdekat.

Setelah mendengar petunjuk arah dari orang tua itu, si pengemudi kembali ke mobilnya. Setelah berjalan beberapa saat, dia berbalik dan dengan sikap canggung bertanya kembali kepada orang tua itu. “Kakek, katakan kepada saya, orang macam apakah yang tinggal di sekitar sini?

Kakek tua itu bertanya, “Mengapa bapak bertanya demikian?

Setelah mendekat beberapa langkah, si pengemudi berkata, “Saya baru saja meninggalkan sebuah kota. Masyarakatnya sangat sombong. Saya belum pernah berjumpa dengan manusia yang tidak bersahabat seperti mereka dalam kehidupan saya. Saya hidup di kota itu selama setahun. Saya tidak pernah merasa diri sebagai bagian dari mereka.”

Kakek tua itu menjawab, “Saya kira, seperti itu jugalah keadaan yang akan engkau alami pada masyarakat di sekitar ini.”

Si pengemudi itu mengucapkan selamat tinggal dan akhirnya berjalan lewat. Cucunya terheran-heran, namun tidak berkata apa pun kepada kakeknya.

Beberapa jam kemudian, mobil lain berhenti di depan rumah pertanian. Pada saat itu, anak laki-laki masih duduk bercerita dengan kakeknya. Pengemudinya, seorang wanita. Dengan senyum ramah di wajahnya, dia bergerak mendekati baranda dan menanyakan arah jalan menuju kota yang sama. Setelah mencatat petunjuk sang kakek tua dengan teliti, wanita itu bertanya, “Kakek, orang macam apakah yang berada di sekitar sini?

Kakek tua itu bertanya kepada wanita itu, “Mengapa kamu bertanya demikian?

Wanita itu berkata, “Tahukah Kek... saya baru datang saja dari kota kecil yang sangat indah itu. Saya sangat yakin bahwa kota itu pasti didambakan oleh semua orang. Masyarakatnya membuat saya merasa, seperti berada di rumah sendiri. Semua masyarakat sangat baik dan ramah. Saya merasa sangat senang dan sangat bahagia berada di kota itu.”

Kakek tua itu menjawab, “Baik, engkau akan menemukan dan mengalami orang-orang yang sama baiknya di sekitar ini.”

Wanita itu bergerak menuju mobilnya dan segera berlalu. Anak laki-laki berpaling kepada kakeknya. Dengan penuh kebingunan, anak itu bertanya kepada kakeknya, “Kakek, mengapa kakek memberikan jawaban yang berbeda  kepada dua orang asing itu untuk pertanyaan yang sama?

Sambil menepuk bahu cucu lelakinya itu, sang kakek menjawab, “Cucuku... ingatlah... sikap kita terhadap sesama/masyarakat sangat menentukan bagaimana sikap sesama/masyarakat terhadap kita. Semua manusia di dunia ini baik, kalau kita mendekati dan memperlakukan mereka dengan baik. Semua manusia akan menjadi jahat, kalau kita mendekati mereka dengan sikap kita yang jahat.”

**********************

Yohanes Pembaptis merasa gelisah dalam penjara. Kegelisahannya menguat, bukan karena  dia dipenjarakan tanpa alasan, melainkan karena dia mendengar bahwa karya Yesus sungguh-sungguh tidak sesuai dengan apa yang diharapkannya dari seorang Mesias. Baginya, tindakan Yesus agak lamban dan kurang tegas.

Berbeda dengan Yesus, pewartaan Yohanes Pembaptis justru sangat keras dan tegas. Dia menghardik orang Farisi dan orang Saduki dengan kata-kata yang tajam, “Hai kamu keturunan ular beludak, siapakah yang mengatakan kepada kamu bahwa kamu dapat melarikan diri dari murka Allah yang akan datang? Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik akan ditebang dan dibuang ke dalam api.”

Karena alasan inilah, maka Yohanes Pembaptis mengirimkan utusan untuk bertanya kepada Yesus. Patut diakui bahwa karya Yesus sungguh berbeda dengan karya Yohanes Pembaptis. Yesus menjadi Guru yang Berkeliling, sambil Berbuat Baik. Dia menyembuhkan orang buta, orang timpang berjalan, orang mati hidup kembali. Walaupun bersikap keras, namun Yesus sesungguhnya lemah lembut dan rendah hati. Dia bersahabat dengan orang berdosa dan bertamu-berjamu di rumah mereka.

Perbedaan cara pewartaan di antara keduanya inilah yang melahirkan krisis kepercayaan dalam diri Yohanes pembaptis kepada Yesus. “Apakah Engkau yang harus kami nantikan? Atau haruskah kami menantikan orang lain? Apakah benar bahwa Engkau adalah Orang yang Kedatangan-Nya Diwartakannya? Kalau benar, mengapa Engkau tenang-tenang saja? Mengapa Engkau tidak mengecam kebejadan para penguasa sebagaimana dilakukannya? Mengapa Engkau tidak mengambil tindakan tegas terhadap Herodes yang memerintah rakyak sewenang-wewnang?

Semua pertanyaan ini menggerakan Yohanes untuk mendengarkan secara langsung dari Yesus. “Diakah Orang yang mereka nantikan, ataukah mereka harus menantikan yang lain? Dalam situasi ini, sesungguhnya Yohanes Pembaptis mengalami krisis iman. Akan tetapi, krisis ini diatasi ketika dia mendapat jawaban dari Yesus: Pergilah dan katakanlah kepada Yohanes apa saja yang kamu dengar dan kamu lihat; ada mukjizat yang dialami rakyat, sedangkan Kabar Baik diberitakan kepada orang miskin.

Melalui jawaban-Nya ini, Yesus menegaskan perbedaan antara Diri-Nya sebagai Mesias dalam mewartakan dan menegakkan Kerajaan Allah (dalam diri-Nya) dan Yohanes Pembaptis sebagai Perintis kedatangan-Nya dalam mendekati dan mewartakan pentingnya pertobatan agar layak menyambut kedatangan Sang Mesias. Yohanes Pembaptis sangat tegas dan keras dalam pewartaan kenabiannya karena dia menyatakan kemendesakan kepada manusia untuk mengambil keputusan mengingat saat Penghakiman Allah akan segera ditegakkan. Jika kita tidak tegas dalam keputusan kita untuk berpaling kepada Allah, maka murka Allah akan dijatuhkan kepadanya. Baginya, Allah adalah Api yang Membakar dan Menghanguskan.

Yesus setuju dengan isi pewartaan Yohanes Pembaptis mengenai kemendesakan manusia untuk menetapkan keputusan karena saat Penghakiman Allah yang akan segera ditegakkan. Namun Yesus memperbaharui pemahaman mengenai Allah: Allah bukanlah Api yang Membakar dan Menghanguskan, melainkan Cinta yang Merangkul, bahkan Merangkul Musuh.”

Konsep dan pemahaman Yesus mengenai Allah sebagai “Cinta yang Merangkul, hingga Merangkul Musuh” sangat mempengaruhi cara-Nya mewartakan dan bersaksi sehingga berbeda dengan cara Yohanes Pembaptis. Walaupun demikian, sikap manusia Yahudi tetap satu dan sama: Mereka menolak, baik pewartaan dan kesaksian hidup Yohanes Pembaptis maupun pewartaan dan kesaksian hidup Yesus, Sang Mesias karena mereka sudah memiliki konsep dan pemahaman tersendiri mengenai Mesias dan sosok yang mendahului kedatangan Sang Mesias, yaitu Elia. Bagi mereka, Yesus bukanlah Mesias dan Yohanes Pembaptis bukanlah Elia. Sikap manusia Yahudi sangat berbeda dengan pesan yang dititipkan Sang Kakek kepada cucunya, Cucuku... ingatlah... sikap kita terhadap sesama/masyarakat sangat menentukan bagaimana sikap sesama/masyarakat terhadap kita. Semua manusia di dunia ini baik, kalau kita mendekati dan memperlakukan mereka dengan baik. Semua manusia akan menjadi jahat, kalau kita mendekati mereka dengan sikap kita yang jahat.”

Kesatuan sikap manusia Yahudi dalam menanggapi pewartaan dan kesaksian hidup Yohanes Pembaptis, Sang Perintis kedatangan Mesias dan pewartaan-kesaksian hidup Yesus, Sang Mesias dinyatakan dalam Sabda Yesus yang ditutup dengan pernyataan, “Berbahagialah orang yang tidak menolak Aku.” Mengapa Yesus ditolak? Sebab Dia menomorsatukan orang-orang yang malang; Dia menjadi miskin dengan orang yang berdosa, miskin, sakit dengan yang sakit dan mati dengan yang mati.

Orang yang paling mudah menolak Yesus adalah orang-orang yang sudah lama memelihara dalam pikiran dan hati mereka, gambaran yang serba salah mengenai Allah dan utusan-Nya. Orang-orang demikian menjadi sangat picik dan sempit pemikiranya karena terkunci pada isi otak sendiri, seperti orang Yahdui. Sesungguhnya, Allah tidak memiliki apa-apa sebab semuanya sudah diberikan kepada manusia dan semua ciptaan-Nya. Allah juga tidak memaksa siapa pun  untuk menerima-Nya. Jika manusia tidak memahami hal ini, manusia tersebut sesungguhnya tidak beriman.

Jadi kata-kata Yesus ini sungguh-sungguh serius. Adalah tidak cukup jika kita hanya mengenal Dia. Kita harus terbuka menerima Dia apa adanya. Dan ini soal pilihan: menerima atau menolak Yesus yang sesungguhnya.

Tidak jarang, pilihan sikap kita, menolak atau menerima Yesus dan mengimani-Nya sebagai Mesias yang Dinantikan kerap mendapat tanggapan yang berbeda serta mendatangkan krisis iman dalam diri kita. Kita meragukan ke-Mesias-an-Nya, cinta dan kebaikan-Nya tatkala kita mengalami sesuatu yang pahit dalam kehidupan kita. Krisis iman adalah sesuatu yang netral. Krisis iman bisa membuahkan hal yang baik dan juga hal yang buruk. Ini sangat tergantung pada pemahaman iman dalam diri kita.

Yohanes Pembaptis mengakhiri krisis imannya setelah dia mencari jawaban atas persoalan yang menggelisahkannya dengan penuh kesabaran. Kita harus mengikuti cara Yohanes Pembaptis: tidak berputus asa ketika mengalami krisis dalam kehidupan, terutama krisis iman.

 

Selamat Bermenung...

Salam Kasih....

Buona Giornata...

Dio Ti Benedica....

Alfonsus Very Ara, Pr