Mei 2020

Malam Hening Tiada Geming
Oleh: Bernadeth Mesra Wati Zai

Malam hening tiada geming
tak seorang pun berani berbisik
semua diam seraya merinding
bilakah pandemi menerobos bilik

Ingin daku berburu mutiara berharga
tiada satu pun dapat kuraba
Semua jadi hilang, sirna
terpuruk dalam gelapnya dunia

Air mata terurai membasahi bumi
meratapi peradaban waktu ini
ia membawa semua bersama masa
bagai tiada meninggalkan asa

Daku merunduk seraya berlutut
daku tengadah dan menjerit
ingin kuteriakkan kesedihan hati
ingin kuluapkan amarah membara ini

Salam oh bunda Maria terkasih
bersua di taman mawar nan indah
kau pun mendengar daku berkisah
bunda anakmu sedang gundah

Seketika kesedihan sirna
memandang wajah menawan bunda
kudapati sejuta harapan yang merajut asa
dengan kesejukan peluh ini kau seka

Minggu, 01 Desember 2019, merupakan salah satu momen sangat istimewa bagi umat Katolik di Kabupaten Nias. Istimewa karena telah dilantiknya Pengurus Lembaga Pembinaan dan Pengembangan Pesparani Katolik Daerah (LP3KD) Kabupaten Nias. Lembaga inilah yang nantinya menjadi corong dalam memprakarsai Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik, sekaligus jembatan antara umat katolik dengan pemerintah setempat.

Bertempat di Paroki Kristus Raja Gido, pelantikan diawali dengan Perayaan Ekaristi Adven Pertama yang dipimpin oleh Delegatus Ad Omnia (DAO) P. Ch. Sebastian Sihombing, OFM Cap dan didampingi oleh beberapa orang imam. Dalam homilinya, DAO mengingatkan umat akan pentingnya masa persiapan batin dalam menyambut kedatangan Sang Almasih lewat kesiapsediaan masing-masing pribadi. Beliau juga menyinggung bahwa LP3KD ini juga menjadi satu lembaga yang juga mempersiapkan umat dalam melaksanakan Pembinaan dan Pengembangan Pesta Paduan Suara Gerejani Katolik. Tugas dan tanggung jawab ini sangatlah penting dalam mengembangkan Gereja dan Negara.

Setelah doa komuni, pelantikan dipimpin oleh Bupati Nias. Dalam pelantikan tersebut, Bupati Nias menyampaikan bahwa pelantikan ini berdasarkan pada SK Bupati Nias bernomor: 453.5/313/K/Tahun 2019. Setelah pelantikan, dilanjutkan dengan Doa Pemberkatan oleh DAO. Pelantikan inipun disambut dengan gembira oleh umat Katolik khususnya yang ikut dalam Perayaan Ekaristi lewat tepuk tangan yang meriah. Setelah Perayaan Ekaristi, kegiatan dilanjutkan dengan acara Ramah Tamah dan foto bersama. [Artikel/Foto: Kat. Ingatan Sihura]

Penerimaan Anggota OFS yang baru 8 Desember 2019 di Pangaribuan berlangsung meriah dan berhasil. Misa dipimpin oleh P. Paskalis Pasaribu OFM Cap dan didampingi oleh P. Nikolaus Sitanggang OFM Cap bersama P. John D. Simamora OFM Cap telah menggoreskan sejarah baru dalam pembentukan Kelompok Persaudaraan Ordo Fransiskan Sekulir (OFS) Pangaribuan dengan tahap awal yaitu memasuki Tahap Postulan. Menurut Pastor Pendamping Rohani OFS Regio Sibolga, Pastor Paskalis, tahap itu merupakan tahap dasar saja. Dan anggota yang masuk pada Tahap awal dasar itu semacam embrio bakal Calon anggota baru menuju panggilan yang lebih kuat lagi. Oleh karenanya, anggota yang masuk Postulan tidak perlu takut-takut. Harus berani, dan menghidupkan panggilan seturut dengan Injil.

Penerimaan anggota OFS Tahap Postulan itu, didahului rekoleksi yang dipimpin oleh Pastor Nikolaus Sitanggang OFM Cap, dengan tema mengasihi adalah tugas penting anggota OFS. Pada saat penerimaan anggota, Herman OFS yang menerima anggota OFS Tahap Postulan mewakili Dewan Regio Santu Polykarpus Sibolga juga menekankan, untuk bisa semakin maju dalam OFS hendaknya mengenal lebih dekat cara hidup Fransiskan Sekular. Menjadi anggota OFS merupakan satu berkat Allah yang sangat bernilai dalam persaudaraan. Apalagi yang bila panggilan itu terus dihidupkan, hal-hal rohani seperti pertobatan yang terus-menerus. Menjadi anggota OFS berarti mewarisi budaya rendah hati dan pembawa damai. Di mana saja anggota OFS hadir, di sanalah ada kedamaian dan kasih.

Ketika ditanyakan apa tugas pokok anggota OFS? Johannes Sihotang OFS minister Lokal Pandan menjelaskan bahwa tugas sebagai anggota OFS tidak terlepas dari tugas sebagai orang katolik diutus dalam mendukung dan saling membantu dalam kegiatan-kegiatan Gereja. Banyak kegiatan gereja, misalnya pembinaan Asmika, OMK, Mudifra dan pembinaan lainnya. Anggota OFS harus selalu melibatkan diri dalam kegiatan gereja, menolong sesama yang membutuhkan, dan berjuang untuk melandasi diri dengan Sabda Tuhan. Dengan demikian anggota OFS mengabdi seturut Injil, itulah harapan dan pedoman hidup sebagai anggota OFS. Dan tentu saja disesuaikan dengan kemampuan dan tugas sehari-hari, baik dalam keluarga, gereja dan juga masyarakat.

Tahap Postulan
Anggota OFS yang memasuki tahap Postulan di Pangaribuan dari 12 orang yang direncanakan alih tahap ternyata yang jadi hanya 11 orang saja. Mereka adalah Radia Fransiskus Marbun, Justina Sitanggang, Pogos Tua Paulus Simanjuntak, Romeo Fransiska Simatupang, Minar Marani Nainggolan, Ari Ance Simanjuntak, Masrita Sitanggang, Nelly Simamora, Jongga Simanullang, Hefron Marpaung, dan Henri Mario Sihotang. Proviciat atas penerimaan anggota OFS Tahap Postulan di Pangaribuan. Sukses ya. [Elinus Waruwu]

Sunggguh kesempatan yang sangat berahmat di awal bulan November. Pada tanggal 06-08 November 2019, sebanyak 112 orang mahasiawa STP-Dian Mandala Gunungsitoli khususnya semua semester V (kelas kitab suci, tradisi, dan kelas magisterium) mengikuti seminar “Hidup Dalam Roh Kudus” yang diselenggarakan oleh lembaga STP-DM dan bekerja sama dengan tim dari Jakarta dan Medan untuk memberikan kegiatan tersebut.

Dalam seminar kali ini, 3 hari itu merupakan momen yang sangat penting bagi kami mahasiswa semester lima calon PLP pada tahun 2020, sebab dengan adanya kegiatan tersebut kami dapat diperkaya dengan materi-materi yang menyegarkan dan menambahkan pengetahuan, iman serta  pengalaman baru dengan Doa dan kesaksian di dalam dinamika kelompok kristiani. Dalam kata sambutannya, P. Fransiskus Sinaga, OFM Cap, mengatakan bahwa kegiatan ini sangat penting. Oleh karena itu beliau mengaharapkan keseriusan untuk mengikuti seluruh proses seminar ini dan setia sampai akhir. Kegiatan ini difasilitasi oleh Bpk. Agus Handoyo, Bpk. Robert, Bpk. Agus, Bpk. Yamin, Bpk. Hendrik dan Ibu Roswinta Sakti. Mereka ada yang berasal dari medan dan juga dari Jakarta.

Pada hari pertama, para anggota seminar mengikuti dua sesi. Pada kedua sesi tersebut dijelaskan mengenai bagaimana cinta kasih Allah kepada manusia lewat karya penyelamatan- Nya. Materi yang dipaparkan oleh Bpk.Robert menegaskan agar mahasiswa/i dapat melangkah aktif, komitmen berdoa, merenungkan sabda dan rajin membaca Kitab Suci atau buku-buku rohani lainnya. Selain itu mahasiawa semester lima dibagi dalam sepuluh kelompok untuk melakukan sharing, tentang pengalaman doa dan juga mengungkapkan bagaimana cinta kasih Allah yang nyata dalam dirinya.

Dilanjutkan dengan hari ke dua, mahasiswa mahasiswi STP-DM gunungsitoli masih antusias untuk mengikuti kegiatan tersebut, pada pertemuan ke dua anggota seminar juga mengikuti dua sesi yang di fasilitator oleh tim. Dalam pertemuan kedua ini, mahasiswa dibekali dengan materi tentang hidup baru dan menerima karunia Allah, dan dikatakan agar anggota seminar dapat menerima yesus sebagai satu-satunya Tuhan serta berpaling kepada Nya dan membiarkan Dia memimpin hidup kita.

Hari ketiga dibagi menjadi tiga sesi, pada hari terakhir itu mahasiswa benar-benar diminta untuk tetap fokus dan serius. Dalam pertemuan terakhir tersebut sebelum diadakan ibadat doa penumpangan tangan, para anggota seminar mengungkapkan kembali janji babtis yang dipimpin langsung oleh P. Fransiskus Sinaga, OFM Cap. Satu persatu mahasiswa maju ke depan untuk menerima penumpangan tangan. Setelah ibadah penumpangan tangan, mahasiwa/i menceritakan pengalaman atau kesaksian masing masing serta sangat bersyukur dan merasakan sesuatu yang baru yang timbul dalam dirinya. Siang harinya sebelum acara penutupan, tim dari Jakarta dan Medan mengatakan bahwa mereka merasa senang dengan partisipasi dan antusias serta keseriusan mahasiswa dalam mengikuti seminar tersebut, dan mereka berharap supaya kami anggota seminar dapat menjalankan PLP pada bulan Januari 2020 dengan penuh semangat tanpa rasa cemas dan takut dimana pun nantinya akan ditempatkan, serta siap untuk menjadi pewarta Kristus di tengah-tengah umat. Dilanjutkan oleh Romo Ketua P. Fransiskus Sinaga yang mengucapkan limpah terimakasih kepada Tim atas kesediaannya untuk membekali mahasiswa/i semester lima calon PLP untuk memfasilitasi seminar “Hidup dalam Roh Kudus”. Kegiatan seminar lalu ditutup dengan doa dan makan siang bersama. Selamat melayani di tempat PLP!!!!..... [Monika Desrawanti Gulo]

Salah satu kegiatan tahunan yang dilakukan oleh Seminari Tinggi St. Petrus, Sinaksak adalah rekoleksi Pra-Unio. Kegiatan ini merupakan tradisi yang dilaksanakan pada setiap awal bulan Januari sebelum memasuki tahun akademik. Pada kesempatan ini para frater (calon imam Keuskupan Regio Sumatera) ini diberi waktu menimba dan memperdalam hidup rohani dengan suasana baru, selain itu juga untuk mempererat persaudaraan di tubuh pra-unio, mengenal karakter dan sekaligus menghilangkan rasa penat ‘refresing’ sejenak dari kegiatan formatio dan dunia akademik selama satu tahun yang telah berlalu.
Rekoleksi para frater pra-unio Keuskupan Sibolga tahun ini dilaksanakan pada tanggal 06 s/d 09 Januari 2020 di Silalahi. Kegiatan rekoleksi ini didampingi oleh P. Alfonsus Very Ara Pr, selaku moderator pra-unio. Dalam kegiatan rekoleksi kali ini, kami mengundang ibu Elivina Simanjuntak dari staf Musyawarah Pastoral (MUSPAS) Keuskupan Sibolga untuk memaparkan beberapa poin penting terkait arah pastoral yang ada di Keuskupan Sibolga bercermin dari hasil sinode I dan II, serta informasi sehubungan proses dan perkembangan Komunitas Basis Gereja (KBG) di Keuskupan saat ini.

Poin pertama, beliau mengatakan bahwa hasil dari sinode I dan II masih pada tahap rumusan ajaran iman dan aturan-aturan. Tetapi seharusnya yang paling fundamental dan menyentuh realitas kehidupan umat beriman di wilayah Keuskupan Sibolga, yaitu membangun kesadaran baru sebagai Gereja, arah baru dan misi menjawab kebutuhan umat beriman, model atau cara kerja baru sebagai Gereja dan proses menjadi GerejaYesus Kristus. Poin kedua, KBG sebagai Fokus & Lokus Pastoral: menggarap strategi yang apik, supaya misi dan visi dapat diimplementasikan kepada umat beriman. Salah satu bentuk yang sudah diimplementasikan adalah mengedepankan pemberdayaan petugas pastoral (PPP) dan pemberdayaan KBG supaya Keuskupan Sibolga menjadi komunitas yang Mandiri, Solider dan Membebaskan.

Kegiatan rekoleksi ini ditutup pada tanggal 08 Januari 2020 yang diawali dengan perayaan Ekaristi dan dilanjutkan pertemuan singkat yang dipimpin langsung oleh P. Alfonsus Very Ara, Pr. Dalam pengarahannya ia mengatakan hidup dan tinggal dalam waktu yang ditetapkan dalam pembinaan di Seminari. Lebih dalam ia menegaskan sebagai seorang frater hiduplah dalam proses pembinaan dan bersedia dituntun dan diarahkan sebagai calon imam. Pada malam hari dilanjukan dengan corectio fraterna dan rekreasi bersama. Akhirnya pada tanggal 09 Januari 2020 persiapan untuk pulang ke Seminari Tinggi dan kembali menjalani proses pembinaan seperti semula. [Fr. Thomas Edison Duha] 

Pendahuluan
Keluarga merupakan Gereja kecil. Sering kali kita mendengar ungkapan tersebut, namun tak jarang kita menyaksikan keluarga Katolik yang bermasalah bahkan berujung pada perpecahan. Mereka tidak menyadari makna sebuah keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga) di mana keluarga merupakan persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa, Putra, dan Roh kudus. Melalui kelahiran dan pendidikan anak anak kita, tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil untuk ambil bagian dalam doa dan kurban Kristus.
Keluarga Katolik adalah tempat pendidikan iman, di mana anak-anak kita pertama kali mengenal iman, mengenal Allah, dan mengenal  doa. Kesadaran ini seharusnya melekat pada pribadi masing-masing anggota keluarga. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengulas tentang ajaran Gereja Katolik tentang Perkawinan.

1.   Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-sifat Perkawinan
1.1 Arti dan hakikat perkawinan secara umum
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-membiara (sebagai biarawan-biarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum.
Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan. Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.

1.2 Tujuan dan sifat dasar perkawinan
1. Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi kesatuan). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri.
2. Terarah pada keturunan (segi prokreasi). Kesatuan sebagai pasangan sumai-istri (pasutri) dianugerahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan.
3. Menghindari perzinahan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, ”Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu” (1Kor 7:9).

Catatan penting: Dalam Perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, hal itu tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan rahmat Allah melulu.

2. Kekhasan Perkawinan Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Kanon 1055, dapat dilihat pengertian dasar mengenai perkawinan Katolik. ”Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.”
Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami-istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya, penuh pengertian, dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahteraan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan  disempurnakan.

3. Sifat-sifat perkawinan Katolik
1. Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, pria idaman lain (PIL), dan wanita idaman lain (WIL).
2. Indissolubilitas (tak terceraikan) artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. ”Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat dituntut.
3. Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).

4. Sakramentalitas Perkawinan
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya dibaptis). Kanon 1055 §1 dan §2 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen. Kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi berikut:
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibaptis, dengan sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Artinya, perkawinan dua orang dibaptis non-Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai sakramen meskipun mereka tidak menganggapnya demikian.
Pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai yang berjanji. Pastor menjadi saksi dan peneguh janji kedua mempelai. Orang-orang yang dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan. Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak dituntut untuk mengadakan perjanjian nikah baru, namun dapat meminta berkat pastor. Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum. Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indissolubilitas absolut).

5. Spiritualitas Perkawinan
Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh memberi kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam keluarga diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan berkurban. ”Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan-pasangan Kristen kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (Familiaris Consortio no. 47). Berkat sakramen perkawinan, suami-istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan saling menguduskan dan karena itu bersama-sama berperan serta demi kemuliaan Allah Bapa (lih. FC 56; GS 48).

6. Syarat-Syarat dan Halangan Perkawinan
6.1 Syarat-syarat perkawinan
Orang yang diperbolehkan oleh hukum untuk menikah. Setiap orang yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah (Kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon pasangan (partner) hidupnya secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak dilarang oleh hukum saja yang dapat menikah dalam Gereja Katolik.
Kesepakatan perkawinan sebagai unsur esensial dan mutlak. ”Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun” (Kanon 1057 §1). ”Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu perkawinan yang sah. Kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali” (Kanon 1057 §2).
Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sama seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara, dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus hadir pada saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada orang lain.

6.2 Halangan-halangan perkawinan
Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah.
1. Halangan nikah dari hukum ilahi
Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut doktrin umum, halangan ini adalah:
impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)
ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085)
hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1).
2. Halangan nikah dari hukum gerejawi
Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan memiliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiwa adalah norma hukum tertinggi (kanon 1752).
Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:
Halangan umur (kanon 1083)
Halangan beda agama (kanon 1086)
Halangan tahbisan suci (kanon 1087)
Halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon 1088)
Halangan penculikan (kanon 1089)
Halangan kriminal (kanon 1090)
Halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2)
Halangan hubungan semenda (kanon 1092)
Halangan kelayakan publik (kanon 1093)
Halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar. Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, sedangkan dari hukum gerejawi dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

7. Panggilan Dasar Keluarga Katolik
7.1 Menyambut dan mencintai kehidupan
Berdasarkan kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mitra Allah dalam menurunkan kehidupan baru.
Dalam konteks inilah keluarga menjadi tempat persemaian dan perlindungan hidup manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari konsepsi sampai pada kematian alamiah. Keluarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil kehidupan, siap menerima kehadiran manusia baru dalam kondisi apapun. Hal ini penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orang-orang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut, dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, keluarga Katolik dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan Pro Life.
Berkaitan dengan tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini, pasangan suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru iman dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang diarahkan kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi artifisial, baik yang sifatnya kontra-konsepsi maupun yang bersifat abortif, dinilai melanggar kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai moral.
Panggilan pada kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan suami-istri Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan untuk dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas hedonis sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan) dipisahkan dari dimensi spiritual dan makna yang sesungguhnya, yakni sebagai ungkapan saling pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai oleh adanya pemisahan antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab. Orang sekarang menuntut kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas dari norma moral, dan bebas dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam mentalitas sebagian besar orang, termasuk orang Katolik. Hubungan seksual semata-mata hanya dilakukan untuk mencari kenikmatan, tanpa memahami hakikat dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak jarang orang menganggap pasangan hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas nafsu seksnya. Dengan demikian, manusia dijadikan sebagai objek dan tidak diperlakukan sebagai subjek yang bermartabat.

7.2 Menjadi pendidik utama dan pertama
Orangtua memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam mendidik anak, dalam bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya, dan kemasyarakatan. Pendidikan meliputi dimensi kognitif (intelektual), afektif (emosi dan perasaan), etika (nilai-nilai moral), dan estetika (nilai-nilai keindahan).
Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orangtua pertama-tama dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, menampilkan perilaku hidup yang baik, sebab anak akan lebih mudah mencontoh apa yang diperbuat orangtua. Alangkah baiknya, setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan merenungkan Sabda Tuhan bersama. Dengan demikian, keluarga menjadi Gereja mini. Keluarga menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Keluarga adalah Gereja kecil, tempat kesatuan bapak-ibu-anak-anak menjadi komunitas iman: ”Di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Di dalam keluargalah, seorang anak sungguh dapat mengenal dan mengalami Allah. Oleh karena itu, dalam keluarga kristiani, orangtua harus membiasakan diri mengadakan doa bersama, ikut dalam perayaan ekaristi, menerima sakramen tobat secara teratur, dan kegiatan rohani lainnya.
Untuk menjaga kekudusan keluarga Katolik, rahmat sakramen perkawinan memberikan kekuatan kepada pasangan suami-istri untuk saling menguduskan dan menyempurnakan. Di samping itu, pasangan suami-istri Katolik dalam hidup sehari-hari hendaknya menanamkan kesadaran dalam diri mereka dan dalam diri anak-anak untuk merindukan dan secara teratur menyambut Sakramen Pengampunan Dosa. Dengan demikian, kita tidak akan membiarkan kelemahan-kelemahan manusiawi menjadikan kita budak dosa, tetapi dengan kerendahan hati, mau mendekatkan diri kepada Allah Yang Maharahim. Kerahiman Allah ini mengatasi kedegilan dan ketidaksetiaan manusia pada perjanjian yang telah dibuat dengan Allah.
Dalam keluarga, seorang anak seharusnya juga mendapat pendidikan mengenai nilai-nilai moral. Orangtua mempunyai tugas sangat berat untuk membentuk anak-anak yang sungguh memiliki integritas moral. Untuk itu dalam keluaga, anak-anak dibiasakan belajar membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini tentunya dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pemahaman anak. Lowrence Kohlberg mengelompokkan tingkat-tingkat perkembangan moral anak antara lain: tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca konvensional. Berkaitan dengan pendidikan moral dan kesusilaan, orangtua harus menanamkan nilai-nilai luhur, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang dimulai dalam lingkup keluarga.
Keluarga juga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan kesetiakawanan dan semangat sosial anak. Bagaimana orangtua menciptakan iklim yang kondusif yang memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan kebutuhan orang lain, menumbuhkan semangat mau saling membantu dan melayani, semangat rela berkorban, dan mau saling menghargai.
Orangtua juga memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelengarakan pendidikan seksualitas, cinta, dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya harus diberikan secara bertahap dan proporsional. Sekarang, bukan zamannya lagi menganggap seks sebagai barang tabu. Pendidikan seksualitas ini sangat penting untuk membantu pertumbuhan anak. Bagaimana orangtua memberi penjelasan tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dialami oleh putra-putrinya.

7.3 Terlibat dalam misi perwartaan
Keluarga Katolik juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan Gereja yang diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimanan, dan rajawi, melalui penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengor¬banan, kesetiaan, pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam Sakramen Perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (FC 50).

7.4 Terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat
Dalam bidang kemasyarakatan, otangtua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehati sejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluar¬ga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari cinta, keadilan, dan kebenaran.

8. Hak dan kewajiban suami-istri dan orangtua
Suami-istri memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup pernikahan (Kanon 1135). Sebagai orangtua, mereka memiliki kewajiban besar, dengan sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (Kanon 1136).

Hak-hak Dasar Keluarga:
Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masyarakat. Oleh karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal-hal tertentu, keluarga memiliki hak pribadi.
Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga. Artinya setiap orang betapa pun miskinnya, berhak untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang memadai untuk menggunakannya.
Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi keluarga sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan perlengkapan upaya-upaya serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.
Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik, sosial, politik, dan ekonomi.
Di samping itu, orangtua juga berkewajiban memperhatikan dan menghormati martabat dan hak-hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orangtua yang memperalat anak untuk tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk berprestasi demi gengsi orangtua, sehingga anak merasa tertekan. Menghormati martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghormati hak-hak asasi anak.

9. Tantangan Hidup Berkeluarga dan Solusinya
9.1 Tantangan
Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri, yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral. Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
Mentalitas materialistis: kehausan dan kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi, bukan sebagai buah kasih sayang. Relasi antar pasutri pun terpengaruh. ”Ada uang abang kusayang, tidak ada uang abang kutendang!”
Hedonisme: menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya. Hubungan seksual pun hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks, menjadikan pasangan (suami istri) sebagai objek pemuas insting dan dorongan seksual.
Konsumerisme: keinginan untuk mengonsumsi dipicu oleh kecanggihan teknologi periklanan yang begitu persuasif. Hal ini menjadi faktor pemicu masalah dalam hubungan keluarga.
Utilitarianisme: menilai sesuatu hanya berdasarkan segi kegunaannya, bahayanya kalau memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan dan fungsi.
Individualisme: mementingkan kepentingan dan kesenangannya sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan untuk mengalah dan menyisihkan kepentingannya sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam keluarga diabaikan.
Relativisme moral: tidak ada nilai yang dianut dan diterima secara universal, semuanya serba relative, mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.
Kesibukan mengejar karier. Tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan, rumah hanya dijadikan losmen. Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang tugas dan panggilan luhur yang dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan, tanpa mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan keagamaan.
Kesibukan antara suami-istri membawa dampak negatif dalam kehidupan keluarga. Komunikasi antara pasutri renggang. Komunikasi antara orang tua-anak renggang sehingga anak berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar rumah, sekolah, lingkungan. Misalnya, anak menjadi pecandu narkoba.
Ketidaksetiaan - penyelewengan - perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak suami maupun oleh pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada ketidaksetiaan dan pengkhianatan pasangan Anda?

9.2 Solusi
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-lebih dalam situasi sulit, mereka dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan sebaliknya. Usaha pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan terlebih untuk mengatasi bahaya perceraian dalam hidup perkawinan, kasus perpisa¬han dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).

Penutup
Untuk membangun satu kebersamaan hidup yang saling membahagiakan, perlu diperhatikan adanya kejujuran dan keterbukaan satu sama lain, menciptakan komunikasi yang mendalam, komunikasi sampai ke tingkat perasaan, saling mempercayai, semangat berkorban, kesediaan untuk mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan hati, kesetiaan, saling mengam¬puni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik Yesus mencuci kaki para rasul), saling meneguhkan, dan saling menjaga nama baik.
Diusahakan adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam suasana persaudaraan) antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk membina hubungan antar pribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:15-¬20). Segala macam persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga harus dibicarakan bersama. Ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung bersama. [P. Alfonsus Very Ara, Pr]

P. Bonifasius Simanullang OFMCap
MINGGU PASKA A4 (Hari Minggu Panggilan):
PENDERITAAN JALAN KESELAMATAN
Kis 2:14a.36-41; 1Ptr 2:20b-25; Yoh 10:1-10

Ulasan Bacaan:
Dalam Injil Yohanes, persekutuan Jemaat beriman diumpamakan dengan kawanan domba. Peran sentral Yesus digambarkan dua jenis, yakni sebagai gembala yang baik (inilah yang paling umum), yang menyerahkan nyawa demi kesejahteraan kawanan-Nya, tetapi juga sebagai pintu bagi domba-domba dan gembala untuk masuk keluar kandang, sebagaimana kita dengar dalam bacaan Injil hari Minggu ini. Dalam perumpamaan ini terkandung makna pengantara tunggal Yesus bagi manusia dalam hubungannya dengan Allah. Itu berarti, dengan perantaraan Yesuslah, dan hanya dengan perantaraan-Nya, manusia bisa mencapai keselamatan yang disediakan Allah buat umat manusia dan segenap ciptaan. Atas dasar itulah, dalam bacaan pertama Petrus meminta kepada orang-orang Yahudi agar memberi diri dibaptis ke dalam nama Yesus. Sebab hanya dalam nama Yesus yang telah mengalahkan maut dengan kebangkitan-Nya itulah seorang dapat dibebaskan dari cengkeraman dosa yang menghasilkan maut itu. Dan dalam bacaan kedua ditegaskan, karena Yesus juga memperoleh kemenangan atas maut itu dengan memikul sendiri penderitaan dalam diri-Nya, maka setiap orang beriman diberi juga oleh Allah karunia menderita.

Pengenaan Untuk Hidup Sekarang:
Jalan yang ditempuh Yesus, yang menjadi satu-satunya perantara manusia dengan Allah, untuk menyelamatkan manusia dan segenap ciptaan, adalah jalan penderitaan. Itu berarti, orang-orang beriman yang telah menganut Yesus sebagai penyelamat, takkan luput juga dari penderitaan. Dengan beriman kepada Yesus orang bukannya terhindar dari penderitaan malah dihadapkan kepada penderitaan itu. Memang iman itu membawa sertanya karunia menderita, yakni kemampuan untuk menghadapi serta menjadikan penderitaan itu sebagai sarana kemajuan dirinya. Pengikut Yesus memang tak perlu mencari-cari penderitaan, tetapi juga tidak gentar menghadapi penderitaan sebab yakin dengan teguh bahwa penderitaan itu tidak perlu membawa kebinasaan untuk dirinya melainkan menjadi sarana keselamatan, sebagaimana Yesus sendiri telah memasuki kemuliaan-Nya dengan lebih dahulu mengalami penderitaan itu. Demikianlah orang-orang beriman kepada Allah dalam nama Yesus tidak mengenal lagi istilah putus asa sebab harapannya sangat teguh dalam Yesus yang telah menjalani sendiri penderitaan itu dan menang!

MINGGU PASKA A5
GEREJA BANGUNAN ROHANI
Kis 6:1-7; 1Ptr 2:4-9; Yoh 14:1-12

Ulasan Bacaan:
Dalam bacaan hari Minggu ini muncul suatu analogi (kiasan) lain tentang persekutuan Jemaat beriman, yakni bangunan. Jemaat beriman diumpamakan bagaikan batu-batu hidup, yang dipakai untuk mendirikan bangunan itu di atas Batu Penjuru istimewa, yang sebenarnya sudah dibuang orang, yakni Yesus Kristus. Dia bagaikan batu yang telah dibuang oleh pemimpin-pemimpin Yahudi (yakni ketika mereka menyalibkan Yesus) tetapi dibangkitkan oleh Allah dari alam maut dan dengan demikian telah menjadi batu penjuru, di atasnya bangunan, yakni Persekutuan Jemaat Beriman, didirikan kokoh kuat; pembangunnya – tentu – adalah Allah sendiri, dalam diri Yesus, Kristus, Sang Putera. Demikianlah bukan saja pekerjaan Allah Bapa melainkan juga eksistensi-Nya (Diti-Nya) nyata dalam diri Yesus. Karena itulah Yesus katakan, “Yang melihat Aku telah melihat Bapa, sebab Aku dan Bapa adalah satu.” Rumah rohani yang didirikan di atas batu penjuru pilihan ini menjamin tempat bagi setiap orang (beriman) sehingga tak perlu gelisah akan terlantar. Pelayan juga ditambah demi menjamin tak ada umat maupun aspek pelayanan yang terlalaikan. Begitulah muncul jabatan diakon, sebagaimana dikisahkan dalam bacaan pertama.

Pengenaan Untuk Hidup Sekarang:
Bangunan rohani Gereja yang utama adalah persekutuan yang terdiri dari diri masing-masing Jemaat beriman, bukan gedung, yakni bangunan fisik. Oleh karena itu setiap orang beriman harus berserah diri kepada arsitek dan tukang bangunan untuk dibangun menjadi rumah rohani yang diidam-idamkan itu. Semua umat beriman harus berperan sesuai dengan karunia yang diberikan kepadanya. Peran tidak perlu dan bahkan tidak boleh sama. Dengan demikian semua orang akan mempunyai peran khusus dan juga terlayani dalam semua aspek hidup yang mereka butuhkan. Tidak ada alasan untuk membiarkan orang atau pelayanan tertentu diabaikan. Begitulah kediaman abadi di surga kelak disediakan. Dengan kata lain, sambil mengerjakan segala kegiatan dalam hidup sehari-hari di dunia ini, umat beriman sadar bahwa tempat kediamannya yang abadi adalah di surga kelak. Kesadaran ini memberi kualitas plus kepada seiap pekerjaan kini dan di sini. Kualitas plus yang dimaksud menyangkut mutu pekerjaan tetapi juga semangat orang yang melakukannya, yang tetap gigih hingga segala usaha menghasilkan buah yang baik. Semoga!

MINGGU PASKA A6
GEREJA YANG DIGERAKKAN OLEH ROH KUDUS
Kis 8:5-8.14-17; 1Ptr 3:15-18; Yoh 14:15-21

Ulasan Bacaan:
Berbeda dengan penuturan Injil Lukas, Injil Yohanes berkisah tentang pencurahan Roh kudus terjadi berkali-kali, dan disaksikan oleh orang-orang yang berbeda. Setiap kali Yesus menampakkan diri sesudah kebangkitan, Dia menghembuskan Roh-Nya kepada para murid, seraya berkata: “Terimalah Roh Kudus!” Memang sesuai dengan janji Yesus, hanya sesudah menerima Roh Kuduslah para rasul mampu mengerti lalu mewartakan apa yang diajarkan Yesus kepada mereka. Roh Kudus itulah yang disebut sebagai Roh kebenaran dan Roh penolong. Karena itu, dikisahkan dalam bacaan pertama, karena orang-orang di Samaria belum menerima Roh Kudus di saat mereka dibaptis, maka rasul Petrus dan Yohanes menumpangkan tangan atas mereka agar mereka dicurahi Roh Kudus. Roh Kudus itu akan membuat mereka mampu, baik dari segi intelektual (pengetahuan) maupun dari segi keberanian, tanpa dihantui oleh rasa was-was, mempertanggung-jawabkan imannya di hadapan siapa saja. Pertanggung-jawaban itu bukan terutama secara verbal (kata-kata) melainkan dengan perangai yang benar di hadapan Allah. Kerja dan perbuatanlah yang memberi kesaksian bahwa seseorang itu adalah murid Yesus.

Pengenaan Untuk Hidup Sekarang:
Dalam hidup Gereja masa kini, secara sakramental Roh Kudus diterimakan kepada umat dalam Sakramen Krisma. Pada umumnya sakramen Krisma itu diberikan pada usia SMP, meskipun tidak sepenuhnya tergantung dari usia itu. Setelah menerima Krisma, umat diandaikan sudah sungguh-sungguh dewasa dari segi penerimaan sakramen sehingga sudah bisa diembani tugas yang penuh sebagaimana layaknya setiap umat beriman dewasa. Tugas yang terutama adalah menjalani hidup dengan perangai yang dikehendaki Tuhan. Setiap orang yang digerakkan oleh Roh Kudus akan bertindak sesuai dengan semangat Yesus, Putera Allah. Kita tahu, semangat Yesus  yang utama adalah tergerak hati oleh belaskasihan. Belas kasihlah sikap dasar Yesus yang utama dalam berhubungan dengan orang lain. Demikianlah setiap pengikut Yesus harus prihatin atas nasib orang lain dan bertindak atas keprihatinannya itu. Dengan sendirinya orang akan hidup rukun dan damai karena masing-masing telah peduli terhadap hidup sesamanya. Demikian hidup damai dan sejahtera terbangun. Itulah hidup yang digerakkan oleh Roh Kudus Tuhan. Semoga!

KAMIS HARI RAYA KENAIKAN TUHAN
SEGALA KUASA ADA DI TANGAN YESUS
Kis 1:1-11; Ef 1:17-23; Mt 28:16-20

Ulasan Bacaan:
Pada peristiwa kenaikan, para Penginjil Sinoptik menggarisbawahi pemberian segala kuasa oleh Allah Bapa kepada Yesus, yang telah menggenapkan segala tugas perutusan-Nya di dunia ini. Atas kuasa itu Dia kembali kepada Bapa-Nya di kediaman abadi di surga dan mengutus para murid untuk melanjutkan tugas pewaartaan Injil di dunia. Kabar Baik yang telah diterima oleh para rasul dari Yesus harus disampaikan kepada segenap umat manusia sampai ke ujung bumi. Karena itulah para rasul itu diutus untuk menjadikan seluruh dunia menjadi murid Yesus: setiap orang yang percaya harus dibaptis dalam nama Allah Tritunggal, dengan demikian memperoleh keselamatan abadi dalam nama Yesus. Karena segala kuasa telah diserahkan Bapa kepada-Nya, maka tak ada sarana keselamatan bagi manusia kecuali dalam nama Yesus itu. Akibatnya, orang yang tidak percaya dan menolak Yesus berarti binasa karena menolak jalan keselamatan yang satu-satunya. Karena itu jugalah para rasul dibekali dengan kuasa untuk mengusir setan dan menyembuhkan penyakit, tetapi terutama dengan Roh hikmat. Dengan demikian orang dapat dengan mudah percaya kepada pemberitaan mereka dan menerima Yesus sebagai Penyelamat.

Pengenaan Untuk Hidup Sekarang:
Kita, para pengikut Yesus, mesti berbesar hati – tanpa menjadi sombong – karena Penyelamat dan Tuhan kita sungguh mempunyai segala kuasa di surga dan di bumi. Tentu saja penguasa seperti itu dapat kita andalkan dalam segala hal. Kita tak perlu ragu bahwa segala keluh kesah kita kepada-Nya akan Dia tanggapi dengan penuh wibawa. Kita tak perlu termangu sambil melihat ke atas, karena dari surga pun Dia berkuasa memperhatikan kita dengan baik di dunia ini. Hanya saja, kita perlu membangun kesetiaan kepada-Nya dengan terus menerus berpegang pada janji yang diberikan-Nya kepada kita. Berpegang pada janji berarti kita menjalankan apa-apa saja yang diperintahkan-Nya kepada kita melalui Gereja kudus. Karena Gereja kudus itulah perpanjangan diri Yesus yang telah naik ke surga itu di dunia ini. Dengan demikian, kesetiaan kepada janji Yesus itu harus diwujudkan dalam kesetiaan kepada Gereja-Nya yang kudus di dunia ini. Semoga dengan itu kita semua memelihara kesetiaan kita kepada Gereja kudus dan tetap mengupayakan agar Gereja juga setia pada panggilannya sebagai tubuh mistik Yesus.

MINGGU PASKA A7: Hari Minggu Komunikasi Sosial Sedunia ke-54
CERITAKANLAH KEPADA ANAK CUCUMU!
Kis 1:12-14; 1Ptr 4:13-16; Yoh 17:1-11a

Ulasan Bacaan:
Yesus menegaskan bahwa cara memuliakan Allah secara benar adalah dengan melakukan segala yang ditugaskan Allah. Tugas yang diberikan Bapa kepada Yesus adalah memperkenalkan nama-Nya kepada umat manusia. Yesus telah melaksanakannya, bukan hanya dengan pengajaran verbal tetapi dengan segala pekerjaan dan seluruh hidup-Nya, yang membuat Dia mesti disalibkan. Itulah yang Dia ulang tegaskan kepada para rasul-Nya di saat mereka di bukit Zaitun pada saat Dia terangkat ke surga. Para rasul yang telah menyaksikan pengangkatan Yesus itu pulang ke Yerusalem dengan penuh sukacita. Mereka kembali ke tempat mereka mengadakan perjamuan malam terakhir, seolah-olah mau mengumpulkan serta membulatkan tekad mereka melanjutkan karya Yesus. Melihat nama-nama mereka yang terdaftar dalam peristiwa itu, rupanya keluarga inti Yesus (tanpa sang ayah, Yusuf; sudah meninggalkah?) sungguh menjadi bagian inti embrio Jemaat Perdana. Petrus, sebagai ketua para rasul, menasehati kumpulan Jemaat yang percaya itu agar tetap bertahan dalam segala suka duka yang sedang dan akan mereka hadapi sebagai pengikut Yesus. Menderita karena mengikuti Yesus adalah pujian amat nyaring bagi Allah.

Pengenaan Untuk Hidup Sekarang:
Bapa suci, Paus Fransiskus, menetapkan tema untuk Hari Minggu Komunikasi Sosial Sedunia ke-54 ini “Agar engkau dapat menceritakannya kepada anak cucumu” (Kel 10:2). Baik wartawan maupun pengkhotbah dihimbau bapa suci agar menyebarluaskan kebenaran ilahi dengan teknik bercerita. Tidak ada orang yang tidak suka kepada cerita. Sayangnya, tidak sedikit orang yang telah memanipulasi cerita demi kepentingan diri sendiri hingga menguasai dan menindas yang lain. Bapa suci menggarisbawahi agar para pengkhotbah dan wartawan jangan mengikuti gaya-gaya kotor seperti itu. Cerita kita mestilah cerita yang membangun persaudaraan dan hidup bersama yang serasi. Sebagaimana Alkitab, firman Allah, dibangun atas cerita-cerita yang mengisahkan kebaikan serta tindakan Allah yang mengasihi umat-Nya, demikianlah cerita-cerita yang kita kisahkan sekarang ini mesti yang mendukung hidup bersama kita yang damai dan serasi. Kisah-kisah bohong yang memanipulasi orang lain demi kepentingan diri sendiri mesti dijauhkan, demi pemeliharaan hidup bersama segenap ciptaan di alam semesta ini. Semoga!

MINGGU HARI RAYA PENTEKOSTA
PENGAMPUNAN DEMI KERUKUNAN
Kis 2:1-11; 1Kor 12:3b-7.12-13; Yoh 20:19-23

Ulasan Bacaan:
Dua ciri yang ditekankan dalam bacaan-bacaan pada hari raya Pentakosta ini, yakni kesatuan hidup dalam damai dan pengampunan. Dalam bacaan pertama ditekankan, bagaimana orang-orang Yahudi yang berkumpul saat itu di Yerusalem, yang berasal dari pelbagai bangsa – dan karena itu mempunyai bahasa yang berbeda – mendengar para rasul itu berbicara dalam bahasa mereka masing-masing. Itu berarti mereka mengerti dengan baik apa yang disampaikan oleh para rasul itu. Di situ terjalin komunikasi yang mempersatukan mereka. Sedangkan dalam Injil, di saat Yesus menghembusi para murid dengan Roh Kudus, Yesus langsung berpesan kepada rasul-rasul itu: “Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni dan jika kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada.” Pada dasarnya, memang, yang terakhir ini sama dengan yang pertama tadi. Sebab di saat orang saling mengampuni, di situ terbangun kesatuan hidup bersama yang serasi juga. Maka sangat tepatlah analogi tubuh yang dipakai oleh Paulus dalam bacaan kedua untuk menggambarkan persekutuan umat beriman itu, yang memang mempunyai banyak angota tetapi semuanya itu adalah perwujudan satu tubuh saja.

Pengenaan Untuk Hidup Sekarang:
Mujizat Pentakosta seharusnya menginspirasi hidup umat beriman saat ini demi menghidupi kesatuan hidup bersama yang serasi dan dengan mendahulukan pengampunan di saat yang satu bersalah terhadap yang lain. Orang yang dipenuhi Roh Kudus tidak mungkin menghendaki perselisihan dan perpecahan. Roh Kudus selalu mempersatukan. Demikian juga, orang yang dipenuhi Roh Kudus akan mengampuni sesamanya dengan iklas. Tidak ada dendam dalam diri orang yang dijiwai Roh Kudus. Jika dua aspek ini dapat terwujud dalam setiap Jemaat, orang kristen dewasa ini sudah betul-betul menjadi saksi peristiwa Pentakosta yang kita rayakan hari ini. Kita tak perlu bermimpi hidup dalam satu Gereja saja, karena agaknya sudah sulit terwujud, tapi toh sekurang-kurangnya dalam mewartakan Injil kepada dunia, tidak terjadi saling sikut dan bersaing secara tak sehat. Kita tak perlu iri di saat Gereja yang satu mengungguli Gereja kita di saat bermisi, misalnya. Yang penting bahwa Injil diwartakan di seluruh dunia. Kalau pun itu tidak terjadi atas usaha Jemaat kita, marilah kita sama-sama senang menyambutnya. Semoga!

x

Akhir 2019 Keuskupan Sibolga mengalami percepatan yang terbilang fantastis dalam pengembangan KBG. Jika pada akhir 2018 hanya “tersisa” 10 KBG di 2 paroki Dekanat Tapanuli dan 18 KBG di 4 paroki Dekanat Nias, pada akhir 2019 sudah terbentuk 369 KBG di 7 paroki  Dekanat Tapanuli 313 KBG di 17 paroki Dekanat Nias. Artinya semua paroki aktif menggerakkan pengembangan KBG.

Setelah Uskup Administrator Apostolik Mgr. A.B. Sinaga mencanangkan “KBG harga mati” pada MUSPAS Akhir Tahun 2018, Pusat Pastoral (PUSPAS) mengkoordinasi semua unit paroki untuk secara sistematis mengembangkan KBG berdasarkan “Panduan Pengembangan KBG di Keuskupan Sibolga”. Bapak Uskup Sinaga melihat perlunya terobosan baru dalam percepatan pengembangan KBG dengan belajar dari pengalaman Keuskupan Pangkalpinang yang sukses ber-KBG menggunakan metode AsIPA (Asian Integrated Pastoral Apporach – Pendekatan Pastoral Terpadu bergaya Asia).

Maka Bapak Uskup menugaskan Wakil Direktur PUSPAS, P. Yanto Oly, Pr. live in di Pangkalpinang untuk mempelajari AsIPA selama 1 bulan yakni Juli 2019. Usai melakukan live in P. Yanto Oly, Pr. segera menerapkan metode AsIPA untuk mengembangkan KBG di 2 paroki yakni Paroki St. Fransiskus Asisi Pangaribuan dan St. Teresia Lisieux Katedral. Para fasilitator penggerak KBG dilatih dengan menggunakan modul-modul AsIPA. Kemudian Sekretaris Program PUSPAS Elvina Simanjuntak juga berangkat ke Pangkalpinang pada Oktober 2019 untuk magang selama 2 minggu mempelajari AsIPA khususnya pengorganisasian KBG di tingkat Keuskupan.

Selain mengirim staf PUSPAS live in dan magang di Pangkalpinang PUSPAS juga mengundang pentolan praktisi KBG dari Keuskupan Pangkalpinang, Rm. Lusius Poya, Pr. untuk bersyering tentang pengalaman mereka mengembangkan KBG selama 25 tahun. Syering dari Rm. Poya dilaksanakan di Dekanat Tapanuli 26-27 Agustus 2019 dan Dekanat Nias 29-30 Agustus 2019. Peserta pertemuan adalah semua pastor paroki, pastor rekan, ketua Komisi-Biro-Lembaga dan staf Pengurus Harian PUSPAS. Pada kedua pertemuan syering inilah Rm. Poya memperkenalkan metode AsIPA kepada para pelayan pastoral Keuskupan Sibolga.

Tidak berhenti sampai di situ, menjelang MUSPAS Akhir Tahun, sekali lagi Rm. Poya datang bersama Ibu Affra Siowardjaja memberi pelatihan AsIPA untuk semua pastor, PHKobilemdek dan utusan awam tiap paroki di Dekanat Tapanuli 10-12 November 2019 (diikuti 45 orang) dan Dekanat Nias 13-15 November 2019 (diikuti 73 orang). Dalam pelatihan tersebut peserta mempelajari modul dasar AsIPA yakni modul A (tentang pelaksanaan Syering Injil 7 Langkah) dan sebagian modul B (tentang Misi Kristus).

Pengembangan KBG dengan Metode AsIPA
Metode AsIPA sudah terbukti efektif membangun dan memberdayakan KBG-KBG di berbagai keuskupan Asia dan Afrika. Di Indonesia keuskupan yang konsisten menggunakannya adalah Pangkalpinang dan sudah menghasilkan buah-buah yang luar biasa bagi pertumbuhan umat basis dan juga pertumbuhan Gereja paroki dan keuskupan.

Modul-modul AsIPA disusun oleh para Uskup Asia dengan tim yang terdiri dari ahli Kitab Suci, teolog, ahli pastoral, ahli pemberdayaan komunitas akar rumput, ahli pendidikan orang dewasa, dll, yang bekerja keras bergumul melahirkan modul-modul yang sederhana tapi isinya tetap berbobot untuk dapat digunakan dengan mudah oleh umat paling sederhana di akar rumput, bahkan umat yang tidak mengenyam pendidikan formal. Pendekatan modul sangat partisipatif sehingga umat dapat menemukan pembelajaran dan hikmah berdasarkan dayanya sendiri. Intensi dari modul-modul ini adalah konsientisasi (penyadaran) dan pertumbuhan.

Modul-modul AsIPA lahir dari konteks Asia yang khas, “Asian” berarti teks-teks yang didalami bermaksud untuk melaksanakan visi para Uskup Asia dan membantu umat Katolik Asia menghadapi kehidupan Asia dalam terang Injil. Kehidupan Asia yang ditandai dengan dua ciri utama: kemiskinan dan pluralisme. “Integral atau Integrated”: Teks-teks bertujuan mencapai keseimbangan antara rohani dan sosial, pribadi dan komunitas, kepemimpinan hierarkis dan tanggungjawab bersama dengan kaum awam. “Pastoral”: Teks-teks melatih kaum awam dalam misi pastoral mereka dalam Gereja dan dunia. “Approach” Pendekatannya berpusat pada Kristus dan umat. Umat dituntun untuk mencari dan menemukan Kristus dalam refleksinya atas ajaran dan pengalaman konkretnya.

Ada 3 kompetensi sebagai output (hasil langsung) yang hendak dicapai dari AsIPA yang biasa disebut dengan 3 bintang yakni 1) Menjadikan Kristus sebagai pusat kehidupan, 2) Mampu membangun komunio/persekutuan hidup nyata, 3) Melanjutkan misi Kristus. Ketiga output atau 3 bintang yang dihidupi KBG-KBG, inilah komponen-komponen yang membentuk karakter “cara baru hidup menggereja” itu.  Para Uskup Asia menegaskan bahwa KBG bukan sekedar sebuah organisasi dalam struktur Gereja, melainkan harus menjadi “a new way of being church” artinya “cara baru hidup menggereja”. Dengan kata lain KBG menjadi karakter atau kepribadian yang alamiah bagi Gereja.
Syering Injil 7 Langkah dalam format AsIPA dimaksudkan menjadi sarana pertemuan rutin umat untuk membangun spiritualitas dan karakter “berpusat pada Kristus”. Syering Injil 7 Langkah sesungguhnya bukan hal baru bagi para pelayan pastoral di Keuskupan Sibolga, metode ini sudah lama dikenal sebagai salah satu metode pembinaan iman. Perbedaannya, dalam format AsIPA Syering 7 Langkah didisain menjadi tools atau alat kerja bagi pemberdayaan komunitas basis, yang rutin bertemu berdoa dan mendalami Kitab Suci, lalu itu menjadi dasar melakukan aksi-aksi konkret membangun kehidupan bersama. Maka pembekalan pertama yang dilakukan untuk para pengurus KBG adalah menjalankan Syering Injil 7 Langkah dengan sungguh-sungguh menghayati makna spiritual setiap langkah dalam kerangka membangun persekutuan umat basis secara berkelanjutan.

Sudah di Jalur yang Benar
Tahun 2020 sudah memasuki bulan kedua, semua paroki kini sedang berproses memulai dan menjalankan pemberdayaan KBG-KBG sebagai fokus dan lokus pastoral dengan bantuan metode AsIPA. Dengan penerapan AsIPA sesungguhnya Keuskupan Sibolga menemukan sarana yang efektif mengimplementasikan strategi pastoral yang sudah ditetapkan sejak Sinode I tahun 2009 yakni: Pemberdayaan petugas pastoral demi pemberdayaan umat di basis. Sebab dalam penerapan AsIPA kedua aspek dalam strategi itu disentuh dan dikelola secara simultan serta berkelanjutan. Para pelayan pastoral basis diberdayakan dan pada saat yang sama mereka pun memberdayakan umat KBG melalui praksis modul-modul tersebut.

Output  yang diharapkan dari pelatihan pelayan pastoral (PP) adalah:  a) para PP yang dilatih diharapkan menguasai materi yang dipelajari, b) mampu mempraktekkan hasil pelatihan kepada umat dan c) melatih orang-orang baru. Ketiga hal ini dapat diraih melalui penerapan modul-modul AsIPA. Poin “a” menyasar para PP secara pribadi-pribadi, poin “b” dan “c” menyasar pertumbuhan umat KBG. Dengan demikian kedua subyek secara bersama-sama mengalami pertumbuhan dan pemberdayaan. Inilah lahan yang subur bagi tumbuh-kembangnya Gereja yang memiliki kapasitas untuk menjalankan misi Keuskupan Sibolga demi meraih visi “Gereja mandiri, solider dan membebaskan” itu.

Dengan melakukan pemberdayaan simultan atas 2 subyek yakni PP dan umat basis, diharapkan KBG-KBG menjadi “sekolah kehidupan” yakni lokus yang efektif bagi pelatihan PP dan umat. Jika selama ini kita menerapkan pelatihan di ruang-ruang kelas dalam waktu terbatas dan hanya untuk segelintir elit paroki/stasi/lingkungan, kini kita memindahkan ruang-ruang pelatihan ke lingkungan hidup umat di KBG-KBG. Yang “bersekolah” di sana bukan hanya elit pengurus Gereja, melainkan PP bersama umat. Semua orang menjadi murid, semua orang menjadi guru. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa prinsip pastoral yang terkesan sangat idealis dan puitis itu, dalam format AsIPA dapat menjadi realitas. Tentu bila para “titik api” yakni pastor paroki bersama PP yang lain bekerja serius dan konsisten menjalankannya di paroki masing-masing.

Semua paroki kini berada dalam gerak bersama pemberdayaan pelayan pastoral dan pemberdayaan umat basis dengan alat bantu metode AsIPA. Harapan kita, dengan proses yang konsisten ini akan terbentuk KBG-KBG yang berdaya, KBG sebagai “cara berada” atau “cara baru hidup menggereja”, bukan sekedar sebuah unit terkecil dalam struktur organisasi Gereja. Semoga.               
[Elvina Simanjuntak, Sekretaris Program PH PUSPAS]

Kat. Ingaran Sihura, S.Ag
Siapa yang menyangka bahwa Corona Virus Disease (Covid - 19) atau lebih dikenal dengan sebutan Virus Corona yang berasal dari Huwan – Cina, dapat menggelisahkan hingga separuh dunia. Virus yang berkembang dengan cepat ini, telah menelan korban hingga ribuan orang. Di Indonesia sendiri telah ratusan orang meninggal dunia akibat dari terinveksi, ratusan orang juga berstatus “Orang Dalam Pantauan” (ODP) dan “Pasien Dalam Pengawasan” (PDP).
Novel corona virus (Covid – 19) adalah virus baru yang menyebabkan penyakit dalam saluran pernapasan. Virus yang masih satu kelompok dengan virus MERS dan SARS ini, membuat orang yang dihinggapinya dapat mengalami demam tinggi, batuk, pilek, gangguan pernapasan, sakit tenggorokan, letih, lesu dan pada akhirnya meningal dunia. Virus ini berkembang denan cepat lewat tetesan pernapasan dari batuk dan bersin orang.

Melihat perkembangan virus ini yang begitu cepat, pemerintah mengambil langkah penanganan lewat kebijakan penanganan bagi yang terinveksi dan himbauan kepada yang masih sehat. Salah satu kebijakan yang dikeluarkan adalah himbauan untuk menghindari kerumunan massa atau lebih tepatnya tetap berada di rumah masing-masing. Keputusan sekaligus himbauan ini berlaku untuk seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Gereja yang juga bagian dari Masyarakat ikut mematuhi keputusan dan himbauan ini.

Akibat dari keputusan dan himbauan ini, pihak Gereja juga turut diajak untuk memberi himbauan kepada Umat untuk tetap waspada akan perkembangan virus ini. Sebagai langkah bersama yang mendukung pemerintah dalam memutus rantai perkembangan virus ini, Gereja mengambil keputusan untuk sementara tidak melaksanakan ibadat bersama di gereja melainkan Umat dihimbau untuk melaksanakan ibadat di rumah masing-masing.

Keputusan yang dikeluarkan oleh pihak Gereja, merupakan salah satu keputusan yang sangat sulit untuk diterima oleh Umat Katolik. Menjadi sulit diterima oleh umat karena saat dimana keputusan ini dikeluarkan sangat mengganggu iman; terlebih dalam merayakan Oktaf Paskah yang merupakan puncak iman kekatolikan. Walaupun demikian, demi gerekan bersama untuk memutus rantai perkembangan virus ini, keputusan tetap dijalankan.

Sebagai Umat Katolik, keputusan dari pihak Gereja ini sekaligus menjadi ujian iman. Ujian iman yang dimaksudkan dapat dijelaskan dalam 2 hal. Pertama: Umat Katolik diuji keimanannya dalam merayakan Paskah besama keluarga di rumah masing-masing. Paskah yang adalah saat dimana Tuhan lewat, merupakan saat dimana kesiapan keluarga menyambut Tuhan yang lewat itu (bdk. Keluaran 12:1-28). Dalam tradisi Kitab Suci Perjanjian Lama, kata paskah bermakna : melindungi, membebaskan, lewat dan menyelamatkan (bdk. Yes 31:5). Ujian pertama ini mengajak umat beriman untuk mencoba melihat keluarganya masing-masing, apakah masih bisa berkumpul, berdoa dan makan bersama. Disini bisa juga bisa diketahui bahwa iman sejati mulanya berkembang dari dan dalam keluarga.

Kedua; Umat Katolik diuji ketaatannya kepada Gereja dan Negara. Mgr. Albertus Soegijapranata terkenal sebagai tokoh nasional dengan semboyannya: 100 % Katolik dan 100 % Katolik. Semboyan ini merupakan semboyan yang tetap digaungkan hingga saat ini oleh semua Umat Katolik di seantero nusantara. Disini Umat Katolik juga diuji ketaatannya terhadap himbauan pemerintah yang kemudian dilanjutkan oleh pihak Gereja. Yesus sendiri pernah mempertegas kepada semua orang bahwa; berilah kepada kaisar apa yang menjadi hak kaisar dan kepada Allah apa yang menjadi hak Allah (Markus 12:17). Sebagai pengikut Kristus, kita diuji di sini apakah iman yang kita miliki juga dapat mengajak kita untuk taat kepada pemerintah? Sebagai umat Katolik yang baik, kita dipanggil untuk beriman kepada Kristus yang adalah dasar Gereja dan kepada Negara yang adalah tempat kita berpijak. Sebagai umat beriman Katolik, kita dipanggil untuk menjadi warga negara yang membantu pemerintah untuk memutus rantai perkembangan Covid – 19.

Kehadiran Corona Virus Disease (Covid - 19) atau lebih dikenal dengan sebutan Virus Corona tentu merupakan salah satu ujian iman bagi Umat Katolik. Namun memutus rantai perkembangan virus ini merupakan tugas bersama. Mesti diingat bahwa keprihatinan ini bukan hanya keprihatinan pemerintah melainkan keprihatinan Gereja juga (bdk. Gaudium et Spes, no. 1). Seluruh keprihatinan ini semuanya tertuju kepada perkembangan sejati manusia dan masyarakat (bdk. Sollicitudo Rei Socialis, no. 1). Maka, Pemerintah dan Gereja tentunya memberikan keputusan bukan untuk memperkeruh suasana melainkan untuk keselamatan kita bersama sebagai warga negara dan warga Gereja yang baik. [Kat. Ingatan Sihura]

P. Paulus Posma Manalu, Pr
Pada akhir tahun 2019 muncul sebuah berita viral mengenai larangan merayakan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Larangan tersebut menjadi berita nasional dan mendapat banyak tanggapan dari tokoh-tokoh agama mengingat Indoensia adalah Negara yang salah satu pilarnya adalah Bhineka Tunggal Ika.

Dari berbagai sumber dapat dilihat bahwa persoalan yang terjadi di kedua kabupaten dimaksud yakni adanya larangan bagi umat Kristiani melaksanakan perayaan agamanya secara terbuka, sekaligus melarang melaksanakan kebaktian secara terbuka di rumah warga dan di tempat lain di Kanagarian Sikabau. Selain itu juga terdapat ancaman jika umat Kristen tidak mengindahkan pemberitahuan dan pernyataan pemerintah Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat dan pemuda Nagari Sikabau akan melakukan tindakan tegas. Ada juga keharusan bagi umat Kristiani untuk mengurus izin-izin sebelum kegiatan peribadatan keagamaan dilaksanakan. Pertanyaannya adalah mengapa sudah diusia memasuki 75 tahun kemerdekaan RI kebebasan beragama belum dapat diimplementasikan  secara maksimal?

Kebebasan beragama merupakan hak fundamental setiap warga negara.  Perlindungan terhadap kebebasan tersebut diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 29 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan Hak Kebebasan Beragama ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang RI nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun 1999, berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”Hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak azasi manusia yang paling penting dan utama. Sedemikian pentingnya hak ini, sehingga publik sepakat menggolongkannya dalam ketegori non-derogable right, yaitu hak azasi manusia yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun.

Dua lembaga kemanusiaan yang selama ini peduli dengan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yakni Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan Setara Institut mencatat banyaknya pelanggaran kebebasan beragama di tanah air.  Menurut laporan Komnas HAM, selama tahun 2016 terdapat 97 pengaduan menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan rincian sebagai berikut: 24 tempat ibadah umat Muslim, 22 kasus menyangkut anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 17 kasus tempat ibadat umat Kristen, 1 kasus kelompok penghayat kepercayaan, 1 kasus meyangkut umat Buddha. Sisanya adalah intimidasi kelompok keagamaan, sengketa tafsir, kriminalisasi dan lain sebagainya.

Negara Sebagai Aktor Intoleransi
Jumlah kasus pelanggaran hak kebebasan beragama yang lebih banyak, dicatat oleh Setara Institute.  Menurut laporan Setara Institute, selama tahun 2016 terdapat 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Jumlah pelanggaran ini meningkat dari tahun sebelumnya, dimana Setara Institute menemukan 236 tindakan pelanggaran pada tahun 2015 dan 177 aksi intoleransi pada tahun 2014. Yang menarik dari temuan Setara Institute ini adalah, dari 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama di tahun 2016, sebanyak 140 tindakan pelanggaran melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Sisanya dilakukan oleh aktor non negara.

Fakta-fakta tersebut di atas merupakan tindakan yang mencederai komitmen hidup berbangsa dan bernegara karena salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain itu, pelanggaran kebebasan beragama juga telah bertentangan dengan konsensus dasar Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa. Indonesia adalah bangsa yang heterogen, terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau tepatnya 1.340 suku bangsa, ada 187 kelompok penghayat kepercayaan dan enam agama resmi yang diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Karena pluralitas ini, maka tindakan intoleran sekecil apapun dapat menjadi penyebab gesekan dan konflik sosial yang mengarah pada perpecahan. Pembiaran terus menerus atas pelanggaran hak kebebasan beragama juga akan memunculkan antipati dan kebencian antar kelompok yang berbeda agama.

Jika tidak ditangani secara serius maka tindakan intoleran bukan tidak mungkin dapat meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengimplementasikan Hak Kebebasan Beragama guna mencegah disintegrasi bangsa dibutuhkan 3 (tiga) cara yakni: Pertama, mendorong hadirnya negara terhadap kelompok-kelompok masyarakat rawan termarginalkan; Kedua, penegakan hukum berkeadilan; dan Ketiga, pengimplementasian undang-undang yang ada. Ketiga hal di atas selama ini menjadi akar masalah munculnya berbagai konflik horizontal berbau keagamaan di masyarakat dan membuat hak kebebasan beragama tidak dapat diimplementasikan dengan optimal.

Alfanya perlindungan negara bagi kelompok-kelompok minoritas dapat membuat kelompok tersebut semakin termarginalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah pentingnya menghadirkan negara dalam menjamin kebebasan hak beragama menjadi sangat mendesak terutama karena ternyata pelaku pelanggaran hak kebebasan beragama banyak melibatkan aktor negara. Dari data-data pada pembahasan sebelumnya terlihat bahwa hampir setengah dari jumlah kasus pelanggaran hak kebebasan beragama melibatkan pemerintah daerah, kepolisian dan institusi-institusi negara lainnya. Konflik keagamaan di daerah umumnya terjadi karena kelemahan karakter kepemimpinan dan tebalnya muatan politik di tingkat lokal. Hasrat untuk memenangkan kontestasi politik di daerah dicapai oleh sebagian parpol dan calon dengan memanfaatkan isu SARA. Oleh karena itu tidak heran, bahwa menjelang Pemilu angka diskriminasi bahkan pelanggaran hak kebebasan beragama semakin subur.

Selain memperkuat hadirnya negara dalam memberi perlindungan, cara lain yang tak kalah penting diperhatikan agar implementasi hak bebebasan beragama dapat optimal ialah menegakkan hukum secara berkeadilan. Berkeadilan maksudnya bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang latar belakang pelaku tindakan intoleran. Selama ini para pelaku tindakan intoleran tidak takut melakukan aksinya karena hukum tidak ditegakkan dengan adil. Dalam melakukan penegakan hukum menyangkut pelanggaran hak kebebasan beragama, polisi pun terkesan sangat hati-hati bahkan takut menuntaskan kasus intoleran ke ranah hukum. Pembiaran yang demikian kemudian mendorong para pelaku intoleran tidak jera untuk melakukan aksi yang sama di kemudian hari.

Pentingnya Sanksi Bagi Aparatur Negara
Masalah lain dari pelanggaran Hak Kebebasan Beragama ialah tidak terimplementasikannya undang-undang yang ada dalam hidup kemasyarakatan. Undang-undang yang ada, malah hanya sering dipakai sebagai tameng pembenaran tindakan penyegelan rumah ibadat dan pembubaran acara peribadatan. Namun ketika ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut sungguh mau dipenuhi oleh satu kelompok misalnya syarat pendirian rumah ibadat sudah lengkap semuanya sebagaimana diminta dalam SKB, justru kemudian muncul persoalan baru yang menghambat implementasi pelaksanaan peraturan tersebut. Dari fakta-fakta yang diperoleh dilapangan, implementasi undang-undang sering gagal karena desakan massa dari ormas yang melakukan demonstrasi dan surat edaran dari kelompok tertentu.

Tidak terimplementasikannya undang-undang juga diakibatkan oleh tiadanya sanksi bagi apatur negara jika tidak melaksanakan isi pasal-pasal peraturan dimaksud. Hal ini membuat kepala daerah tidak perlu kwatir atau takut untuk melaksanakan isi peraturan dimaksud. Pada pasal 14 (empat belas) ayat tiga (3) dengan jelas disebutkan kewajiban pemerintah daerah untuk menyiapkan tempat ibadat sementara bagi kelompok pemohon izin pembangunan rumah ibadat yang sudah memenuhi syarat 90 (sembilan puluh) orang pengguna rumah ibadat, namun belum mendapatkan syarat administrasi berupa dukungan dari 60 (enampuluh) orang penganut agama lain. Jarang sekali, atau hampir tidak ada kepala daerah yang melaksanakan ketentuan ini.

Selain hal tersebut, baik SKB dua menteri maupun UU Penodaan Agama dinilai masih kurang mencerminkan nilai-nilai UUD NRI Tahun 1945. Beberapa pasal dari peraturan perundangan tersebut di atas justru dinilai melanggar Hak Kebebasan Beragama dan menjadi sumber terjadinya tindakan intoleran berujung konflik SARA. Karena itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menghilangkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan mencegah pelaksanaan hukum yang timpang antar kelompok sosial. Pengabaian hal tersebut dapat menimbulkan disharmoni sosial yang bisa berujung pada disintegrasi bangsa. [p3m/taskapppra57]

P. Paulus Posma Manalu, Pr
Baru saja kita mengawali dan giatnya-giatnya dalam pembentukan Komunitas Basis Gerejani (KBG), dan kemudian kita harus berhenti dari aktivitas pertemuan-pertemuan yang menjadi penggerak dasar aktifnya sebuah KBG. Ditangguhkannya pertemuan-pertemuan di KBG itu, tertuang dalam surat himbauan Pastoral Admininstator Apostolik Keuskupan Sibolga. Hal itu dilatar belakangi merebaknya pandemi Covid 19. Covid 19 merupakan singkatan dari corona virus disease yang muncul pertama kali pada tahun 2019 silam.

Covid 19 telah menjadi pandemi global dan mengubah pola hidup serta tatanan dunia. Penyebarannya berlangsung cepat. Penularannya terjadi dari manusia kemanusia lewat kontak fisik maupun pertemuan-pertemuan. Covid 19 menjadi semakin menakutkan karena ditenggarai virus ini bisa tidak menimbulkan gejala-gejala awal seperti batuk, demam dan sakit tenggorokan. Dia bisa menyebar lewat orang yang kelihatan sehat padahal dia sudah tertular Corona.
Untuk menghentikan laju penyebaran virus tersebut maka pemerintah mengambil sikap untuk membatasi pertemuan-pertemuan dengan melibatkan banyak orang.

Kegiatan bersifat mengumpulkan banyak orang kemudian dibatasi. Bahkan ada, pesta-pesta ada terpaksa dihentikan oleh aparat kepolisian demi menjaga kehidupan banyak orang.
Gerejapun kemudian turut mendukung sikap pemerintah. Hampir semua keuskupan di Indonesia membuat surat edaran untuk memindahkan ibadah perayaan ekaristi dari Gereja kerumah masing-masing umat. Tidak ada lagi ibadah di Gereja yang membuat konsentrasi massa berkumpul.
TahtaSuci Vatican sendiri, juga telah mengeluarkan tata ibadah pekan suci tanpa melibatkan umat. Umat mengikuti perayaan ekaristi secara online oleh beberapa media baik milik keuskupan maupun paroki-paroki.

Saat ini pertemuan-pertemuan sangat dibatasi. Agenda-agenda bersamapun terpaksa dibatalkan atau diundurkan. Pertemuan ASIPA sebagai pondasi bangunan Komunitas Basis Gerejanipun dihentikan. Di tengah slogan “Stay at Home” atau tinggal di rumah serta pembatasan pertemuan-pertemuan bagaimanakah kita mesti memahami dan menjalankan spirit dari KBG ini?  Apakah KBG berhenti?

Apakah ASIPA berhenti?
Belajar dari semangat orang-orang di Wuhan China dimana pandemi ini menyebar pada awalnya dan memakan banyak korban kita justru harus bersyukur bahwa kita telah membentuk KBG-KBG. Kota Wuhan diisolasi hampir 3 bulan. Warganya terkurung dan tidak bisa bepergian meninggalkan kota, mereka harus tinggal di rumah. Mereka awalnya merasa sepi, stress dan frustrasi hingga mereka menemukan sebuah cara untuk menang. Mereka mulai meneriakkan “Wuhan Jiayou” (Wuhan Kuat) untuk membangun spirit kebersamaan.
Teriakan “Wuhan Jiyaou” menggema dari rumah yang satu kerumah lainnya untuk memberi semangat dan saling memotivasi. Tak sedikit juga dari mereka akhirnya menemukan titik baik kemanusiaan dengan saling berbagi makanan antar tetangga. Dengancarademikianmerekamampumelewatimasasulitakibatpandemi Corona ini.
Sesungguhnya semanga twarga Wuhan untuk saling memberi dan berbagi serta saling menyemangati adalah spirit dasar dari KBG. KBG dibentuk berdasarkan batas territorial agar mudah untuk saling mengenal sesama anggota. KBG dibangun atas dasar firman Tuhan, mereka berkumpul, merenungkan sabda Tuhan dan melakukan aksi.
Di tengah ketidak pastian kapan pandemi ini akan berakhir, maka perandari KBG-KBG ini menjadi sangat urgen. Sudah dipastikan bahwa masa penyebaran corona ini akan berakibat bagi ekonomi keluarga-keluarga Katolik. Di beberapa tempat telah terjadi pemutusan hubungan kerja, pasar-pasar mulai sepi, dagangan tidak laku. Akan banyak orang miskin baru akibat dari pandemi.
Untuk mengantisipasi akibat dari pandemi ini, maka pengurus KBG-KBG harus lebih gesit lagi untuk melihat dan membangun soliditas dan solidarita ssesama anggota. Mereka didasari firman Tuhan sendiri: Apa yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukan-Nya untuk Aku (Mat 25:40) harus berbuat sesuatu di KBG untuk mengantisapi kesulitan sesama anggota.

Dalamhal ini, jika terdapat satu anggota diduga suspect Covid 19 sesama anggota KBG harus saling menyemangati bukan malah mengucilkan mereka. Dengan semangat dari sesama anggota KBG maka diharapkan anggota tersebut dapat bangkit secara psikis dan akhirnya bisa sembuh kembali. Untuk anggota KBG yang kesulitan secara ekonomi maka KBG juga harus menggalang solidaritas bersama guna meringankan beban ekonomi anggota tersebut.

Mengingat kunjungan-kunjungan dan pertemuan dibatasi selama pandemi Covid 19 ini, maka para pengurus KBG bisa membangun jejaring secara virtual menggunakan media sosial seperti Whatshapp maupun Facebook dan media lainnya. Semoga, di tengah pandemi ini KBG ini bukan malah mundur tetapi menemukan momentumnya untuk semakin bersolidaritas dan membangun soliditas. [p3m]

P, Blasius S. Yese, Pr
Validitas Perkawinan

Perkawinan merupakan lembaga kehidupan. Sebagai lembaga kehidupan, keberadaannya mendapat jaminan perlindungan hukum atau norma, yang disediakan oleh agama, moral, budaya dan Negara. Gereja Katolik memiliki normanya sendiri untuk mengatur hidup perkawinan.
Dalam ketentuan normatif Gereja Katolik, ada tiga kriteria yang menentukan sah (valid) atau tidaknya perkawinan orang Katolik, yaitu: harus ada forma sacramenti, materia sacramenti dan forma canonica. Forma sacramenti perkawinan adalah perjanjian kesepakatan atau konsensus dari pasangan yang menikah (kanon 1095–1107), yang dinyatakan secara sungguh-sungguh (tidak pura-pura), bebas (tanpa paksaan atau bukan karena ketakutan dan penuh (tak ada unsur yang dikecualikan dari apa yang dituntut Gereja dalam perkawinan). Materia sacramenti adalah laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan atau abilitas untuk melangsungkan perkawinan, baik kemampuan natural maupun kemampuan yang ditentukan oleh Gereja, sebagaimana diatur kanon 1083–1094. Forma canonica adalah tata perayaan perkawinan, yang diatur dalam kanon 1108–1129.
Tulisan singkat ini hanya mengulas tentang forma canonica, khususnya mengenai saksi-saksi yang disyaratkan oleh hukum, yang diatur dalam kanon 1108.Selain itu, tidak semua unsur dalam kanon tersebut diulas di sini. Saya hanya memberikan uraian tentang keberadaan saksi tertahbis (ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam lain/diakon yang mendapat  delegasi dari ordinaris wilayah atau pastor paroki) dan dua saksi umum. Pembatasan ini didasarkan pada pengandaian saya, bahwa umumnya situasi yang kita hadapi sekarang di Keuskupan Sibolga adalah situasi biasa di mana pelayan perayaan perkawinan atau saksi utamanya adalah kaum tertahbis. Jadi, di sini saya tidak membahas perayaan perkawinan dalam situasi luar biasa, di mana pelayan atau saksi utama bukan pelayan tertahbis, seperti: tata perayaan perkawinan di hadapan pelayan awam (bukan tertahbis), atau hanya di hadapan dua saksi atau bahkan dalam situasi dispensasi dari forma canonica.

Kehadiran Tiga Saksi
Dari segi forma canonica, perkawinan orang Katolik - entah kedua-duanya Katolik ataupun hanya salah satunya beragama Katolik - hanyalah sah «bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi» (kanon 1108). Ordinaris wilayah atau pastor paroki merupakan saksi utama dan dua saksi lain adalah saksi umum. Pastor paroki dan ordinaris wilayah memiliki fakutas ordinaria atau kuasa yang melekat pada jabatan mereka, baik sebagai ordinaris wilayah ataupun sebagai pastor paroki. Selain pastor paroki, saksi utama yang juga mempunyai fakultas ordinaria seperti pastor paroki, adalah: pastor/vikaris kuasi-paroki, administrator paroki, vikaris paroki atau imam yang memimpin paroki untuk sementara waktu pada saat pastor paroki terhalang. Ordinaris wilayah yang dimaksudkan dalam kanon 1108 ini adalah uskup diosesan, vikaris jenderal, vikaris episkopal, administrator apostolik, administrator diosesan, prefektur apostolik, prelat dan abas territorial, uskup koajutor, uskup auksilier.

Mengacu pada ketentuan kanon 1108 ini, jika orang Katolik menikah bukan di hadapan ordinaris wilayah atau pastor parokinya atau imam/diakon yang mendapat delegasi dari odinaris wilayah atau pastor paroki serta tanpa keahadiran dua orang saksi, maka perkawinan itu tidak sah. Dengan demikian, perkawinan tersebut tidak dicatat dalam Liber Matrimonium (Buku Perkawinan) Gereja Katolik. Maka, dalam perayaan perkawinan Gereja Katolik, sekurang-kurangnya harus dihadiri oleh lima orang, yaitu: tiga saksi (ordinaris wilayah atau pastor paroki serta dua saksi umum) dan pasangan suami-istri yang menikah.

Dalam perayaan perkawinan Gereja Katolik perlu dibedakan tiga hal: forma yuridis, forma sakramental dan forma liturgis. Forma yuridis adalah hal-hal yang dituntut oleh hukum agar konsensus yang diungkapkan dalam perayaan itu memiliki efek yang legal. Forma sakramental lahir dari konsensus orang-orang yang menikah untuk saling menerima dan memberi diri, yang merupakan materi dari sakramen. Di dalam konsensus seorang laki-laki dan seorang perempuan memberi dan menerima diri satu sama lain. Forma liturgis adalah ritus dan tata perayaan keagamaan yang menyertai perkawinan kristiani, yang mengungkapkan karakter eklesial dan sakramental. Dalam tata perayaan liturgis mau diungkapkan misteri kesatuan dan buah-buah kasih antara Kristus dan Gereja, yang dalam diri pasangan suami-istri dinyatakan dengan saling berbagi.

Syarat Menjadi Saksi-saksi Perkawinan
Keberadaan dua saksi-umum dalam perkawinan tidak seperti saksi atau wali dalam penerimaan sakramen Baptis atau penerimaan sakramen Krisma. Dua saksi dalam perkawinan tidak mempunyai tanggung jawab untuk memberi kesaksian mengenai iman dari orang-orang yang menikah atau membantu mereka untuk menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Mereka hanya menjadi saksi bahwa perayaan perkawinan telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum.
Oleh karena itu kanon tidak menetapkan secara detail syarat-syarat yang berkaitan dengan peran mereka. Syarat umum untuk mereka adalah memiliki kemampuan menggunakan akal budi yang memadai dan ada pemahaman akan peran mereka sebagai saksi. Tentang dua syarat itu, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam kanon 1108, dalam kanon 1550 §1 ditetapkan bahwa orang yang belum genap berusia empatbelas tahun dan yang lemah mental tidak diizinkan untuk memberikan kesaksian. Dengan demikian, dari sisi usia, orang yang bisa menjadi saksi perkawinan harus berusia minimal genap empatbelas tahun. Yang kedua, sehubungan dengan kesehatan mental atau pemakaian akal budi yang memadai, maka orang yang gila, mabuk atau mengalami kemunduran mental tidak bisa menjadi saksi dalam perayaan perkawinan.

Dua saksi umum itu bisa kedua-duanya laki-laki atau kedua-duanya perempuan atau seorang perempuan dan seorang laki-laki, baik katolik maupun bukan-Katolik, terbaptis ataupun tidak terbaptis. Meskipun kanon mengatur demikian, hendaklah tugas tersebut dipercayakan kepada orang-orang Katolik.

Keberadaan dua saksi umum itu, bersama saksi tertahbis, adalah ad validitatem (demi sahnya) tata perayaan perkawinan. Oleh karena itu, tidaklah sah perkawinan yang dilangsungkan tanpa kahadiran dua saksi.

Antara Ordinaris Wilayah dan Pastor Paroki
Di atas disebutkan bahwa pelayan tertahbis dalam tata perayaan perkawinan adalah ordinaris wilayah atau pastor paroki. Dalam hal keberadaan mereka pada perayaan perkawinan, di manakah batas-batas yuridis kewenangan mereka? Dalam hal ini, batas yuridis, kewenangan mereka bersifat territorial atau mencakup wilayah tertentu.

Uskup diosesan, vikaris jenderal, administrator apostolik/diosesan memiliki wilayah yurisdiksidi seluruh keuskupan. Prefek apostolik mencakup seluruh wilayah prefektur apostolik. Sedangkan vikaris episkopal meliputi wilayah tertentu dari suatu keuskupan. Untuk pastor paroki, wilayah yurisdiksinya adalah wilayah paroki yang digembalakannya. Konsekuensinya, jika mereka menjadi pelayan atau saksi utama untuk tata perayaan perkawinan di luar batas-batas wilayahnya, maka mereka harus mendapat delegasi dari otoritas gerejawi setempat, entah ordinaris wilayah ataupun pastor paroki setempat. Bila tanpa delegasi, perkawinan yang mereka teguhkan di luar wilayah yurisdiski mereka,tidaklah sah.

Bila ordinaris wilayah menjadi pelayan atau saksi utama dalam batas wilayahnya, dia tidak perlu mendapat delegasi dari pastor paroki di mana perkawinan itu dirayakan. Yang dibutuhkan di situ adalah izin dari pastor paroki setempat.  Jadi, bila uskup diosesan atau vikaris jenderal menjadi pelayan utama dalam tata perayaan perkawinan di suatu paroki di wilayah keuskupan, mereka tak perlu mendapat delegasi dari pastor paroki di mana perkawinan itu dirayakan. Demikian juga bila vikaris episkopal (Vikep) menjadi saksi utama dalam perayaan perkawinan di wilayah kevikepannya, tak perlu mendapat delegasi. Cukup izin dari pastor paroki. Namun, segala sesuatu mengenai administrasi dan persiapan perkawinan dilakukan oleh pastor paroki setempat. [P. Blasius S. Yese, Pr]

[Sumber bacaan: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici)1983, Edisi Resmi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh KWI, 2015; John P. Beal, James A. Coriden, Thomas J. Green (ed.), New Commentary on the Code of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000. Study Edition; Luigi Chiappetta, Il Codice di Diritto Canonico: Commento Giuridico e Pastorale 2 Libri III, IV, V, VII, Bologna: Edizione Dehoniane, 2011)

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget