2025

 


Minggu Biasa XXXIII 16 November 2025

Percobaan dan Ketekunan


Maleakhi 4:1-2a

Mazmur 98:5.6.7.8.9

2 Tesalonika 3:7-12

Lukas 21:5-9

*************************

 

Tom, seorang dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, jatuh cinta dan menjalin hubungan asmara dengan Jeny, mahasiswi binaannya, yang dikenalnya sejak semester pertama. Jeny, gadis pilihan Tom, berbadan kurus dan berkulit hitam. Rambutnya ikal, namun sangat manis dan menawan di mata Tom. Selama empat tahun (delapan semester) lamanya, Tom mencoba mengenal dan menyelami kepribadian Jenny.

Janinan kasih di antara keduanya terbina apik dan harmonis. Bagi Tom, Jenny bukan lagi orang lain, melainkan bagian dari dirinya sendiri. Tidak ada yang lain di dalam pikiran dan hati Tom, kecuali berusaha sedapat mungkin untuk membahagiakan dan menenteramkan hati Jenny. Oleh karena itu, semua miliknya, dianggap milik Jenny dan secara berangsur dipindahkan ke rumah Jenny.

Ketika memasuki detik-detik terakhir perkuliahannya di Fakultas Kedokteran Universitas Atmajaya, Jeny mempertanyakan keseriusan Tom, sang Dosen, kekasih hati pilihannya mengenai jalinan kasih di antara mereka. Pasalnya, ada satu hal mendasar yang merintangi relasi kasih keduanya untuk memasuki bahtera perkawinan, yaitu soal keyakinan yang berbeda: Tom, Islam tulen; sedangkan Jeny Katolik tulen.

Dalam suatu pembicaraan, Tom bersitegas: Jeny harus mengikuti keyakinannya karena dialah yang menjadi nakoda dalam kehidupan keluarga. Jeny berdalih, “Itu tidak mungkin. Saya tidak akan pernah meninggalkan iman saya. Sejak kakek dan buyut, saya hanya mengenal seorang Yesus, sosok yang saya imani sebagai Penyelamat dan Penebus. Saya tidak pernah mengenal Muhammad dan ajarannya. Dan juga…saya bisa hidup tanpa kamu; jangan pernah berpikir bahwa kamulah segalanya dan satu-satunya jaminan hidup saya.”

Melihat ketegasan sikap si Jeny, Tom mulai gusar. Setelah berpikir sejenak, Tom berkata kepada si Jeny kalau diberikan kesempatan kepadanya untuk berpikir dan bermenung diri sebelum mengambil keputusan final. Seminggu kemudian, mereka berjumpah di tempat yang sudah dijanjikan. Saat itu sungguh dimanfaatkan Tom untuk mengetahui keputusan sang gadis pilihannya.

Dengan penuh keyakinan, Tom angkat bicara, “Jen, hari ini, kamu akan mengetahui kebulatan sikapku… keputusanku mengenai hubungan kita. Setelah mempertimbangkan secara matang, …sayan tegaskn, demi kamu…saya memutuskan untuk meninggalkan keyakinan saya dan mengikuti keyakinanmu.”

Mendengar pernyataan sikap sang dosen, pria pilihannya, Jeny diam, tak bergeming. Tom kebingungan. “Jen, mengapa kamu diam? Apa kamu gak senang kalau saya rela meninggalkan keyakinan dan iman saya hanya demi kamu? Atau, adakah sikap dan perkataan saya yang tidak berkenan dan melukai hatimu?

Setelah didesak dengan penuh kecengengan, Jeny angkat bicara, sementara Tom menanti dengan harap-cemas. “Tom, mulai hari ini tidak ada lagi jalinan kasih di antara kita.! Putus…!!!

Tom tidak percaya dan tidak menerima keputusan Jeny. Dalam sikap penuh kebingungan, Tom bertanya, “Jen, katakan! Apa salah dan dosa saya? Apakah ada lelaki lain yang hadir dalam kehidupanmu dan merusak jalinan kasih di antara kita?

Dengan penuh keyakinan, Jeny berkata, “Tom, Anda adalah seorang pria yang menawan, simpatik, penuh perhatian dan bertanggung-jawab. Saya bangga karena Anda hadir dalam hidup saya. Saya tidak pernah merasa kecewa. Namun, setelah mendengar keputusan Anda hari ini: rela dan begitu mudah meninggalkan keyakinan dan iman Anda, maka dengan tegas dan berani, saya berkata, sebaiknya hubungan di antara kita berakhir di sini. Pasalnya, Jika dengan mudah Anda mengkhianati dan meninggalkan hal yang paling inti dalam hidup Anda, yaitu keyakinan dan iman Anda..hubungan Anda dengan Sang Khalil, Asal Mula Kehidupan Anda, pasti dengan mudah Anda akan mengkhianati cinta suci saya dan akhirnya meninggalkan saya jika saya tidak secantik seperti saat ini.”

“Saya yakin, pertimbangan Anda sangat dangkal dan tidak dewasa. Anda putuskan demikian karena Anda takut kehilangan seorang gadis yang cantik, menawan dan mempunyai masa depan, bukan karena keberadaan diri saya sebagaimana saya ada sekarang, dengan segala kekuarangan dan keterbatasan saya. Yakinlah, jika kecantikan saya memudar, Anda dengan mudah mengkhianati dan meninggalkan saya.” Tom diam tak bergeming mendengar dalamnya pandangan Jeny soal iman dan relasi cinta.

***********************

Seperti si Tom, bukankah kita juga dengan mudah mengkhianati hal yang paling inti dalam kehidupan kita, yaitu iman kita, relasi kita dengan Sang Khalik ketika berhadapan dengan tawaran dan tuntutan duniawi yang menggiurkan, seperti kecantikan dan kegantengan, harta duniawi (duit), pangkat jabatan dan kehormatan? Bukankah seorang pejabat, hartawan, bendahara dan siapa saja akan melakukan tindakan yang koruptif, mencuri, saling menjatuhkan, bahkan membunuh daripada bertindak jujur dan adil: nilai-nilai iman yang dasariah jika berhadapan dengan duit dan harta duniawi? Bukanlah seorang gadis atau perjaka tampan akan memilih gadis atau perjaka tampan dengan meninggalkan hal yang paling inti dalam hidupnya, yaitu imannya karena takut kehilangan yang cantik dan yang tampan? Bukankah kaum berjubah juga rela meninggalkan hal yang paling inti dalam hidupnya, panggilannya jika berhadapan dengan tuntutan duniawi yang menggiurkan: duit dan perempuan? Tanpa disadari, dengan bertindak demikian, kita sudah mengkhianati inti iman kita, nilai terpenting dalam kehidupan kita.

Diakui bahwa saat ini, banyak orang yang mengkhianati dan meninggalkan imannya ketika ditantang dan diuji dengan pelbagai tawaran duniawi, tantangan alam, penyakit dan rekayasa manusia. Pengkhianatan terhadap inti iman ini terjadi karena lemah dan rapuhnya citarasa iman kita: gampang putus asa, lemah hati serta ketidakmampuan untuk menangkap sejuta rahasia Allah yang terkandung di balik semua peristiwa yang terjadi.

 

Melalui Injil suci-Nya hari ini, Yesus mengingatkan kita bahwa ketika iman kita ditantang dan diuji, entah oleh tantangan alam, penyakit, rekayasa manusia (cobaan, hinaan, cercaan) dan tawaran duniawi, sesungguhnya Allah ingin menguji kesabaran, kebesaran, kedalalaman dan kekokohan iman kita. Karena itu, kita dituntut untuk tidak gampang putus asa, tidak lemah hati, tabah, tegar dan tekun. Kita tidak boleh lari dari tantangan; bersikap terbuka dan berjiwa besar demi kebaikan dan keselamatan diri kita, sesama dan demi kemuliaan Allah.

Yesus menegaskan bahwa setiap tantangan dan bencana seharusnya menjadi momen penting bagi setiap kaum beriman untuk bersaksi dan mempersaksikan imannya kepada dunia.Yesus menghendaki agar kita tidak boleh lari dari setiap situasi yang penuh tantangan dan cobaan; kita dituntut untuk bertahan dan memberikan kesaksian iman kita akan nilai-nilai Kerajaan Allah.

 

o   Dalam situasi bencana dan kekerasan fisik, kita dituntut untuk memberikan kesaksian tentang kasih sayang dan keprihatinan.

o   Dalam suasana yang penuh dengan isu kejahatan, rekayasa, penipuan dan kebohongan, kita dituntut untuk memberikan kesaksian tentang kejujuran dan kebenaran.

o   Dalam suasana ketidakadilan, kesewenang-wenangan, koropsi, kolusi dan nepotisme, kita dituntut untuk memberikan kesaksian tentang kejujuran, keadilan dan kesetikawanan.

 

Setiap tantangan, cobaan, korban dan bencana merupakan bagian dari hidup para pengikut Kristus. Allah tidak akan pernah membebaskan kita dari pelbagai tantangan, cobaan dan derita. Nyatanya, manusia selalu berusaha menghindar dari setiap situasi  yang penuh tantangan dan cobaan. Yakinlah, tidak ada hidup tanpa tantangan, cobaan dan derita. Mungkin dalam sekejap, kita bisa menghindar dari situasi yang penuh tantangan, cobaan dan derita, namun tidak akan pernah luput dari tantangan, cobaan  dan derita itu.

Sebagai manusia beriman, kita harus memahami dan menerima arti misteri biji gandum. Tuhan mengatakan, “Biji gandum harus jatuh dan mati terkubur di dalam tanah untuk menghasilkan banyak buah”. Kita harus yakin dalam iman bahwa setiap penderitaan dan korban yang kita alami tidak akan pernah sia-sia.

Kerajaan Allah  terwujud melalui percobaan, penganiayaan dan aneka tantangan. Kenyataan ini terbukti di sepanjang perjalanan sejarah gereja. Orang-orang yang dianiaya akan memperoleh tanda bahwa Roh Allah hadir dalam hati dan perjuangan hidup mereka. Penderitaan, tantangan, bencana dan cobaan, bukanlah takdir dan kutukan yang ditimpahkan  Allah kepada kita, melainkan suatu misteri yang bersumber pada sengsara, wafat dan kebangkitan Kristus sendiri. Oleh karena itu, dalam situasi penuh bahaya, tantangan dan cobaan, kita tidak boleh panik. Gejala ini, bukan hanya menjadi tanda dari akhir zaman, melainkan sesuatu yang akan tetap terjadi disepanjang sejarah gereja. Yang terpenting untuk kita adalah ketekunan dalam menghadapi setiap cobaan sebab Tuhan sendiri yang menjadi jaminannya. Tuhan sendiri berkata, “Aku sendiri akan memberikan kata-kata hikmat sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah oleh lawanmu. Rambut di kepalamu pun tidak akan hilang sehelai pun. Kamu akan menyelamatkan nyawamu bila kamu bertekun.”

Kehadiran Yesus di tengah dunia merupakan bukti nyata bahwa Allah sungguh-sungguh  solider, setia-kawan dengan kita, manusia, ciptaan-Nya. Allah merasakan penderitaan yang kita alami akibat aneka tantangan, cobaan, penganiayaan, kesakitan, kecemasan, kesepian, kesunyian dan kematian. Sejak saat itu, setiap penderitaan yang kita alami menjadi jalan rahmat; dan Yesus menjadi rekan seperjalanan yang turut memanggul salib kehidupan kita.

Melalui kata-kata peneguhan-Nya ini, Yesus menegaskan kepada kita bahwa Allah sama sekali tidak melenyapkan dan membebaskan kita dari aneka tantangan, cobaan dan derita; justru sebaliknya, Allah mengajarkan kita untuk berani menghadapi setiap situasi yang penuh tantang, cobaan dan penderitaan dan Allah turut menanggungnya. Di sini kita melihat besarnya cinta Allah kepada manusia. Allah mau menunjukkan kepada manusia bahwa mencintai seseorang, bukan berarti melenyapkan penderitaannya akibat tantangan dan cobaan dunia, melainkan turut merasakan dan menanggungnya. Inilah yang dilakukan Allah kepada kita. Satu jawaban yang walaupun tidak logis di mata manusia, namun sangat membantu kita untuk menyikapi dan mengatasi penderitaan yang kita alami.

Berkenaan dengan itu, saya menegaskan bahwa agama Katolik tidak menciptakan salib, tidak merekayasa suatu tantangan dan cobaan untuk menguji kematangan dan kekokohan iman, tetapi berusaha menghubungkan salib, derita, tantangan dan cobaan dengan cinta sehingga semua penderitaan dan kesengsaraan akibat tantangan dan cobaan yang dialami mempunyai makna.

Ingatlah..... Ujian, tantangan, cobaan dan siksaan yang kita alami, bukanlah harga mati; bukanlah suatu hal yang dapat disiasati. Saat Allah memberikan cobaan melalui duka dan derita yang kita alami, sesungguhnya Allah menunda untuk memberikan kemuliaan kepada kita. Sekarang… tergantung, bagaimana kita menyikapi dan mengolah setiap tantangan, cobaan sehingga bermakna bagi kehidupan kita!

******************

Seorang anak mengeluh kepada ayahnya karena sulitnya hidup yang dijalaninya. Dia tidak tahu harus berbuat apa dan ingin menyerah saja. Dia lelah berjuang. Setiap saat, satu persoalan terpecahkan; namun persoalan lain muncul kembali.

Ayahnya, seorang juru masak, tersenyum dan membawa anak perempuannya itu ke dapur. Dia mengambil tiga buah panci; mengisinya masing-masing panci dengan air dan meletakannya pada kompor yang bernyala. Beberapa saat kemudian, air dalam panci-panci itu mendidih. Pada panji yang pertama, dia memasukan wortel; pada panci yang kedua dimasukannya sebutir telur dan pada panci yang ketiga dimasukannya beberapa kopi tumbuk. Dia membiarkan masing-masing panci itu mendidih.

Selama itu, keduanya dia seribu bahasa. Sang anak menggereget gigi, tidak sabar menunggu dan heran dengan apa yang dilakukan bapaknya. Dua puluh menit kemudian, sang ayah mematikan api. Dia menyiduk wortel dari dalam panci dan meletakannya pada sebuah piring. Kemudian, dia mengambil telur dan meletakannya pada piring yang sama. Kemudian, dia menyaring kopi dan dimasukan ke dalam mangkuk.

Dia menoleh kepada anaknya dan bertanya,”Apa yang kaulihat anakku”

Anak itu menjawab,”Wortel, telur dan kopi.” Sang ayah menuntun anaknya mendekat dan meminta anaknya untuk memegang wortel. Anak itu melakukan apa yang diminta dan mengatakan wortel itu terlalu lunak. Kemudian sang ayah meminta anaknya untuk memecahkan telur. Setelah telur itu dipecah dan dikupas, sang anak itu mengatakan bahwa telur rebus itu terasa keras. Kemudian sang ayah meminta anaknya untuk mencicipi kopi. Sang anak itu tersenyum saat mencicipi aroma kopi yang sedap itu.

“Apa maksud semuanya ini, ayah? Tanya sang anak. Sang ayah menjelaskan bahwa ketiga benda tadi mengalami hal yang sama, yaitu direbus dalam air yang mendidih. Namun, setelah direbus ketiganya berbeda bentuk dari bentuk awalnya. Wortel yang awalnya kuat dan keras…setelah direbus dalam air yang mendidih, berubah menjadi lunak dan lemah; telur yang awalnya mudah pecah, kini menjadi keras dan kokoh; sedangkan biji kopi tumbuk  berubah menjadi sangat unik…setelah direbus, biji kopi itu justru mengubah warna dan rasa air itu sendiri.

“Di manakah dirimu saat ditempah oleh kesulitan dan derita dalam hidup? Apa yang berubah dalam dirimu? Apakah kamu akan berubah menjadi lembek dan lunak, tak berdaya seperti wortel; ataukah semakin keras seperti telur atau berani mengubah kesulitan, duka dan derita menjadi sesuatu yang indah, nikmat dan membahagiakan? Tanya sang ayah kepada anaknya. Pertanyaan ini juga patut dilontarkan kepada kita!

 

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 




Pesta Pemberkatan Gereja Basilika Lateran

9 November 2025

“Rombak Bait Allah Ini…”

Yehezkiel 47:1-2.8.8.12

Mazmur 46:2.3.5.6.8-9

1 Korintus 3:9c-11.16-17

Yohanes 2:13-23

*******************************

 

Jeritan Menuntut Perubahan

Pada suatu hari, seorang Misionaris yang berkarya di benua Afrika berjalan bersama dengan seorang Beduin di padang gurun. Misionaris itu memperhatikan gerak-gerik orang Beduin yang di matanya sangat aneh dan ganjil. Dia sering membaringkan badanya di atas tanah dan mengarahkan telinganya ke atas pasir. Sang Misionaris itu heran lalu bertanya, Sesungguhnya apa yang Anda lakukan? Orang Beduin itu menjawab, “Hei sahabat, sesungguhnya saya mendengarkan ratapan padang gurun. Dia tidak ingin menjadi tanah yang kering dan tandus untuk selamanya; Dia ingin menjadi sebuah taman.

Jeritan dan tangisan padang gurun Afrika untuk berubah menjadi sebuah taman yang subur mengungkapkan jeritan dan tangisan hati manusia Afrika yang merindukan adanya perubahan atau perbaikan situasi hidup yang mereka alami. Namun jertitan dan tangisan manusia Afrika itu tidak membuahkan hasil apa-apa sebab manusia Afrika enggan berubah.

 

Rombak Bait Allah: Rombak dan Ubah Mental

Ketika berada di Yerusalem, tepatnya di bait Allah, Yesus yang gerang melihat ulah tingkah manusia Yahudi yang mencemarkan Bait Allah melontarklan satu pernyataan, “Rombaklah Bait Allah ini….” Pernyataan Yesus ini tidak dimaksudkan untuk menantang orang-orang Yahudi supaya membakar, menghancurkan dan memusnahkan bangunan yang telah disucikan demi kemuliaan Allah, melainkan untuk merombak dan mengubah cara hidup. Sebab bait Allah yang dimaksudkan Yesus, bukanlah bangunan fisik, melainkan Tubuh-Nya sendiri.

Melalui pernyataan-Nya, “Rombaklah Bait Allah Ini…” Yesus menandaskan bahwa kedatangan-Nya sungguh-sungguh mendatangkan perubahan dan pembaharuan. Satu sikap dan tindakan mendasar yang dilakukan Yesus adalah menggantikan institusi-institusi keagamaan yang pada saat itu dianggap perlu dan mutlak. Institusi-institusi keagamaan yang pada awalnya dimaksudkan untuk mempermudah manusia dalam berelasi dengan Allah, dalam perkembangannya, dimanfaatkan untuk meraih keuntungan material. Sekelompok pejabat keagamaan pada saat itu berusaha menjadikan Bait Allah sebagai pusat kehidupan, baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang kemasyarakatan untuk menjamin kedudukan dan martabat mereka. Bahkan, lebih dari itu, mereka justru semakin beraksi untuk menjadikan Bait Allah sebagai sarang penyamun, sarang penindasan dan sarang ketidakadilan.

Melihat kenyataan yang terjadi di Bait Allah, Yesus tidak segan-segan mengambil sikap tegas, karena Dia tidak rela kalau Rumah Allah dinajiskan dengan tindakan-tindakan yang tidak bertanggung-jawab. Yesus tidak menerima kalau orang Yahudi seenak perut mereka berlaku, bersikap dan bertindak  di hadapan Allah.  Karena itu, terdorong oleh kasih-Nya kepada Allah, Yesus berani bertindak; Dia berani membela kebenaran, berani mengoreksi praktek-praktek agama yang salah kaprah karena sulit untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk, yang diperbolehkan dan yang dilarang; Yesus tidak mentoleril kesalahan, kekeliruan dan kejahatan yang dilakukan manusia Yahudi; Yesus berani membela kepentingan Allah dan berusaha mengembalikan manusia ke jalan yang benar sesuai dengan kehendak Allah. Sikap yang kesannya profokatif ini terpaksa ditempu Yesus karena jalan halus, dengan sindiran rupanya tidak mempan.

Menyaksikan sepak terjal, tingkah laku, pandangan dan pemikiran Yesus yang melawan arus ini, manusia Yahudi serentak merasa heran, terdecak kagum, namun serentak takut dan merasa disakiti. Mereka merasa heran dan terdecak kagum, bukan sebagai salutan hati untuk memberikan penghargaan batin atas keberanian Yesus, melainkan terutama karena mereka merasa terwakili dalam diri tokoh itu.

Saat ini, kekacauan, kebrutalan, kesewenang-wenangan, penyalahgunaan kuasa dan wewenang, praktek ketidakadilan dan penindasan dalam bentuk apa pun membuat orang merasa muak, namun mereka tidak berani untuk menegakan kebenaran itu. Manusia saat ini lebih memikirkan keselamatan, keamaan, demi stabilitas dan sebagainya. Atau mungkin dengan alasan lain:  ah.. tidak ada gunanya, karena sudah membudaya…mulai dari mana? Kalau mulai dari kepala sampai ke ujung kaki melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme, mau mulai dari mana untuk memberantasnya?

Dan…kalau di tengah kegalauan, kebingungan, ketidakberdayaan, muncul tokoh yang berani tampil seperti Yesus; berani menantang arus, berani menyuarakan sesuatu yang bernada lain, yang terasa segar, menggelitik, maka dia akan dihargai oleh orang-orang yang selama ini ditindas dan ditekan, namun dicaci maki oleh oleh orang-orang yang merasa terusik oleh kritik dan kecaman yang dirasa tajam dan menusuk. Namun, demi perubahan, kita harus berani seperti Yesus: Berani menantang dan menyuarakan kebenaran, sekalipun terasa sakit dan ditantang.

 

Rombak Hidup Kita

Situasi kita saat ini ibarat situasi manusia Yahudi yang berada di dalam Bait Allah. Dalam situasi pergolakan; di tengah kekacauan hidup; banyak rakyat diombang-ambingkan oleh keadaan yang tidak menentu: suara hati yang menantang bermunculan demi perobahan hidup mereka. Sementara itu, bujukan pemerintah dan teladan para pemuka tetap plin-plan dan dengan kekuatan yang ada pada diri mereka seluruh rakyat dibuatnya tunduk, menyerah dan ikut-ikutan saja.

Ketika rakyat menjerit karena lapar dan miskin, para pemimpin wilayah ini bertindak mirip seperti yang dilakukan para pemimpin Yahudi. Kemelaratan karena lapar dan miskin yang dialami rakyat saat ini sesungguhnya menuntut perubahan sikap dari pemerintah: memperhatikan nasib rakyat; namun yang mereka lakukan justru memperkaya diri; berfoya-foya dengan alasan studi banding demi rakyat kecil. Ketika kehidupan kaum mudah dirajam oleh ganasnya narkoba, sesungguhnya pihak-pihak terkait menghentikan langkah drakula narkoba; Anehnya mereka justru menjadi dalang di dalamnya. Ketika kaum wanita menjerit dan berjuang dan membebaskan diri dari perlakuan yang kejam, keji dan tidak adil dari kaum pria, kaum pria justru menutup telinga-hatinya dan semakin meningkatkan aksinya dengan kawin paksa, perlakuan yang kasar, membiarkan kaum wanita bekerja, dan pelbagai tindakan yang tidak manusiawi lainnya. Ketika rakyat kecil yang berpendidikan ingin memperbaiki nasib hidupnya dengan menjadi pegawai negara ini, para pemimpin wilayah ini justru menarik kaki mereka dengan tuntutan administratif yang super tinggi (40 juta). Ketika para pedagang ingin mengubah nasibnya dengan mengembangkan sistem dagang kecil, pihak penguasa justru mengekang mereka dengan tuntutan ini dan itu, termasuk sumbangan yang tidak manusiawi.

 

Enggan Berubah

Sudah berkali-kali seorang nenek tua menegur cucunya agar rajin belajar, namun semuanya sia-sia belaka. Untuk itu, sang nenek melaporkan kepada pihak sekolah agar mereka memberikan perhatian khusus kepada cucunya.

Pada suatu hari, sang nenek bertanya kepada cucunya, Apakah kamu sudah mengalami perubahan di sekolahmu, cucuku? Cucu itu langsung menjawab, “Ya, nek. Pak guru mengatakan bahwa mereka tidak sanggup lagi mengajar saya.” Mendengar itu, sang nenek, lansung pingsan.

Jika tanah Padang Gurun Afrika menjerit, menangis dan menuntut adanya perubahan di tanah Afrika, terutama perubahan sikap-mental dan tindakan manusia Afrika yang mempermiskin, memperalat sesama dan segalanya demi kekayaan diri sendiri, demikian juga dengan padang kehidupan dan lahan hati kita. Tanah, tempat tinggal kita juga akan menjerit dan selalu menangis, jika kita enggan berubah seperti anak kecil dalam cerita ini.

 

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

 

 

Pengenangan Arwah Semua Orang Beriman, 2 November 2025

Hidup Dalam Kasih dan Dunia Kebangkitan

2 Makabe 12:43-46

Mazmur 143:1-2,5-6,7ab,8ab,10

1 Korintus 15:20-24a, 25-28

Yohanes 6:37-40

**************************

Dokter W.S. Mitchell adalah seorang ahli penyakit syaraf. Dia baru menyelesaikan pekerjaan yang melelahkan sepanjang hari di kantornya, di pinggiran Philadelphia. Dia pulang ke rumahnya dan langsung tertidur lelap. Di tengah malam, tiba-tiba, dia dibangunkan oleh bunyi ketukan di pintunya.

Dia bangun dan segera menuruni anak tangga. Dia membuka pintu rumahnya dan menemukan seorang gadis kecil berpakaian dekil dan sangat menderita berdiri di depan pintu. Gadis kecil ini memohon dengan sangat kepada Dr. Mistchell untuk datang bersamanya ke rumah ibunya yang sedang dalam keadaan sekarat. Walaupun salju turun dengan lebatnya, Dr. Mitchell mengikuti gadis kecil itu ke rumahnya.

Setibanya di rumah gadis kecil itu, Dr. Mitchell menemukan ibu dari gadis kecil itu terbaring lemah karena menderita sakit bhroncithis pneumonia yang akut. Dr. Mitchell merawat ibu ini. Dia memberikan obat kepadanya sambil memuji kebesaran cinta dari putrinya yang masih kecil.

Ibu dari gadis kecil itu memandang Dr. Michell penuh keheranan dan berkata, “Putri kecilku baru meninggal sebulan yang lalu. Sepatu dan pakaiannya masih ada di lemari pakaian itu”.

Dr. Mitchell terperanjat dan kebingungan. Dia bergerak menuju lemari pakaian dan membukanya. Dia menemukan pakaian yang dikenakan gadis kecil yang mengetuk pintu rumahnya dan menemani perjalanannya menuju rumah ibunya. Pakaiannya kering dan masih  hangat, padahal sudah dibasahi oleh butir-butir salju.

Dr. Mitchell bertanya dalam hatinya, “Siapakah sesungguhnya yang datang kepadanya sebagai utusan yang berbelas kasih itu? Apakah dia seorang Malaikat? Seorang ahli tidak mampu memberikan jawaban ilmiah. Namun, setelah Dr. Mitchell melihat foto gadis kecil itu di dinding kamar ibunya yang berbaring sakit, dia yakin bahwa jiwa gadis kecil itulah yang mengetuk dan menuntunnya untuk merawat ibunya.

*******************

Kisah gadis kecil ini memperlihatkan bahwa setelah tubuh kita mati, jiwa yang adalah diri manusia yang sesungguhnya tetap hidup. Jiwa itu hidup dan tinggal di tempat dia menjalani hidup di dunia ini. Jiwa orang mati hidup dan akan kembali kepada kehidupan yang sesungguhnya jika saatnya, Allah, Sang Pencipta datang dalam kemuliaan-Nya yang sesungguhnya.

Kisah gadis kecil ini menegaskan bahwa hidup kita tidak berujung di titik kematian sebab ada kebangkitan dan kehidupan sesudah sesudah kematian. Keyakinan akan kebangkitan (kehidupan sesudah kematian) dinyatakan oleh Yudas Makabe. Keyakinan iman ini menggerakan dia untuk mengumpulkan uang di tengah-tengah pasukan (dua ribu dirham perak), dikirim ke Yerusalem untuk mempersembahkan korban penghapusan dosa. Tindakan ini dilakukan karena Yudas Makabe memikirkan dan menaruh harapan akan kebangkitan, sebab jika dia tidak menaruh harapan akan kebangkitan, maka sia-sialah berdoa bagi demi keselamatan jiwa-jiwa. Yudas Makabe percaya akan adanya kebangkitan badan setelah kehidupan di bumi ini berakhir. Dia percaya bahwa hidup di akhirat merupakan kelanjutan dari kehidupan di bumi ini.

Dalam surat pertamanya kepada Jemaat di Korintus, Rasul Paulus menyatakan bahwa kebangkitan itu nyata dan menjadi dasar iman kita. Yesus Kristus, Dia yang Sulung, Yang Pertama, Yang Bangkit dari antara Orang-Orang Mati adalah Jaminan Kebangkitan, Keselamatan dan Kehidupan bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Inilah dasar iman kita: Jika Kristus Tidak Bangkit, maka Sia-sialah Iman Kita.

Dalam Dia, ada kebangkitan dan kehidupan kekal. Akan tetapi, kebangkitan dan kehidupan kekal dialami, bukan sesudah kematian fisik di bumi fana ini, melainkan saat ini, di saat kita membangun relasi kasih dengan Allah dalam diri-Nya dan relasi kasih dengan sesama. Relasi tersebut bukanlah relasi antara Tuan Besar dengan budaknya, melainkan relasi kasih persahabatan, pemberian diri yang total, yang melampaui semua pemahaman manusia.

Kebangkitan dan kehidupan kekal adalah hidup Allah dan hidup manusia dalam persekutuan kasih yang total. Kebangkitan dan kehidupan kekal diperoleh di saat kita setia melakukan pekerjaan kasih Allah kepada sesama dalam kehidupan saat ini: saling mencintai, saling melayani, saling berbagi, saling menerima kekurangan dan keterbatasan dan saling mengampuni.

Allah adalah kasih. Pekerjaan Allah adalah kasih dan berbuat baik kepada sesama karena kasih. Kasih dan tindakan kasih adalah kunci untuk memperoleh kebangkitan dan persekutuan kekal bersama Allah.

Kasih adalah hakekat Allah dan pribadi manusia yang diciptakan Allah. Kasih kepada Allah harus dinyatakan dalam tindakan kasih kepada sesama. Tindakan kasih itu harus dinyatakan kepada orang-orang yang tidak berdaya, orang-orang yang tidak bisa apa-apa, kecuali diberikan pertolongan. Orang-orang demikian tidak memiliki kemampuan apa pun, selain mengetuk, menggerakan dan membuka hati kita untuk bertindak.

Hati yang penuh kasih akan memandang sesama sebagai saudara. Hati yang penuh kasih adalah hati orang-orang yang lemah jantungnya, mudah terketuk dan tergerak melihat kemalangan sesama.

Hati Yesus adalah Sumber Kasih. Setiap saat, hati-Nya selalu tergerak oleh kasih dan belas kasih; Hati-Nya selalu terbuka untuk menerima siapa pun saja yang merindukan kasih. Dia mencintai dan melindungi semua orang yang merindukan kasih-Nya dan selalu tergerak untuk melakukan pekerjaan kasih-Nya. Namun, Dia tidak pernah memaksa kita untuk senantiasa tinggal bersama-Nya sebab Dia datang untuk memberikan keselamatan, bukan untuk memaksakan kebebasan manusia agar taat dan tunduk kepada-Nya.

Karena alasan inilah, maka di antara kita, manusia, ciptaan-Nya terpecah menjadi dua. Ada yang datang dan menerima Dia, Sang Kasih, namun ada juga yang menolak-Nya dengan hati penuh kebencian. Orang-orang yang menerima-Nya dan hidup dalam kasih-Nya akan memperoleh kebangkitan dan kehidupan kekal; sebaliknya, orang-orang yang menolak-Nya hingga di saat terakhir hidupnya akan mengalami kebinasaan.

 

Melalui Bacaan Sabda hari ini, kita bisa memetik tiga pesan yang menjadi dasar iman kita akan kebangkitan-kehidupan kekal:

Pertama, untuk memperoleh kebangkitan dan kehidupan kekal, pintunya hanya satu, yaitu percaya dengan sepenuh hati kepada, Yesus Kristus, Putra Allah. Dia, Yang Pertama, Yang Sulung, Yang Bangkit dari antara orang-orang mati adalah Jaminan Kebangkitan bagi semua orang yang percaya kepada-Nya. Dia adalah Jalan Tunggal menuju persekutuan kekal dengan Allah dan sesama.

Kedua, kehidupan di dunia, saat ini, merupakan dasar dan jaminan kehidupan di alam kebangkitan. Mutu hidup kita saat ini, yaitu mutu kasih dan perbuatan baik, dalam dan karena kasih, merupakan dasar bagi kehidupan kita di alam kebangkitan.

Namun mutu hidup yang berkenan dalam dunia kebangkitan, dunia Allah tidak terletak bagaimana kita menata hidup supaya aman dan tenteram, melainkan menjadikan hidup sebagai ajang untuk berbakti dan memberi. Mutu hidup kita tidak terletak pada perhitungan ekonomis, tetapi pada perbuatan kasih, yaitu pengabdian tanpa pamrih kepada Allah dan sesama.

Ingatlah: hidup yang dihayati dengan baik dan dinyatakan dalam sikap berbakti, memberi karena kasih, tidak akan pernah berhenti di titik kematian. “Siapa yang berusaha memelihara hidupnya, dia akan kehilangan hidupnya; dan barangsiapa mengorbankan hidupnya, dia tidak akan kehilangan hidupnya...tetapi menemukan hidupnya di saat kebangkitan.”

Ketiga, berinspirasikan pada tindakan Yudas Makabe, kita dituntut untuk tidak pernah berhenti berdoa bagi keselamatan jiwa dan raga semua orang yang sudah meninggal. Doa-doa kita adalah api cinta kita, Gereja yang Hidup, untuk memohonkan api cinta, kerahiman dan belas kasih Allah untuk membakar, membersihkan dan menguduskan jiwa dan raga semua orang yang sudah meninggal dari semua kesalahan dan dosa yang masih membelenggu mereka agar mereka tidak terhalang untuk memandang wajah Allah (bersatu dengan Allah).

Marilah kita mempersiapkan saat kematian kita dengan menata hidup yang bermutu di hadapan Allah dan sesama: saling mengasihi, saling melayani, saling mengabdi, memberi dan berbuat baik serta tidak pernah berhenti berdoa bagi keselamatan jiwa dan raga semua orang yang sudah meninggal...

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 


Minggu Biasa XXX, 26 Oktober 2025

Dia Hanya Mengatakan Kebenaran tentang Dirinya

Sirakh 35:12-14.16-18

Mazmur 24:1-2.3-4b.5-6

2 Timoteus 4:6-8.16-18

Lukas 18,9-14

***************************

 

Pada suatu ketika, anak-anak katak bermain di sisi sebuah kolam. Mereka berlompat-lompat riang di sekitar bunga-bunga yang tumbuh di seputar kolam itu.

Tidak beberapa lama berselang, kawanan ternak sapi merumput di sisi kolam yang sama. Seekor sapi besar bergerak menuju kolam untuk meminum air. Kakinya yang besar masuk ke dalam lumpur, menginjak dan menewaskan puluhan anak katak.

Melihat kenyataan tragis situ, beberapa anak katak yang masih hidup berlari dan melaporkan peristiwa naas yang menimpah saudaranya itu kepada ibunya. Mendengar berita itu, tubuh ibunya gemetaran karena marah, “Binatang semacam apakah itu yang leluasa mamasuki wilayah kita dan membunuh anak-anak saya?

Anak katak itu menjelaskan, “Bu, binatang itu sangat besar”.

Ibunya dengan angkuh berkata, “Sebesar apa pun binatang itu, saya akan membuat diri saya lebih besar darinya! Dan saya akan membunuhnya!

Tanpa berpikir panjang, ibu katak itu mulai mengisi perutnya dengan udara. Dia menghirup udara sebanyak-banyaknya sehingga perut dan tubuhnya tampak membesar. Sambil menahat napasnya, ibu katak itu bertanya kepada anak-anaknya, “Apakah makhluk itu sebesar ini?

Anak-anaknya berkata, “Oh ibu, dia lebih besar lagi, sebesar gunung. Apabila ibu menghirup udara lebih banyak lagi, perut ibu akan meledak!

Tetapi, ibu katak itu tidak peduli dengan peringatan anak-anaknya, dia menutup matanya dan berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam perutnya. Akibatnya, rupanya mulai tampak mengerikan dan seketika itu juga perutnya meledak.

Suku bangsa katak berduka cita atas kematian ibu mereka. Melihat kenyataan itu, ibu katak yang lain menggelengkan kepala dan berkata, “Apa gunanya memasukan udara hingga perut meledak. Kalaupun dia bisa menjadi besar seperti sapi, musuhnya, ternyata yang ada di dalam perutnya hanyalah angin ambisi, angin, persaingan, angin kesombongan, angin kebohongan dan kemunafikan justru yang membawa maut bagi diri sendiri. Dengan memasukan angin-angin itu, dia tidak menerima diri bahwa dirinya kecil, oke dan hebat sehingga mampu melawan yang besar. Kenyataannya, kesombongan, kebohongan, kemunafikan dan ambisi justru merenggut nyawanya sendiri.”

*****************************

 

Satu hikmah berarti yang bisa dipetik dari kisah nyata ini adalah kenyataan diri kita sendiri yang merasa diri oke, hebat di hadapan siapa pun, termasuk di hadapan Allah, apabila diracuni oleh ambisi, kesombongan, keangkuhan dan tipu daya. Patut diakui bahwa kita semua diciptakan untuk oke, sehingga tidak pernah merasa krasan dengan ketidak-oke-annya. Reaksi yang muncul kala merasa dirinya tidak berada dalam keadaan oke adalah mengubah keadaan diri menjadi: Saya Oke dan Anda Tidak. Manusia berdalih sampai pada keputusan untuk memutar sebuah sakelar mental untuk meyakinkan bahwa dirinya berada dalam status oke. Dengan berbuat demikian, seorang manusia terpaksa menempatkan sesama dalam keadaan tidak oke. Akibatnya, seluruh hidup manusia diwarnai oleh permusuhan demi mempertahankan harga dirinya sehingga tetap berada dalam situasi oke. Dengan mengembangkan mental-sikap, Saya Oke, Anda Tidak, manusia menjadi egois, angkuh, meninggikan diri dan menganggap remeh dan rendah orang lain. Akibatnya, manusia terus bersaing dan berupaya semampu mungkin untuk mencapai rasa okenya sendiri dengan mengambil sikap yang sangat radikal: saling meniadakan; membunuh.

 

o   Kalau saya tidak oke, Anda juga tidak oke…segala-galanya menjadi tidak oke. Kalau yang satu punya mobil Mercedes, saya harus double Mercedes.

o   Kalau yang satu pakai parfum dari Paris, saya pakai parfum…?

 

Sikap radikal ini menghancurkan hubungan antar pribadi dalam kehidupan manusia sendiri. Tingginya rasa ego manusia menyebabkan manusia tidak mau menyesuaikan dirinya dengan situasi, bahkan mendorongnya untuk menghancurkan sesamanya.

Cerita mengenai orang Farisi dan Pemungut Cukai merupakan cerminan kehidupan kita sendiri. Orang Farisi berdiri di hadapan Allah sambil memuji, mengakui dan membenarkan dirinya di hadapan Allah: Saya tidak seperti Pemungut Cukai itu: Saya Oke, Dia Tidak Oke. Orang Farisi berhubungan dengan Allah ibarat orangtua berhubungan dengan anaknya. Orang Farisi mengatakan kepada Allah segala sesuatu yang baik tentang dirinya: berpuasa, memberikan derma, berdoa dan lainnya. Orang, dalam nada tertentu, hampir menuntut Allah untuk memuji dirinya. Dengan memperbandingkan dirinya dengan Pemungut Cukai, orang Farisi mengakui, “Saya Oke, Pemungut Cukai Tidak.” Dengan ini, orang Farisi menunjukkan dirinya sebagai seorang anak manusia yang sungguh saleh.

Sedangkan Pemungut Cukai sangat lain penampilannya. Dia berdiri di hadapan Allah dengan perasaan malu. Dia hanya mengatakan kebenaran tentang dirinya sendiri. Saya  tahu bahwa saya adalah seorang pendosa. Saya Tidak Oke. Pemungut Cukai berdiri di hadapan Allah ibarat seorang anak berhadapan dengan orangtuanya. Dengan rendah hati dia mengakui bahwa diatelah berbuat dosa, melakukan tindakan penyelewengan  terhadap tugas dan karyanya sebagai seorang pegawai kecil pemerintah, seorang pemungut pajak. Dia jujur terhadap dirinya sendiri, karena percaya seutuhnya akan cinta dan belaskasih Allah.

Seandainya Yesus hadir dan bertanya kepada kita, “siapakah dalam pandangan kita yang kembali ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah? Barangkali, ada yang denga spontan menjwab, “orang Farisi”. Dengan nada lantang, Yesus akan menjawab, “Anda keliru!. Pemungut Cukai adalah orang yang kembali ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah. Kita tentu  protes, bagaimana itu mungkin?Yesus akan memberikan jawaban yang meyakinkan, “Setiap orang yang meninggikan diri akan direndahkan, akan tetapi setiap orang yang merendahkan dirinya akan ditinggikan.”

Kita tentu bertanya, “Salahkah kita berterim kasih kepada Allah karena kita sudah berbuat baik? Apakah yang salah dalam doa orang Farisi? Ada dua hal yng perlu dicatat:

Pertama: orang Farisi berpura-pura memuji Allah karena kebajikannya. “Saya berterima kasih kepada Allah…Dia menyatakan dirinya di hadapan Allah bahwa dia adalah orang hebat; dia meninggikan dirinya di hadapan Allah. Ini nyata dalam sikapnya yang membandingkan dirinya dengan Pemungut Cukai, “Saya tidak seperti orang lain itu…”

Kedua: Dengan membanding-bandingkan dirinya dengan Pemungut Cukai, sesungguhnya orang Farisi itu sudah menghukum Pemungut Cukai itu sendiri. Inilah adalah cacat besar yang terungkap dalam doanya.

Kesombongan meracuni orang Farisi dan justru berakar pada inti pribadinya sendiri, yaitu hatinya sehingga menular dalam perkataan dan perbuatan baiknya. Hatinya sudah membengkak dan mengeras akibat penyakit kesombongan dan keangkuhannya.

Pemungut Cukai mengakui kebenaran dirinya dengan jujur dan rendah hati, “Tuhan Kasihanilah Aku. Aku tahu bahwa aku ini orang berdosa.” Pemungut Cukai sangt realistis, jujur terhadap dirinya sendiri, Tuhan dan sesamanya. Dia mengakui dan menerima diri apa adanya.

Belajar dari dua sikap-mental ini, kita diajak oleh penginjil untuk menumbuhkan sikap rendah hati. Sikap ini menjadi lahan subur untuk menumbuhkan benih-benih kebajikan dalam diri kita. Tanpa sikap rendah hati, ambisi, kesombongan dan keangkuhan akan senantiasa menyusup masuk ke dalam diri kita yang saleh sehingga bertumbuh menjadi penyakit kesombongan rohani: menganggap diri Oke, bersih dan selalu membandingkan diri dengan orang lain: Saya bersih, Anda kotor, dalam diri Anda sudah ada cacat, bekas luka; Saya terang, Anda Gelap. Dengan menguatnya sikap ini, maka tidak jarang kita selalu bertaru dan bersaing, saling memotong jalan, saling memangkas kesempatan, saling menghalangi, saling menarik kaki sehingga mereka tidak pernah keluar dari situasi keterbelakangan… tetap terbelenggu dalam kemiskinan, kebododhan dan kemelaratan. Mana mungkin kita berkembang apabila senantiasa menarik kaki sesama yang lain, hanya supaya dirinya yang maju; menjadi manusia nomor satu, lebih oke dari yang lain?

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget