Ajaran Gereja Katolik Tentang Perkawinan

Pendahuluan
Keluarga merupakan Gereja kecil. Sering kali kita mendengar ungkapan tersebut, namun tak jarang kita menyaksikan keluarga Katolik yang bermasalah bahkan berujung pada perpecahan. Mereka tidak menyadari makna sebuah keluarga sebagai Ecclesia Domestica (Gereja Rumah Tangga) di mana keluarga merupakan persekutuan pribadi-pribadi, satu tanda dan citra persekutuan Bapa, Putra, dan Roh kudus. Melalui kelahiran dan pendidikan anak anak kita, tercerminlah kembali karya penciptaan Bapa. Keluarga dipanggil untuk ambil bagian dalam doa dan kurban Kristus.
Keluarga Katolik adalah tempat pendidikan iman, di mana anak-anak kita pertama kali mengenal iman, mengenal Allah, dan mengenal  doa. Kesadaran ini seharusnya melekat pada pribadi masing-masing anggota keluarga. Dalam tulisan ini, penulis hendak mengulas tentang ajaran Gereja Katolik tentang Perkawinan.

1.   Arti, Hakikat, Tujuan, dan Sifat-sifat Perkawinan
1.1 Arti dan hakikat perkawinan secara umum
Tujuan hidup manusia adalah mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan. Untuk mencapainya, manusia menempuh beberapa cara: pertama, dengan hidup selibat-membiara (sebagai biarawan-biarawati); kedua, memenuhi panggilan hidup sebagai awam yang menikah atau awam yang hidup selibat secara sukarela. Sebagai pilihan hidup, perkawinan dilindungi oleh hukum.
Dalam arti umum, perkawinan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang sama, yaitu saling membahagiakan. Tujuan mereka membentuk persekutuan hidup ini adalah untuk mencapai kebahagiaan dan melanjutkan keturunan. Oleh karena itu, dalam agama atau kultur tertentu, apabila perkawinan tidak dapat mendatangkan keturunan, seorang suami dapat mengambil wanita lain dan menjadikan dia sebagai istri agar dapat memberi keturunan.

1.2 Tujuan dan sifat dasar perkawinan
1. Saling membahagiakan dan mencapai kesejahteraan suami-istri (segi kesatuan). Kedua pihak memiliki tanggung jawab dan memberi kontribusi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan suami-istri.
2. Terarah pada keturunan (segi prokreasi). Kesatuan sebagai pasangan sumai-istri (pasutri) dianugerahi rahmat kesuburan untuk memperoleh buah cinta berupa keturunan manusia-manusia baru yang akan menjadi mahkota perkawinan. Anak yang dipercayakan Tuhan harus dicintai, dirawat, dipelihara, dilindungi, dididik secara Katolik. Ini semua merupakan tugas dan kewajiban pasutri yang secara kodrati keluar dari hakikat perkawinan.
3. Menghindari perzinahan dan penyimpangan seksual. Perkawinan dimaksudkan juga sebagai sarana mengekspresikan cinta kasih dan hasrat seksual kodrati manusia. Dengan perkawinan, dapat dicegah kedosaan karena perzinaan atau penyimpangan hidup seksual. Dengan perkawinan, setiap manusia diarahkan pada pasangan sah yang dipilih dan dicintai dengan bebas sebagai teman hidup. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Paulus, ”Tetapi, kalau mereka tidak dapat menguasai diri, baiklah mereka kawin. Sebab lebih baik kawin daripada hangus karena nafsu” (1Kor 7:9).

Catatan penting: Dalam Perkawinan Katolik, kemandulan, baik salah satu maupun kedua pasangan, hal itu tidak membatalkan perkawinan, dan tidak menjadi alasan untuk meninggalkan pasangan kemudian mencari wanita lain sebagai penggantinya. Anak adalah buah kasih dan rahmat Allah melulu.

2. Kekhasan Perkawinan Katolik
Dalam Kitab Hukum Kanonik 1983, Kanon 1055, dapat dilihat pengertian dasar mengenai perkawinan Katolik. ”Dengan perjanjian, pria dan wanita membentuk kebersamaan seluruh hidup; dari sifat kodratinya, perjanjian itu terarah pada kesejahteraan suami-istri serta kelahiran anak; oleh Kristus Tuhan, perjanjian perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen.”
Cinta Kristus menjadi dasar perkawinan Katolik (bdk. Yoh 15:9-17; Ef 5:22-33). Yang menjadi dasar dalam membangun hidup berkeluarga adalah cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya. Suami-istri dipanggil untuk saling mencintai secara timbal balik, total dan menyeluruh, saling memberi dan menerima yang diungkapkan dalam persetubuhan. Persetubuhan dilakukan secara manusiawi dengan memperhatikan kondisi dan situasi pasangannya, penuh pengertian, dilakukan secara sukarela, tanpa ada paksaan. Persetubuhan bukan hanya menunjukkan kesatuan fisik biologis, tetapi juga kesatuan hati, kehendak, perasaan, dan visi, yakni mengusahakan kebahagaiaan dan kesejahteraan bersama. Dengan persetubuhan, sebuah perkawinan  disempurnakan.

3. Sifat-sifat perkawinan Katolik
1. Unitas, artinya kesatuan antara seorang pria dan seorang wanita menurut relasi cinta yang eksklusif. Dengan kata lain, tidak ada hubungan khusus di luar pasutri. Sifat unitas mengecualikan relasi di luar perkawinan, poligami, pria idaman lain (PIL), dan wanita idaman lain (WIL).
2. Indissolubilitas (tak terceraikan) artinya ikatan perkawinan hanya diputuskan oleh kematian salah satu pasangan atau keduanya. ”Apa yang sudah disatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia” (bdk. Mat 19:6; Mrk 10:9). Untuk itu, dituntut adanya kesetiaan dalam untung dan malang, dalam suka dan duka. Dalam hal inilah saling pengertian, pengampunan sangat dituntut.
3. Sakramental, artinya sakramentalitas perkawinan dimulai sejak terjadinya konsensus/perjanjian antara dua orang dibaptis yang melangsungkan perkawinan. Perkawinan disebut sakramental, artinya menjadi tanda kehadiran Allah yang menyelamatkan. Untuk itu, dari pasangan suami-istri dituntut adanya cinta yang utuh, total, radikal, tak terbagi sebagaimana cinta Yesus kepada Gereja-Nya (bdk. Ef 5:22-33).

4. Sakramentalitas Perkawinan
Sakramentalitas perkawinan hanya terjadi pada perkawinan orang-orang yang dibaptis (keduanya dibaptis). Kanon 1055 §1 dan §2 menyebutkan bahwa Kristus telah mengangkat perkawinan menjadi sakramen sehingga sifat perkawinan antara orang-orang yang telah dibaptis adalah sakramen. Kanon ini menandaskan adanya identitas antara perjanjian perkawinan orang-orang dibaptis dengan sakramen. Identifikasi ini membawa konsekuensi berikut:
Semua perkawinan sah yang diselenggarakan antara orang-orang yang dibaptis, dengan sendirinya merupakan sakramen (§2). Dalam hal ini, tidak dituntut maksud khusus dari mempelai untuk menerimanya sebagai sakramen. Artinya, perkawinan dua orang dibaptis non-Katolik, misalnya, Protestan, dianggap sebagai sakramen meskipun mereka tidak menganggapnya demikian.
Pelayan sakramen perkawinan adalah kedua mempelai yang berjanji. Pastor menjadi saksi dan peneguh janji kedua mempelai. Orang-orang yang dibaptis tidak bisa menikah dengan sah jika dengan maksud positif dan jelas mengecualikan sakramentalitas perkawinan. Perkawinan antara orang yang dibaptis, dengan sendirinya akan diangkat ke dalam martabat sakramen jika keduanya dipermandikan. Mereka tidak dituntut untuk mengadakan perjanjian nikah baru, namun dapat meminta berkat pastor. Perkawinan sakramental ini disempurnakan melalui persetubuhan yang dilakukan secara manusiawi. Dengan demikian, perkawinan disebut ratum, sacramentum et consummatum. Perkawinan demikian bersifat tidak dapat diceraikan secara absolut (indissolubilitas absolut).

5. Spiritualitas Perkawinan
Dalam membangun hidup berkeluarga, pasutri harus bersungguh-sungguh memberi kesaksian hidup, menjadi sakramen, tanda keselamatan dan menghadirkan Kerajaan Allah. Dalam keluarga diciptakan damai, sukacita, pengampunan, cinta kasih, kerelaan berkurban. ”Sakramen Perkawinan menyalurkan kepada pasangan-pasangan Kristen kemampuan serta kesanggupan untuk menghayati panggilan mereka sebagai awam dan karena itu, untuk mencari Kerajaan Allah dengan mengurusi hal-hal yang fana dan mengaturnya seturut kehendak Allah (Familiaris Consortio no. 47). Berkat sakramen perkawinan, suami-istri menunaikan kewajiban-kewajiban mereka sebagai suami-istri dalam keluarga, mereka diresapi oleh Roh Kristus yang memenuhi mereka dengan iman, harapan, dan cinta kasih. Demikianlah mereka semakin maju menuju kesempurnaan mereka sendiri dan saling menguduskan dan karena itu bersama-sama berperan serta demi kemuliaan Allah Bapa (lih. FC 56; GS 48).

6. Syarat-Syarat dan Halangan Perkawinan
6.1 Syarat-syarat perkawinan
Orang yang diperbolehkan oleh hukum untuk menikah. Setiap orang yang tidak dilarang oleh hukum dapat menikah (Kanon 1058). Menikah adalah hak asasi dan fundamental manusia. Hak ini meliputi juga hak untuk melangsungkan pernikahan dan memilih calon pasangan (partner) hidupnya secara bebas. Jadi, hanya orang yang bebas dan tidak dilarang oleh hukum saja yang dapat menikah dalam Gereja Katolik.
Kesepakatan perkawinan sebagai unsur esensial dan mutlak. ”Kesepakatan antara orang-orang yang menurut hukum mampu dan yang dinyatakan secara legitim, membuat perkawinan; kesepakatan itu tidak dapat diganti oleh kuasa manusiawi manapun” (Kanon 1057 §1). ”Kesepakatan ini menjadi syarat mutlak diadakannya suatu perkawinan yang sah. Kesepakatan perkawinan adalah perbuatan kemauan dengan mana pria dan wanita saling menyerahkan diri dan saling menerima untuk membentuk perkawinan dengan perjanjian yang tak dapat ditarik kembali” (Kanon 1057 §2).
Kesepakatan tersebut harus dibuat secara bebas, artinya tidak ada paksaan atau desakan dari luar dan atas kemauan sendiri, tidak ada paksaan dari pihak manapun (lih. kanon 1103). Kesepakatan ini dilakukan secara sadar, artinya tahu apa yang ia sepakati; perkawinan adalah suatu persekutuan tetap antara seorang pria dengan seorang wanita, terarah pada kelahiran anak, dengan suatu kerja sama seksual (lih. kanon 1096).
Kesepakatan nikah harus dinyatakan secara lisan, atau jika mereka tidak dapat berbicara, dinyatakan dengan isyarat-isyarat yang senilai. Dan, kedua mempelai harus hadir pada saat upacara pernikahan dilangsungkan (lih. kanon 1104). Dalam keadaan khusus, kesepakatan ini juga dapat didelegasikan kepada orang lain.

6.2 Halangan-halangan perkawinan
Halangan-halangan yang berkaitan dengan hukum Gereja dapat diberi dispensasi, sedangkan halangan yang berkaitan dengan hukum ilahi tidak dapat diberi dispensasi oleh Ordinaris Wilayah.
1. Halangan nikah dari hukum ilahi
Halangan nikah dikatakan berasal dari hukum ilahi jika halangan itu bersumber dari hukum kodrat yang dibuat dan diatur oleh Allah sendiri dalam tata ciptaan, khususnya dalam hakikat dan martabat manusia (hukum ilahi-kodrati), atau ditetapkan oleh Allah melalui pewahyuan (hukum ilahi positif). Meskipun halangan ini bersumber dari hukum ilahi, namun yang mendeklarasikan secara eksplisit dan memasukkannya ke dalam KHK adalah kuasa legislatif tertinggi Gereja (bdk. kanon 1075). Menurut doktrin umum, halangan ini adalah:
impotensi seksual yang bersifat tetap (kanon 1084)
ikatan perkawinan sebelumnya (kanon 1085)
hubungan darah dalam garis lurus, baik ke atas maupun ke bawah (kanon 1091 §1).
2. Halangan nikah dari hukum gerejawi
Halangan nikah dikatakan bersifat gerejawi karena diciptakan oleh otoritas Gereja. Gereja yang tampil di dunia ini dengan struktur dan ciri masyarakat yang kelihatan memiliki undang-undangnya sendiri yang dibuat oleh otoritas gerejawi yang berwenang untuk mencapai tujuan-tujuan khasnya secara lebih efektif, yakni menegakkan dan mempromosikan kesejahteraan umum komunitas gerejawi yang bersangkutan. Kesejahteraan umum ini harus sesuai dengan misi yang diterimanya sendiri dari Kristus, misi yang mengatasi dan melampaui kesejahteraan masing-masing anggota (kanon 114 §1). Selain kesejahteraan umum, hukum Gereja dibuat untuk membantu setiap orang mencapai keselamatan jiwanya karena keselamatan jiwa-jiwa adalah norma hukum tertinggi (kanon 1752).
Menurut Kitab Hukum Kanonik, halangan-halangan itu adalah:
Halangan umur (kanon 1083)
Halangan beda agama (kanon 1086)
Halangan tahbisan suci (kanon 1087)
Halangan kaul kemurnian yang bersifat publik dan kekal dalam tarekat religius (kanon 1088)
Halangan penculikan (kanon 1089)
Halangan kriminal (kanon 1090)
Halangan hubungan darah garis menyamping (kanon 1091 §2)
Halangan hubungan semenda (kanon 1092)
Halangan kelayakan publik (kanon 1093)
Halangan pertalian hukum (kanon 1094)

Pembedaan kedua jenis halangan ini membawa konsekuensi hukum yang sangat besar. Halangan-halangan yang bersifat ilahi mengikat semua orang, baik yang dibaptis maupun yang tidak dibaptis, sedangkan halangan yang bersumber dari hukum gerejawi mengikat mereka yang dibaptis dalam Gereja Katolik atau yang diterima di dalamnya (kanon 1059). Halangan yang bersumber dari hukum ilahi tidak bisa didispensasi, sedangkan dari hukum gerejawi dapat didispensasi oleh otoritas Gereja yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.

7. Panggilan Dasar Keluarga Katolik
7.1 Menyambut dan mencintai kehidupan
Berdasarkan kodratnya, perkawinan terarah pada kelahiran anak. Anak yang telah dikonsepsi harus dipelihara dan dirawat dengan penuh cinta sehingga anak yang merupakan mahkota perkawinan dan buah cinta sungguh dapat tumbuh menjadi manusia yang utuh. Melalui hal ini, suami-istri menjadi mitra Allah dalam menurunkan kehidupan baru.
Dalam konteks inilah keluarga menjadi tempat persemaian dan perlindungan hidup manusia. Di tengah situasi dunia yang ditandai oleh kultur kematian, keluarga kristiani dipanggil untuk menjadi pencinta, perawat, penjaga, dan pembela kehidupan, mulai dari konsepsi sampai pada kematian alamiah. Keluarga dipanggil untuk menjadi pewarta Injil kehidupan, siap menerima kehadiran manusia baru dalam kondisi apapun. Hal ini penting direnungkan sebab dalam masyarakat yang ditandai oleh kultur kematian, hidup manusia diukur dan dinilai berdasarkan kualitas dan prestasi, sementara hidup orang-orang yang menderita cacat bawaan, penderita sakit tak tersembuhkan, usia lanjut, dianggap hanya sebagai beban keluarga dan layak diakhiri. Maka, keluarga Katolik dipanggil untuk menjadi pendukung Injil kehidupan (Evangelium Vitae) dengan gerakan Pro Life.
Berkaitan dengan tugas dan misi keluarga untuk menjadi pembela kehidupan sejak dini, pasangan suami-istri dalam mengusahakan kesejahteraan hidup bersama harus tetap memperhatikan nilai-nilai moral sebagaimana diajarkan oleh Gereja selaku guru iman dan moral sejati. Dalam hal ini, segala macam paksaan dan intimidasi yang diarahkan kepada pasangan suami-istri Katolik untuk menggunakan alat-alat kontrasepsi artifisial, baik yang sifatnya kontra-konsepsi maupun yang bersifat abortif, dinilai melanggar kebebasan suara hati dan melanggar nilai-nilai moral.
Panggilan pada kebapaan dan keibuan yang bertanggung jawab menuntut pasangan suami-istri Katolik untuk mengikuti ajaran moral yang benar. Hal ini semakin relevan untuk dunia saat ini, tempat kita hidup dalam dunia yang ditandai oleh mentalitas hedonis sehingga seksualitas dan hubungan mesra suami-istri (persetubuhan) dipisahkan dari dimensi spiritual dan makna yang sesungguhnya, yakni sebagai ungkapan saling pemberian diri secara timbal balik. Dunia saat ini juga ditandai oleh adanya pemisahan antara, kebebasan dengan kebenaran dan tanggung jawab. Orang sekarang menuntut kebebasan mutlak: bebas untuk melakukan apa saja, bebas dari norma moral, dan bebas dari tanggung jawab. Hal ini sudah meresap dalam mentalitas sebagian besar orang, termasuk orang Katolik. Hubungan seksual semata-mata hanya dilakukan untuk mencari kenikmatan, tanpa memahami hakikat dan maknanya. Dalam situasi demikian, tidak jarang orang menganggap pasangan hidupnya tidak lebih hanya sebagai objek pemuas nafsu seksnya. Dengan demikian, manusia dijadikan sebagai objek dan tidak diperlakukan sebagai subjek yang bermartabat.

7.2 Menjadi pendidik utama dan pertama
Orangtua memiliki tugas dan tanggung jawab pertama dan utama dalam mendidik anak, dalam bidang keagamaan, kesusilaan, seksualitas, kemurnian, budaya, dan kemasyarakatan. Pendidikan meliputi dimensi kognitif (intelektual), afektif (emosi dan perasaan), etika (nilai-nilai moral), dan estetika (nilai-nilai keindahan).
Dalam rangka memenuhi tugas mendidik anak dalam bidang hidup keimanan, orangtua pertama-tama dituntut memiliki pengalaman iman yang baik, menampilkan perilaku hidup yang baik, sebab anak akan lebih mudah mencontoh apa yang diperbuat orangtua. Alangkah baiknya, setiap keluarga Katolik membiasakan diri untuk mengadakan doa bersama, membaca, dan merenungkan Sabda Tuhan bersama. Dengan demikian, keluarga menjadi Gereja mini. Keluarga menjadi kesatuan yang melambangkan kesatuan dari ketiga Pribadi Ilahi: Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Keluarga adalah Gereja kecil, tempat kesatuan bapak-ibu-anak-anak menjadi komunitas iman: ”Di mana ada dua atau tiga orang berkumpul dalam nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat 18:20). Di dalam keluargalah, seorang anak sungguh dapat mengenal dan mengalami Allah. Oleh karena itu, dalam keluarga kristiani, orangtua harus membiasakan diri mengadakan doa bersama, ikut dalam perayaan ekaristi, menerima sakramen tobat secara teratur, dan kegiatan rohani lainnya.
Untuk menjaga kekudusan keluarga Katolik, rahmat sakramen perkawinan memberikan kekuatan kepada pasangan suami-istri untuk saling menguduskan dan menyempurnakan. Di samping itu, pasangan suami-istri Katolik dalam hidup sehari-hari hendaknya menanamkan kesadaran dalam diri mereka dan dalam diri anak-anak untuk merindukan dan secara teratur menyambut Sakramen Pengampunan Dosa. Dengan demikian, kita tidak akan membiarkan kelemahan-kelemahan manusiawi menjadikan kita budak dosa, tetapi dengan kerendahan hati, mau mendekatkan diri kepada Allah Yang Maharahim. Kerahiman Allah ini mengatasi kedegilan dan ketidaksetiaan manusia pada perjanjian yang telah dibuat dengan Allah.
Dalam keluarga, seorang anak seharusnya juga mendapat pendidikan mengenai nilai-nilai moral. Orangtua mempunyai tugas sangat berat untuk membentuk anak-anak yang sungguh memiliki integritas moral. Untuk itu dalam keluaga, anak-anak dibiasakan belajar membuat keputusan sendiri dan bertanggung jawab atas segala perbuatannya. Hal ini tentunya dilakukan secara bertahap sesuai dengan perkembangan pemikiran dan pemahaman anak. Lowrence Kohlberg mengelompokkan tingkat-tingkat perkembangan moral anak antara lain: tingkat prakonvensional, tingkat konvensional, dan tingkat pasca konvensional. Berkaitan dengan pendidikan moral dan kesusilaan, orangtua harus menanamkan nilai-nilai luhur, penghormatan terhadap nilai-nilai kehidupan, penghargaan terhadap sesama manusia yang dimulai dalam lingkup keluarga.
Keluarga juga menjadi tempat pertama dan utama dalam pendidikan kesetiakawanan dan semangat sosial anak. Bagaimana orangtua menciptakan iklim yang kondusif yang memungkinkan anak dapat saling berbagi dengan sesamanya, mau memperhatikan kebutuhan orang lain, menumbuhkan semangat mau saling membantu dan melayani, semangat rela berkorban, dan mau saling menghargai.
Orangtua juga memiliki tugas dan tanggung jawab utama dan pertama dalam menyelengarakan pendidikan seksualitas, cinta, dan kemurnian. Pendidikan seksualitas tentunya harus diberikan secara bertahap dan proporsional. Sekarang, bukan zamannya lagi menganggap seks sebagai barang tabu. Pendidikan seksualitas ini sangat penting untuk membantu pertumbuhan anak. Bagaimana orangtua memberi penjelasan tentang perubahan-perubahan fisik dan psikologis yang dialami oleh putra-putrinya.

7.3 Terlibat dalam misi perwartaan
Keluarga Katolik juga mempunyai tugas untuk berpartisipasi dalam misi pewartaan Gereja yang diterima dari Yesus Kristus, yaitu misi kenabian, keimanan, dan rajawi, melalui penghayatan cinta kasih dalam seluruh perjalanan hidup mereka membangun keluarga yang dijiwai oleh semangat pelayanan, pengor¬banan, kesetiaan, pengabdian, membagikan kekayaan rohani yang telah mereka terima dalam Sakramen Perkawinan sebagai cerminan dari cinta Yesus Kristus kepada Gereja-Nya (FC 50).

7.4 Terlibat aktif dalam hidup bermasyarakat
Dalam bidang kemasyarakatan, otangtua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan kepada anak-anak dimensi sosial manusia. Anak dididik untuk memiliki jiwa dan semangat solider, setia kawan, semangat berkorban, dan sehati sejiwa dengan mereka yang berkekurangan. Pendidikan dimulai dalam keluar¬ga. Anak dididik dan dilatih untuk mau membagi apa yang dimiliki. Keluarga Katolik dipanggil untuk terlibat aktif dalam membangun persaudaraan sejati (koinonia) yang didasari cinta, keadilan, dan kebenaran.

8. Hak dan kewajiban suami-istri dan orangtua
Suami-istri memiliki kewajiban dan hak yang sarna mengenai hal-hal yang menyangkut persekutuan hidup pernikahan (Kanon 1135). Sebagai orangtua, mereka memiliki kewajiban besar, dengan sekuat tenaga mengusahakan pendidikan anak, baik fisik, sosial, kultural, moral, maupun religius (Kanon 1136).

Hak-hak Dasar Keluarga:
Keluarga sebagai sel dasar masyarakat dan menjadi prasyarat adanya masyarakat. Oleh karena itu, keluarga memiliki hak dasar untuk dilindungi keberadaannya oleh masyarakat/negara. Setiap keluarga memiliki hak untuk mengembangkan diri dan memajukan kesejahteraannya tanpa harus dihalangi oleh negara. Dalam hal-hal tertentu, keluarga memiliki hak pribadi.
Keluarga memiliki hak untuk hidup dan berkembang sebagai keluarga. Artinya setiap orang betapa pun miskinnya, berhak untuk membantu keluarga serta memiliki upaya-upaya yang memadai untuk menggunakannya.
Keluarga memiliki hak untuk melaksanakan tanggung jawabnya berkenaan dengan penyaluran kehidupan dan pendidikan anak-anak.
Keluarga memiliki hak untuk mendidik anak-anak sesuai dengan tradisi-tradisi keluarga sendiri, dengan nilai-nilai religius dan budayanya, dengan perlengkapan upaya-upaya serta lembaga-lembaga yang dibutuhkan.
Setiap keluarga yang miskin dan menderita memiliki hak untuk mendapat jaminan fisik, sosial, politik, dan ekonomi.
Di samping itu, orangtua juga berkewajiban memperhatikan dan menghormati martabat dan hak-hak anak. Sebenarnya sudah dengan sendirinya, martabat pribadi manusia dikenakan pada anak yang adalah manusia. Tetapi dalam kenyataan, sering kali martabat anak kurang diperhatikan, misalnya dalam sikap orangtua yang memperalat anak untuk tujuan, impian, dan obsesinya sendiri. Contohnya, memaksakan anak untuk berprestasi demi gengsi orangtua, sehingga anak merasa tertekan. Menghormati martabat anak dapat dikonkretkan dengan menghormati hak-hak asasi anak.

9. Tantangan Hidup Berkeluarga dan Solusinya
9.1 Tantangan
Tantangan dalam membangun keluarga pada zaman sekarang dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis tantangan, yakni: tantangan internal dan eksternal. Yang dimaksud dengan tantangan internal adalah apa yang berkaitan dengan pribadi-pribadi pasutri, yakni menyangkut kedewasaan pasangan, baik secara intelektual, psikologis, emosional, spiritual, maupun moral. Yang termasuk tantangan eksternal dapat berupa keadaan masyarakat dunia dan intervensi pihak ketiga: mertua, saudara, PIL, dan WIL. Konkretnya, tantangan tersebut berupa:
Mentalitas materialistis: kehausan dan kerinduan untuk menumpuk kekayaan, uang, mengukur segalanya dengan materi, bahkan anak pun dianggap sebagai investasi, bukan sebagai buah kasih sayang. Relasi antar pasutri pun terpengaruh. ”Ada uang abang kusayang, tidak ada uang abang kutendang!”
Hedonisme: menjadikan kenikmatan sebagai tujuan segalanya. Hubungan seksual pun hanya dipahami sebatas pemuas nafsu seks, menjadikan pasangan (suami istri) sebagai objek pemuas insting dan dorongan seksual.
Konsumerisme: keinginan untuk mengonsumsi dipicu oleh kecanggihan teknologi periklanan yang begitu persuasif. Hal ini menjadi faktor pemicu masalah dalam hubungan keluarga.
Utilitarianisme: menilai sesuatu hanya berdasarkan segi kegunaannya, bahayanya kalau memperlakukan istri-suami hanya karena kegunaan dan fungsi.
Individualisme: mementingkan kepentingan dan kesenangannya sendiri, tidak peduli orang lain, tidak ada kerelaan untuk mengalah dan menyisihkan kepentingannya sendiri, untuk mendahulukan kepentingan bersama. Akibatnya, setiap unsur dalam keluarga diabaikan.
Relativisme moral: tidak ada nilai yang dianut dan diterima secara universal, semuanya serba relative, mengarah pada sikap permisif, semua serba boleh.
Kesibukan mengejar karier. Tugas dan tanggung jawab utama dalam keluarga diabaikan, rumah hanya dijadikan losmen. Dalam hal ini, pandangan tradisional tentang tugas dan panggilan luhur yang dimiliki setiap wanita sebagai ibu dan istri, tetap relevan, tanpa mengecualikan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, sosial, dan keagamaan.
Kesibukan antara suami-istri membawa dampak negatif dalam kehidupan keluarga. Komunikasi antara pasutri renggang. Komunikasi antara orang tua-anak renggang sehingga anak berbuat sesuatu yang aneh-aneh di luar rumah, sekolah, lingkungan. Misalnya, anak menjadi pecandu narkoba.
Ketidaksetiaan - penyelewengan - perselingkuhan baik itu dilakukan oleh pihak suami maupun oleh pihak istri (PIL dan WIL). Bagaimana sikap Anda dihadapkan pada ketidaksetiaan dan pengkhianatan pasangan Anda?

9.2 Solusi
Dalam usaha memelihara hidup bersama dalam keluarga, lebih-lebih dalam situasi sulit, mereka dianjurkan terus-menerus membangun sikap saling mengampuni, bukan sebaliknya. Usaha pemulihan hidup bersama harus terus diperjuangkan terlebih untuk mengatasi bahaya perceraian dalam hidup perkawinan, kasus perpisa¬han dalam pernikahan (lih. kanon 1151-1153).

Penutup
Untuk membangun satu kebersamaan hidup yang saling membahagiakan, perlu diperhatikan adanya kejujuran dan keterbukaan satu sama lain, menciptakan komunikasi yang mendalam, komunikasi sampai ke tingkat perasaan, saling mempercayai, semangat berkorban, kesediaan untuk mendengarkan satu sarna lain, pengosongan diri (bdk. Flp 2:5-11), kerendahan hati, kesetiaan, saling mengam¬puni, saling melayani (lihat perbuatan simbolik Yesus mencuci kaki para rasul), saling meneguhkan, dan saling menjaga nama baik.
Diusahakan adanya correctio fraterna (saling. memberi masukan dalam suasana persaudaraan) antara suami-istri dan anak-anak, lalu ditutup doa bersama sebagai sarana untuk membina hubungan antar pribadi dalam keluarga (bdk. Mat 18:15-¬20). Segala macam persoalan yang menyangkut kebijakan suami-istri dan keluarga harus dibicarakan bersama. Ada perencanaan bersama dan risiko atau keberhasilan ditanggung bersama. [P. Alfonsus Very Ara, Pr]

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget