Minggu Biasa XVIII/C/II
Kekayaan: Jaminan yang Palsu
Lukas 12, 13-21
***************************
Adalah
kisah mengenai seorang bangsawan Inggris yang sangat kaya. Pada suatu hari, dia
memanggil pembantunya yang sangat dungu dan bodoh. Tugas utama pembantu ini
adalah: menceritakan kisah-kisah lucu ketika dia sedang bersusah, stress,
tertekan.
Sang
bangsawan ini memberikan tongkat ajaib kepada pembantunya dan berkata:
“Simpanlah tongkat ajaib ini sampai engkau menemukan seseorang yang lebih dungu
dan bodoh daripada kamu. Setelah kamu menemukannya, berikanlah tongkat ini
kepadanya”.
Sang
pembantu yang pelawak, dungu dan bodoh ini menerima tongkat ini dengan senang
hati. sejak saat itu, dia selalu membawa tongkat ke manapun dia beranjak,
terutama di saat perayaan besar kaum bangsawan sambil mencari dan menemukan
seseorang yang lebih dungu dan bodoh dari dirinya. Namun, dia tidak
menemukannya.
Pada
suatu hari sang bangsawan yang kaya raya, majikannya sendiri memanggilnya. Dia
sedang terbaring lemah di ranjang tidurnya karena sakit sambil menunggu ajal
menjemputnya. Dia meminta sang pelawak yang bodoh dan dungu ini duduk di
sampingnya dan berkata, “Saya akan mengadakan perjalanan yang panjang?
Sang
pelawak itu bertanya, “Tuan mau ke mana?
Jawab
sang bangsawan, “Saya tidak tahu.
Sang
pelawak bertanya, “Apakah tuan sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk
perjalanan itu?
Sambil
mengangkat bahunya, bangsawan itu berkata, “Saya tidak mempersiapkan apa pun”.
Kata
pelawak itu, “Jika demikian halnya, ambillah tongkat ini”.
Sang
pelawak itu menyerahkan tongkat kepada tuannya dan berkata, “Inilah milik tuan
sebab tuanlah yang paling bodoh dan dungu dari saya sebab tuan tidak
mempersiapkan apa pun untuk mengadakan perjalanan panjang menuju akhirat”.
*******************
Hidup seorang
Katolik adalah sebuah perjalanan menuju ke satu titik, yaitu perjumpaan dengan
Allah, pemilik hidup kita sendiri. Tujuan akhir perjalanan hidup seorang
Katolik bukanlah kematian, sebab kematian itu hanyalah sebuah kunci emas untuk
membuka pintu menuju istana abadi, yaitu takhta Allah sendiri.
Patut diakui bahwa
hidup di dunia ini merupakan sebuah rentangan waktu bagi kita untuk
menunjukkan, menemukan dan menghayati kemanusiaan kita. Waktu kehidupan yang
terhitung sejak kelahiran hingga kematian menjadi jalan bagi kita bergerak
menuju pintu khusus, yaitu kematian badan manusiawi kita/menuju keabadian.
Rentangan waktu hidup ini hanyalah sebuah titik start, sebuah persiapan, bukan
tujuan sebab hidup kita tidak terhenti di dunia ini. Apabila kita mengisi
rentangan hidup ini hanya dengan bekerja keras supaya sukses, memiki segudang
duit, termasyur, dipuja sembah, maka kita seharusnya ingat bahwa semuanya ini
hanyalah persiapan supaya kita bisa memasuki pintu emas untuk memasuki keadaan
kita yang baru, yaitu hidup baru bersama Allah dan menjadi milik kepunyaan
Allah.
Kisah mengenai
“Orang Kaya yang Bodoh” adalah sebuah kisah hidup mengenai pemahaman manusia
yang salah mengenai tujuan hidup ini. Dalam pandangan Yahudi, kekayaan itu
diterima sebagai berkat dari Allah: apabila seseorang memiliki kekayaan
berlimpah, itu berarti Allah memberkati orang itu; sedangkan jika seseorang itu
miskin, sakit dan menderita, itu berarti orang itu dikutuk oleh Allah karena
dosa-dosanya atau dosa kedua orang tuanya. Namun, bagi Yesus, kekayaan tidak
identik dengan berkat dan kemiskinan tidak identik dengan kutukan dan dosa.
Kisah mengenai
“Orang Kaya yang Bodoh” ini justru membuat perbedaan yang tegas antara orang
kaya dan kekayaan yang dimilikinya: Yesus tidak mencela kekayaan, tetapi
mencela sikap seseorang yang salah terhadap kekayaan, yaitu sikap orang-orang
yang mendewakan kekayaan hingga menjadi tamak, egois, tertutup terhadap yang
lain karena diperbudak oleh kekayaannya sendiri.
Ada dua hal yang ada dalam diri orang
kaya yang bodoh:
o
Pertama, dia
membentuk diri dan hidupnya sebagai kesempatan untuk mengumpulkan harta;
o
Kedua, kekayaan
yang dimilikinya menjadi obyek kesenangan pribadi dan tidak menjadi sarana
untuk membahagiakan yang lain.
Diakui bahwa dia
adalah seorang pekerja keras sehingga bisa kaya. Namun seluruh hidupnya hanya
untuk bekerja dan tidak pernah bekerja untuk hidup. Dia tidak memanfaatkan
harta untuk membuat hidupnya bermakna, sekurang-kurangnya bagi saudaranya,
tetapi justru dengan sikap tamak, loba berjuang untuk mendatangkan kerugian
bagi saudaranya.
Harus disadari
bahwa kekayaan itu tidak akan pernah bisa membahagiakan kita, bahkan menjadi
awal dari litania kesusahan dan penderitaan yang panjang dalam kehidupan
apabila digunakan dengan sikap tamak: berjuang memperkaya diri dengan cara
menyingkirkan saudara sendiri, menyingkirkan sesama yang lain. Jika sikap kita
demikian, yakinlah, kita tidak akan pernah tenang, tidak bahagia dan kalaupun
kita bahagia, sifatnya hanya sementara. Hidup kita akan dirajam rasa cemas dan
akan semakin cemas apabila harta semakin berlimpah: stress, serangan jantung,
stroke dan mate..
Pengkotbah
menegaskan bahwa harta akan menjadi milik kita hanya untuk sementara saja dan
karena itulah disebutkan sebagai “kesia-siaan”. Karena itu, Allah berkata
kepada orang kaya, “Hai engkau orang bodoh, pada malam ini juga jiwamu akan
diambil daripadamu…” (Lukas 12,20). Orang kaya itu dikatakan bodoh karena dia
mencari, menemukan dan menyimpan yang sia-sia: Dia hanya memperhatikan dirinya
sendiri; dia enggan memanfaatkan hartanya untuk kebaikan orang lain. Dia
menyimpan untuk dirinya sendiri sehingga hidupnya tidak berarti untuk orang
lain dan untuk Allah.
Begitu banyak orang kaya di sekitar
kita yang sangat bodoh:
o
Mereka menyimpan
banyak hal yang sia-sia dalam hidup mereka.
o Mereka menyimpan milyaran/trilyunan uang di bank luar negeri.
o Bersama keluarga, mereka menikmati bunganya dengan rasa bangga, sementara
banyak orang miskin yang tidak dapat berusaha karena tidak memiliki modal.
o Mereka mudah menikmati MacDonald dan melahap KFC di mal dengan harga yang
bisa dinikmati orang msikin bersama seluruh keluarga.
o Mereka berbelanja di Singapura dengan tenang, Hongkong, Paris, London;
menghabiskan jutaan dolar di meja judi Las Vegas, Monaco, Macao atau di
hotel-hptel di Ancol, sementara jutaan rakyat bangsa ini harus meminjam uang
untuk membayar uang sekolah yang seharusnya gratis.
o
Mereka mengimport
makanan kucing Whiskas dari Inggris dengan harga puluhan ribu untuk sekali
makan, sementara pembantu rumah tangga hanya menikmati sepotonh tempe yang
harganya hanya beberapa ratus rupiah.
Sikap egois dan
rakus/tamak untuk mengumpulkan harta ini akan mendatangkan murka Allah bagi
pelakunya. Kita seharusnya bekerja untuk hidup dan mengisi hidup dengan
kebaikan. Kita harus menjadikan kekayaan sebagai sarana untuk kebahagiaan diri
sendiri dan sesama yang lain. Apabila kita bersikap demikian, maka kita sudah
mempersiapkan kehidupan kita dengan baik dan apabila tiba saatnya jiwa kita
dijemput, jiwa itu sudah memiliki kunci emas untuk membuka pintu surga.
Sebaliknya, orang kaya yang pelit, egois dan tamak hanya memenuhi pikiran dan
hatinya dengan hal duniawi, mengisi rapor kehidupannya dengan hal yang sia-sia
dan pada saat mereka meninggalkan hidup ini, mereka tidak memiliki kunci untuk
masuk ke dalam keabadian karena tidak memiliki persiapan. Ke mana mereka berada?
Ke alam kesia-siaan!!
Paulus mengajak
kita untuk “memikirkan perkara yang di atas dan bukan yang di bumi.” Cara yang
paling tepat untuk mempersiapkan jalan menuju Allah melalui harta yang kita
miliki adalah dengan mencintai, membangun keutamaan berbagi/solider dengan yang
lain, terutama yang kecil, miskin dan tidak berdaya serta mempergunakan
kekayaan untuk memajukan kedamaian dan keadilan.
Orang kaya yang
egois adalah pengumpul kesia-siaan, sebab hartanya akan diambil darinya oleh
Sang Pencipta. Ingatlah kata-kata Ayub: “Kita lahir dengan telanjang dan
akan kembali kepada Allah dengan telanjang” dan berdoalah selalu “Tuhan
jadikanlah aku murah hati, sebab dengan memberi, aku menerima!
Buona
Domenica..
Selamat
Bermenung...
Salam
Kasih...
Dio
Ti Benedica...
Alfonsus
Very Ara, Pr