Keberadaan Saksi dalam Perkawinan Katolik

P, Blasius S. Yese, Pr
Validitas Perkawinan

Perkawinan merupakan lembaga kehidupan. Sebagai lembaga kehidupan, keberadaannya mendapat jaminan perlindungan hukum atau norma, yang disediakan oleh agama, moral, budaya dan Negara. Gereja Katolik memiliki normanya sendiri untuk mengatur hidup perkawinan.
Dalam ketentuan normatif Gereja Katolik, ada tiga kriteria yang menentukan sah (valid) atau tidaknya perkawinan orang Katolik, yaitu: harus ada forma sacramenti, materia sacramenti dan forma canonica. Forma sacramenti perkawinan adalah perjanjian kesepakatan atau konsensus dari pasangan yang menikah (kanon 1095–1107), yang dinyatakan secara sungguh-sungguh (tidak pura-pura), bebas (tanpa paksaan atau bukan karena ketakutan dan penuh (tak ada unsur yang dikecualikan dari apa yang dituntut Gereja dalam perkawinan). Materia sacramenti adalah laki-laki dan perempuan yang memiliki kemampuan atau abilitas untuk melangsungkan perkawinan, baik kemampuan natural maupun kemampuan yang ditentukan oleh Gereja, sebagaimana diatur kanon 1083–1094. Forma canonica adalah tata perayaan perkawinan, yang diatur dalam kanon 1108–1129.
Tulisan singkat ini hanya mengulas tentang forma canonica, khususnya mengenai saksi-saksi yang disyaratkan oleh hukum, yang diatur dalam kanon 1108.Selain itu, tidak semua unsur dalam kanon tersebut diulas di sini. Saya hanya memberikan uraian tentang keberadaan saksi tertahbis (ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam lain/diakon yang mendapat  delegasi dari ordinaris wilayah atau pastor paroki) dan dua saksi umum. Pembatasan ini didasarkan pada pengandaian saya, bahwa umumnya situasi yang kita hadapi sekarang di Keuskupan Sibolga adalah situasi biasa di mana pelayan perayaan perkawinan atau saksi utamanya adalah kaum tertahbis. Jadi, di sini saya tidak membahas perayaan perkawinan dalam situasi luar biasa, di mana pelayan atau saksi utama bukan pelayan tertahbis, seperti: tata perayaan perkawinan di hadapan pelayan awam (bukan tertahbis), atau hanya di hadapan dua saksi atau bahkan dalam situasi dispensasi dari forma canonica.

Kehadiran Tiga Saksi
Dari segi forma canonica, perkawinan orang Katolik - entah kedua-duanya Katolik ataupun hanya salah satunya beragama Katolik - hanyalah sah «bila dilangsungkan di hadapan Ordinaris wilayah atau pastor paroki atau imam atau diakon yang diberi delegasi oleh salah satu dari mereka itu, yang meneguhkannya, serta di hadapan dua orang saksi» (kanon 1108). Ordinaris wilayah atau pastor paroki merupakan saksi utama dan dua saksi lain adalah saksi umum. Pastor paroki dan ordinaris wilayah memiliki fakutas ordinaria atau kuasa yang melekat pada jabatan mereka, baik sebagai ordinaris wilayah ataupun sebagai pastor paroki. Selain pastor paroki, saksi utama yang juga mempunyai fakultas ordinaria seperti pastor paroki, adalah: pastor/vikaris kuasi-paroki, administrator paroki, vikaris paroki atau imam yang memimpin paroki untuk sementara waktu pada saat pastor paroki terhalang. Ordinaris wilayah yang dimaksudkan dalam kanon 1108 ini adalah uskup diosesan, vikaris jenderal, vikaris episkopal, administrator apostolik, administrator diosesan, prefektur apostolik, prelat dan abas territorial, uskup koajutor, uskup auksilier.

Mengacu pada ketentuan kanon 1108 ini, jika orang Katolik menikah bukan di hadapan ordinaris wilayah atau pastor parokinya atau imam/diakon yang mendapat delegasi dari odinaris wilayah atau pastor paroki serta tanpa keahadiran dua orang saksi, maka perkawinan itu tidak sah. Dengan demikian, perkawinan tersebut tidak dicatat dalam Liber Matrimonium (Buku Perkawinan) Gereja Katolik. Maka, dalam perayaan perkawinan Gereja Katolik, sekurang-kurangnya harus dihadiri oleh lima orang, yaitu: tiga saksi (ordinaris wilayah atau pastor paroki serta dua saksi umum) dan pasangan suami-istri yang menikah.

Dalam perayaan perkawinan Gereja Katolik perlu dibedakan tiga hal: forma yuridis, forma sakramental dan forma liturgis. Forma yuridis adalah hal-hal yang dituntut oleh hukum agar konsensus yang diungkapkan dalam perayaan itu memiliki efek yang legal. Forma sakramental lahir dari konsensus orang-orang yang menikah untuk saling menerima dan memberi diri, yang merupakan materi dari sakramen. Di dalam konsensus seorang laki-laki dan seorang perempuan memberi dan menerima diri satu sama lain. Forma liturgis adalah ritus dan tata perayaan keagamaan yang menyertai perkawinan kristiani, yang mengungkapkan karakter eklesial dan sakramental. Dalam tata perayaan liturgis mau diungkapkan misteri kesatuan dan buah-buah kasih antara Kristus dan Gereja, yang dalam diri pasangan suami-istri dinyatakan dengan saling berbagi.

Syarat Menjadi Saksi-saksi Perkawinan
Keberadaan dua saksi-umum dalam perkawinan tidak seperti saksi atau wali dalam penerimaan sakramen Baptis atau penerimaan sakramen Krisma. Dua saksi dalam perkawinan tidak mempunyai tanggung jawab untuk memberi kesaksian mengenai iman dari orang-orang yang menikah atau membantu mereka untuk menjalankan kewajiban-kewajiban mereka. Mereka hanya menjadi saksi bahwa perayaan perkawinan telah dilaksanakan menurut ketentuan hukum.
Oleh karena itu kanon tidak menetapkan secara detail syarat-syarat yang berkaitan dengan peran mereka. Syarat umum untuk mereka adalah memiliki kemampuan menggunakan akal budi yang memadai dan ada pemahaman akan peran mereka sebagai saksi. Tentang dua syarat itu, meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam kanon 1108, dalam kanon 1550 §1 ditetapkan bahwa orang yang belum genap berusia empatbelas tahun dan yang lemah mental tidak diizinkan untuk memberikan kesaksian. Dengan demikian, dari sisi usia, orang yang bisa menjadi saksi perkawinan harus berusia minimal genap empatbelas tahun. Yang kedua, sehubungan dengan kesehatan mental atau pemakaian akal budi yang memadai, maka orang yang gila, mabuk atau mengalami kemunduran mental tidak bisa menjadi saksi dalam perayaan perkawinan.

Dua saksi umum itu bisa kedua-duanya laki-laki atau kedua-duanya perempuan atau seorang perempuan dan seorang laki-laki, baik katolik maupun bukan-Katolik, terbaptis ataupun tidak terbaptis. Meskipun kanon mengatur demikian, hendaklah tugas tersebut dipercayakan kepada orang-orang Katolik.

Keberadaan dua saksi umum itu, bersama saksi tertahbis, adalah ad validitatem (demi sahnya) tata perayaan perkawinan. Oleh karena itu, tidaklah sah perkawinan yang dilangsungkan tanpa kahadiran dua saksi.

Antara Ordinaris Wilayah dan Pastor Paroki
Di atas disebutkan bahwa pelayan tertahbis dalam tata perayaan perkawinan adalah ordinaris wilayah atau pastor paroki. Dalam hal keberadaan mereka pada perayaan perkawinan, di manakah batas-batas yuridis kewenangan mereka? Dalam hal ini, batas yuridis, kewenangan mereka bersifat territorial atau mencakup wilayah tertentu.

Uskup diosesan, vikaris jenderal, administrator apostolik/diosesan memiliki wilayah yurisdiksidi seluruh keuskupan. Prefek apostolik mencakup seluruh wilayah prefektur apostolik. Sedangkan vikaris episkopal meliputi wilayah tertentu dari suatu keuskupan. Untuk pastor paroki, wilayah yurisdiksinya adalah wilayah paroki yang digembalakannya. Konsekuensinya, jika mereka menjadi pelayan atau saksi utama untuk tata perayaan perkawinan di luar batas-batas wilayahnya, maka mereka harus mendapat delegasi dari otoritas gerejawi setempat, entah ordinaris wilayah ataupun pastor paroki setempat. Bila tanpa delegasi, perkawinan yang mereka teguhkan di luar wilayah yurisdiski mereka,tidaklah sah.

Bila ordinaris wilayah menjadi pelayan atau saksi utama dalam batas wilayahnya, dia tidak perlu mendapat delegasi dari pastor paroki di mana perkawinan itu dirayakan. Yang dibutuhkan di situ adalah izin dari pastor paroki setempat.  Jadi, bila uskup diosesan atau vikaris jenderal menjadi pelayan utama dalam tata perayaan perkawinan di suatu paroki di wilayah keuskupan, mereka tak perlu mendapat delegasi dari pastor paroki di mana perkawinan itu dirayakan. Demikian juga bila vikaris episkopal (Vikep) menjadi saksi utama dalam perayaan perkawinan di wilayah kevikepannya, tak perlu mendapat delegasi. Cukup izin dari pastor paroki. Namun, segala sesuatu mengenai administrasi dan persiapan perkawinan dilakukan oleh pastor paroki setempat. [P. Blasius S. Yese, Pr]

[Sumber bacaan: Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Canonici)1983, Edisi Resmi Bahasa Indonesia diterbitkan oleh KWI, 2015; John P. Beal, James A. Coriden, Thomas J. Green (ed.), New Commentary on the Code of Canon Law, New York: Paulist Press, 2000. Study Edition; Luigi Chiappetta, Il Codice di Diritto Canonico: Commento Giuridico e Pastorale 2 Libri III, IV, V, VII, Bologna: Edizione Dehoniane, 2011)

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget