2025

 

 



 

Minggu Biasa XXVIII, 12 Oktober 2025

Orang Asing mampu Menangkap Misteri Allah

dalam Diri Yesus


2 Raja 5:14-17

Mazmur 98:1.2-3b.3c;4

2 Tomoteus 2:8-13

Lukas 17,11-17


 

Adalah Brigid, seorang Nyonya mudah berkebangsaan Irlandia. Dia merasa hidupnya tidak bermakna; dia merana, merasa hampa karena tidak pernah menemukan dan merasakan kehadiran Allah di sepanjang hidupnya. Padahal, dia memiliki seorang suami dan tiga orang anak yang sangat membanggakan serta hidup berkelimpahan harta, cinta dan kasih saying.

Pada suatu hari, dia berbagi cerita dengan sahabatnya, seorang nyoya tua yang kebetulan datang untuk mengujunginya. Setelah mendengar kisahnya, nyonya tua itu berkata, “Brigid, berdoalah kepada Allah. Panjatkan permohonan kepada-Nya agar Dia datang dan menjamahmu. Yakinlah, Dia akan menumpangkan tangan-Nya atas dirimu”.

Brigid menutup matanya dan berdoa. Beberapa saat kemudian, dia merasakan adanya sentuhan tangan nan lembut dan hangat di bahunya. Dia pun berkata kegirangan, “Allah sedang menyentuh bahu saya. Saya sungguh merasakan kehadiran-Nya saat ini”. Dia semakin memecamkan mata dan dalam keheningan dia merasakan sentuhan itu. Seketika itu juga, dia merasakan keanehan dan berkata, “Rasanya seperti tanganmu yang menyentuh pundak saya!

Nyonya tua itu berkata kepadanya, “Pasti .... ini adalah tangan saya. Menurutmu, apakah yang seharusnya dilakukan Allah untuk memenuhi impian dan harapanmu? Apakah engkau berpikir bahwa Allah akan mengulurkan sebuah tangan yang panjang dari Surga untuk menyentuhmu? Allah hanya memanfaatkan tangan sesama yang terdekat denganmu: tangan suamimu, tangan anak-anakmu dan tangan siapa pun saja yang berada bersamamu. Allah menggunakan tangan itu untuk menjamahmu”.

 

*****************************

 

Allah selalu hadir dan bertindak dengan cara-Nya dalam kehidupan kita. Allah hadir untuk menyelenggarakan kehidupan kita: Allah menghibur, meneguhkan, menguatkan, menyembuhkan, membahagiakan dan menyelamatkan kita. Namun, kita kerap buta untuk menangkap tanda kehadiran-Nya melalui sapaan sesama yang menguatkan, melalui tangan-tangan yang tulus untuk memberikan pertolongan; melalui tatapan hangat yang menyembuhkan serta melalui teguran, senyuman dan tawa yang menghibur serta melalui sentuhan tangan sesama sebagaimana sentuhan tangan ibu tua ke pundak Brigid.

********************************

Allah menyentuh Brigid melalui tangan seorang Nyonya Tua, sahabatnya. Namun, tangan yang terulur penuh kasih dan menyembuhkan kesepuluh orang kusta adalah tangan Allah sendiri, bukan tangan pengantara yang diutus-Nya. Sayangnya, terhadap uluran tangan kasih Allah yang menyembuhkan ini terdapat perbedaan sikap antara kesembilan orang kusta berkebangsaan Yahudi dan seorang kusta yang berkebangsaan asing/Samaria.

 

 

Orang Kusta Yahudi

Setelah disembuhkan oleh Yesus, kesembilan orang kusta yang berkebangsaan Yahudi bergerak menuju Yerusalem untuk menjumpai para imam dan memuliakan Allah di Bait Kudus sesuai dengan Hukum Yahudi. Sikap kesembilan orang kusta berkebangsaan Yahudi yang menyembah dan mengucapkan syukur kepada Allah atas kesembuhan mereka di Bait Kudus tidaklah salah. Namun, dengan bergerak ke Bait Kudus Allah di Yesusalem terungkap sikap dasar mereka yang sesungguhnya, seperti sikap kaum sebangsanya sendiri, yaitu mereka tidak menangkap dan tidak menerima misteri kehadiran Allah dalam diri Yesus.

 

o   Mereka percaya bahwa Yesus memiliki daya Ilahi yang mampu menyembuhkan mereka.

o   Mereka percaya bahwa Yesus hanyanya seorang nabi, utusan Allah, seperti para nabi lainnya.

o   Dan seperti orang Yahudi lainnya, mereka tidak percaya bahwa Yesus adalah Allah, Sang Mesias-Pembebas/Penyelamat yang mereka nantikan.

o   Mereka tidak percaya bahwa Yesus adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, hadir dan tinggal bersama manusia.

 

Apabila mereka menerima dan mengakui bahwa Allah hadir dalam diri Yesus, maka mereka tidak seharusnya bergerak menuju Yerusalem untuk memuliakan Allah, tetapi datang dan menjumpai Yesus, bersujud dan beryukur kepada-Nya sebab Bait Allah yang hidup dan Allah yang hidup adalah Yesus sendiri. Allah hadir dalam diri Yesus, Putera-Nya yang menjelma menjadi manusia demi keselamatan dan kebahagiaan manusia sendiri.

 

Orang Kusta Samaria

Berbeda dengan sikap kesembilan orang kusta Yahudi, orang kusta yang berasal dari Samaria, yaitu orang asing/kafir/orang yang tidak masuk dalam jalur keselamatan justru menangkap misteri kehadiran Allah dalam diri Yesus. Karena itu, dia tersungkur, bersujud-menyembah di hadapan Yesus, memuliakan Allah di hadapan-Nya serta bersyukur kepada-Nya. Sikap sujud sembah yang dilakukan orang kusta Samaria ini mengungkapkan kedalaman isi imannya kepada Yesus: dia memandang Yesus sebagai Pribadi Ilahi. Yesus adalah Allah yang hadir dan bertindak di dalam kehidupannya dan kehidupan semua umat manusia.

Kita pasti bertanya, “Mengapa justru orang kusta yang berkebangsaan Samaria: orang asing, orang kafir dan tidak beriman inilah yang mampu menangkap, memahami dan mengakui bahwa Yesus adalah utusan Allah dan Allah sendiri yang hidup di bumi fana ini?

 

Jawabannya jelas:

Orang kusta Samaria sangat yakin bahwa manusia biasa tidak akan pernah mampu menyembuhkan penyakit mematikan ini, selain Allah sendiri. Karena itu, dia percaya bahwa Yesus yang menyembuhkannya bukanlah manusia biasa, melainkan Allah. Alasan inilah yang menggerakan pikiran dan hatinya untuk datang bersujud menyembah serta mengucapkan syukur kepada Yesus. Dia bersyukur karena sentuhan kasih Yesus yang menyembuhkan. Akibatnya, setelah mengalami penyembuhan, imannya berkembang menjadi lebih mendalam daripada imannya sebelum disembuhkan. Berkat imannya, dia tidak hanya disembuhkan, tetapi juga diselamatkan. Inilah inti dari ajaran kisah ini: Manusia diselamatkan oleh iman dan perbuatannya, tanpa membedakan rasnya.

Sebaliknya, kesembilan orang kusta yang berkebangsaan Yahudi tidak mampu menangkap misteri Allah dalam diri Yesus dan tidak mengakui kehadiran-Nya sebagai Mesias, Sang Penyelamat karena mereka terkungkung dalam alam pikiran, keyakinan dan kepastian mereka sendiri. Mereka menjadi pribadi yang picik, kerdil karena lebih percaya pada kepastian-kepastian yang lahir dari isi otak mereka sendiri. Akibatnya, setelah mengalami penyembuhan, iman mereka justru tidak berkembang karena iman mereka terkungkung pemikiran, kepastian dan pelaksanaan hukum yang mereka yakini. Mereka yakin bahwa mereka akan mengalami keselamatan dengan kekuatan mereka sendiri, yaitu berkat kesetiaan mereka menjalankan hukum Allah, tanpa membiarkan Allah hidup dan bertindak di dalam diri mereka. Mereka tidak menerima bahwa sesungguhnya Allah hadir dalam diri Yesus. Akibatnya, mereka tidak bersyukur dan menyerahkan diri kepada-Nya.

Di mata Yesus, orang asing, orang kafir justru jauh lebih bernilai, lebih beriman daripada ratusan ribu orang Yahudi yang mengenal Firman Allah, namun tidak mampu menangkap dan menanggapi Firman Allah dalam kehidupan mereka.

Yesus lemah lembut dan murah hati kepada semua orang. Namun, Dia lebih lemah lembut dan murah hati kepada siapa pun saja yang mengakui kekuatan Allah di dalam diri-Nya. Beriman kepada-Nya tidak berkembang otomatis hanya dengan melihat mukjizat, tetapi terbuka untuk berjumpa, membuka hati dan pikiran serta menerima kehadiran-Nya sebagai Allah yang hidup. Apabila kita terkungkung pada pikiran, keyakinan dan kepastian-kepastian pribadi kita…kita tidak akan pernah mampu menangkap, memahami dan menerima kehadiran-Nya dalam kehidupan kita, terutama dalam cinta dan perhatian sesama. Kita tidak akan pernah yakin bahwa Wajah dan Tangan Allah Yang Mahakudus nyata dalam wajah dan tangan sesama yang selalu mengulurkan tangan cinta, perhatian dan kasih sayang kepada kita melalui teguran yang penuh cinta dan tindakan yang penuh kasih. Kita akan menjadi pribadi yang picik dan kerdil dalam kehidupan.

 

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

 





Minggu Biasa XXVII/C/2-05 Oktober 2025

Tuhan, Tambahkanlah Iman Kami”

Habakuk 1:2-3;2:2-4

Mazmur 95:1-2.6-7.8-9

2 Timoteus 1:6-8.13-14

Lukas 17:5-10

*****************************************

 

Pada suatu hari seorang anak asyik bermain di tepi pantai. Dia mengerahkan segala bakat dan kemampuannya untuk membuatkan rumah-rumahan kecil dari pasir di pesisir pantai itu. Ternyata, buah kerjanya menghasilkan sebuah rumah yang indah: ada kamar makan, kamar tidur, dapur, garasi dan menara.

Dalam sekejap, rumah-rumahan yang dibangunnya berdiri dan tampak begitu indah. Dia memandang penuh penuh rasa kagum atas karya tangan yang baru dibentuknya itu. Baginya, rumah yang baru dibangunnya itu adalah rumah impiannya di masa depan. Namun, tidak lama berselang, air pasang yang tampaknya mulai meninggi, dengan sekali hempasan ombak, meruntuhkan (meratakan) rumah-rumahan indah yang baru dibangunnya.

Dengan penuh kekesalan dan rasa sesak di dada yang tidak terlukiskan, anak itu menjerit sekuat-kuatnya sambil berlari (sekuat tenaga) menuju ke pangkuan ibunya yang sedang duduk dan asyik merajut renda. Dia tidak tahu, apa dan siapa yang harus dipersalahkan. Akhirnya, dalam pangkuan sang ibu, rasa sesak dan kecewa karena segala impian di masa depan, rasa kagum dan kebanggaannya akan hasil karya tangannya yang dihancurkan oleh hempasan ombak pantai mulai terobati; dia tidak ingin beranjak dan tidak menjauh dari ibunya karena di dalam diri ibunya, si bocah kecil menemukan segala-galanya.

Ombak lautan yang menghancurkan mainannya; impian dan kebanggaannya sebagai seorang anak, menghantarnya untuk menemukan dan merasakan kehangatan dalam dekapan dan pelukan kasih Sang Ibu. Kita tentu bertanya, “Bagaimanakah sikap si kecil jika ombak lautan tidak menghancurkan mainannya?”

********************

o   Pertama, apabila ombak lautan tidak menghancurkan mainannya, anak itu pasti dengan tegas menolak perintah ibunya karena tampaknya mainannya lebih menarik daripada ibunya sendiri.

o   Kedua, Anak itu terpaksa kembali dengan berat hati dan penuh kekesalan ke pangkuan ibunya, karena obak telah memecahkan segalanya dan tiada tempat sandaran lain yang bisa menenangkan situasi batinnya, selain ibunya sendiri.

*****************************************

Tidak jarang, kita pun bersikap seperti anak kecil: di saat keberhasilan diraih, segala impian dan harapan terpenuhi, kita sibuk dengan urusan kita; sibuk dengan diri kita sendiri; namun ketika kegagalan demi kegagalan silih berganti menindih di saat kita bergiat untuk meraih sesuatu demi hidup; ketika segala impian dan harapan agar jati diri kemanusiaan kita diakui dan dihargai; mendapatkan tempat dan peran yang layak dalam panggung kehidupan ini; ketika segala dambaan akan kebahagiaan, keharmonisan dan keakraban dihancurkan oleh ganasnya ombak-ombak tabiat dan sikap manusia yang semakin brengsek; menginjak-injak nilai kejujuran dengan praktek korupsi, kolusi, nepotisme; yang dengan cara licik manipulasi, marampok, memperkosa hak-hak yang seharusnya dihargai dan dijunjung tinggi, kita baru berlari dan menengadahkan wajah kepada Allah karena keyakinan iman bahwa Allah tidak akan menghancurkan dan akn memenuhi harapan kita!

Ketika pelbagai bentuk kejahatan: penganiayaan dan tindak kekerasan; pertikaian dan perbantahan menjadi pemandangan biasa yang menghancurkan kehidupan masyarakat Israel, Habakuk yang tidak tahan menyaksikan semua kenyataan yang memuakkan itu berlari kepada Allah dan memohon perhatian-Nya. Habakuk meminta perhatian Allah agar situasi yang sungguh menyebalkan itu bisa berubah. Kiranya Allah segera memulihkan keadaan hidup manusia agar suasana aman dan sejahtera bisa tercipta. Bagi Habakuk, tiada tempat lain baginya untuk mengaduh, selain kepada Allah yang diimaninya. Habakuk yakin, Allah tidak akan mengecewakan dia dan di Allah, Habakuk menemukan segalanya.

Allah pun menjawab teriakan keluhan Habakuk dengan janji, “Sesungguhnya orang yang membusungkan dada, tidak lurus hatinya, namun orang jujur akan hidup berkat imannya.” Melalui jawaban ini, terungkaplah dua sikap Allah.

Pertama, Allah akan memberikan sanksi dan hukuman kepada siapa saja yang mendalangi terciptanya huru-hara dan melanggar keteraturan hidup. Allah sendiri memberikan kepastian bahwa “Hal itu akan datang dan tidak bertangguh,” bagi orang-orang yang sombong; orang-orang suka menonjolkan diri untuk meraih perhatian sesama; orang-orang yang suka membusungkan dada kepada sesama. Di mata Allah, orang-orang yang masuk dalam kategori ini adalah orang-orang yang  suka akan kekacauan; provokator. Orang-orang seperti ini harus bertanggung-jawab atas tindakan mereka sebab Allah sama sekali tidak menghendaki kelaliman. Di dalam Kerajan-Nya, tidak ada tempat bagi siapa pun yang mencintai kekerasan, pertikaian dan penganiayaan, sebab dalam kerajaan-Nya hanya ada cinta, harmoni dan persaudaraan.

Kedua, Allah menjamin bahwa setiap orang yang dianiaya, dihina dan diperlakukan tidak adil  karena iman akan hidup dan meraih keselamatan karena iman mereka. Allah tidak akan pernah mengecewakan dan meninggalkan setiap orang yang beriman dan menaruh kepercayaan mendalam kepada-Nya. Dengan cara-Nya, Allah akan senantiasa membantu menunjukkan jalan kebenaran kepada kita supaya bisa keluar dari pelbagai kesulitan, asalkan, kita percaya dan menyerahkan diri kepada penyelenggaraan Ilahinya.

Jawaban yang diberikan Allah ini, serentak membesarkan hati Habakuk dan memberikan harapan baru akan terciptanya suasana kehidupan yang aman dan harmonis. Namun, suasana hidup yang aman dan harmonis sebagaimana yang dikehendaki Allah hanya mungkin jika manusia yang hidup sikap saling menghargai, saling mendengarkan dan saling mengerti. Jika sikap-sikap ini tidak dipupuk dan dibatinkan, maka pertikaian dan perbantahan, kekerasan dan penganiayaan akan melanda dan mewarnai kehidupan manusia Israel.

Situasi sulit yang dialami Habakuk, juga dialami Para Murid Yesus. Ketika berada dalam situasi sulit: ditolak dan dibenci; ketika mereka dituntut untuk mewartakan Sabda Allah di tengah situasi masyarakat yang tidak bersahabat, para murid Yesus dihantui perasaan bimbang dan meragukan kebaikan dan kesetiaan Allah untuk menepati janji-janji-Nya. Karena itu, mereka memohon kepada Yesus, “Tuhan, tambahkanlah iman kami”.

Hidup bersama Yesus menjadi saat berahmat bagi para Murid untuk menimbah banyak pengalaman berharga dari-Nya. Namun, karena kelemahan manusiawi, para murid sering tunduk kepada godaan-godaan duniawi. Ada saat di mana mereka merasa bangga menjadi Murid Yesus; seorang yang terkenal baik hati, jujur dan suka menolong. Sebagai murid Yesus, mereka juga ingin melakukan hal-hal yang luar biasa seperti dilakukan Yesus. Namun, iman mereka tidak terlalu kuat untuk melakukan semuanya itu sehingga mereka meminta kepada Yesus untuk menambahkan satu kekuatan, yaitu kekuatan iman di dalam diri mereka. Mereka meminta kekuatan iman, bukan untuk mempertontonkan kebolehan dan kehebatan mereka di mata orang banyak; atau ingin menyamai Yesus sebagai Guru, melainkan agar seperti Sang Guru ... mereka mampu mengatasi segala sesuatu yang mengganggu harmoni, rasa aman dan persaudaraan. Kita juga hendaknya tidak pernah berhenti memohon agar Allah menambahkan kekuatan iman ke dalam diri kita sehingga kita kuat dalam perjuangan melawan pelbagi bentuk kelaliman; menghadapi pelbagai situasi yang tidak enak dan kurang bersahabat di dalam kehidupan kita.

*************************

Mikhael adalah satu-satunya pemuda yang selamat dari sebuah kecelakaan kapal dan terdampar di sebuah pulau terpencil. Dalam kepanikan, keputusasaannya dia berdoa tanpa henti; dia memohon kepada Tuhan agar dia diselamatkan. Namun, berhari-hari penantiannya, tidak ada tanda-tanda bahwa pertolongan akan segera datang. Ia membangun sebuah pondok kecil dan berusaha untuk hidup dengan apa yang ada di sekitarnya.

          Pada suatu ketika, usai berburu, dia mendapatkan pondok yang baru dibangunnya sudah dilalap api. Kejadian itu membuatnya semakin terpukul. Diliputi kesedihan yang mendalam dan kekecewaan yang tiada duanya, dia memarahi Tuhan, “Tuhan, mengapa semuanya ini Kaulakukan kepadaku? Dia berteriak sekuat tenaga.

Keesokan harinya, dia dibangunkan oleh suara kapal yang datang mendekati pulau itu. Tampaknya, mereka adalah tim penyelamat yang sudah beroperasi berhari-hari mencari para korban kecelakaan kapal yang ditumpangi Mikhael. “Bagaimana kalian tahu, kalau saya berada di sini?

“Kami melihat ada sinyal, kepulan asap yang kaubuat.”

Sangat mudah bagi kita untuk kehilangan akal dalam menghadapi situasi sulit yang tak terkendali. Dalam situasi seperti itu begitu mudah juga kita menyalahkan Tuhan. Kita boleh panik, namun tidak pernah boleh kehilangan iman, karena seringkali terjadi, bahwa selalu ada rahmat yang tersamar dalam setiap peristiwa sulit yang kita hadapi. Mungkin, bila suatu hari pondok hati kita terbakar, itu sesungguhnya hanyalah sinyal asap yang memanggil kita kepada kemuliaan Tuhan.

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 



Minggu Biasa XXVI, 28 September 2025

Yang Kaya dan Yang Miskin

Amsal 6:1a.4-7

Mazmur 146: 7.8-9a.9b-10

1 Timoteus 6:11-16

Lukas 16:19-31

*****************************************

Adalah Bapak William, seorang pengusaha Katolik yang kaya dan sangat dermawan. Dia selalu membantu orang-orang yang berkekurangan dan membutuhkan. Kebiasaan tetap yang dilakukannya adalah “setiap hari Sabtu Sore, dia selalu menyalurkan bantuannya itu melalui paroki.” Namun dia tidak pernah mau identitasnya dikenal oleh siapa pun, termasuk orang Katolik sendiri sebagai seorang penderma.

Pada suatu hari, Pastor Paroki bertanya kepadanya, “Mengapa bapak tidak mau nama dan identitas bapak dikenal? Bapak William menjawab, “Pastor, kalau orang sudah mengetahui bahwa saya banyak memberikan bantuan, maka banyak orang akan berpura-pura mencari bantuan. Kehadiran mereka akan membuat saya tidak bisa lagi mempercayai orang-orang yang datang kepada saya.”

Jika demikian, maka bisa terjadi: “apabila yang datang adalah orang-orang yang sungguh-sungguh membutuhkan bantuan, saya tidak akan bisa menolong mereka karena curiga, jangan-jangan mereka adalah penipu.”

Lebih baik saya memberikan bantuan secara diam-diam, yaitu melalui paroki, agar orang-orang yang dibantu itu bersyukur kepada Allah sebagai Bapa yang Mahakaya, Mahamemberi, tanpa merasa berutang kepada saya. Saya sadar bahwa apa yang saya miliki, bukan milik saya, melainkan milik Allah. Karena itu, sepantasnya, mereka bersyukur kepada Allah, bukan kepada saya.”

**************************

Bapak William, seorang pengusaha kaya raya adalah pribadi yang dermawan. Namun dia tidak ingin dikenal sebagai orang kaya yang dermawan sebab baginya apa yang dimilikinya adalah milik Allah. Dia kaya raya, namun tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh kekayaannya. Dia menjadi pribadi yang dermawan. Hidupnya ibarat kapal:

o   Sebagaimana kapal membutuhkan air laut supaya bisa berjalan, demikian pun dia membutuhkan harta untuk bisa melanjutkan kehidupannya, namun tidak membiarkan dirinya dikuasai oleh harta yang dimilikinya. Sebagaimana kapal tidak menghendaki air masuk memenuhi badannya, supaya tidak tenggelam, demikian juga dia tidak menghendaki hartanya mengusai dirinya, supaya hidupnya bermakna dan perjalanan menuju Allah tidak terhalang.

o   Dia tidak ingin menjadi seperti semut ketika melihat madu: tidak suka menikmati manisnya madu dari pinggirnya, tetapi nyemplung ke dalam madu sehingga harus mengorbankan hidupnya. Dia hanya ingin menikmati hartanya demi hidup sebagai pengikut Kristus, yaitu hidup yang berbagi dan memberi.

*********************

Kedermawan hati bapak William yang kaya raya ini sangat kontras dengan kelobaan kaum Farisi ketika berhadapan dengan harta duniawi. Perumpamaan mengenai orang kaya dan Lazarus ini merupakan sebuah peringatan keras dari Yesus kepada kaum Farisi sebab mereka “hamba harta/uang”. Mereka suka “membenarkan diri di hadapan orang” bahwa harta yang mereka miliki adalah bukti kebenaran yang mereka lakukan dan Allah pun memberikan kekayaan kepada orang-orang benar. Usaha mereka untuk membenarkan diri ini dikritik oleh Yesus dalam perumpamaan ini.

Yesus tidak menyebut nama orang kaya itu. Yang benar, si kaya itu sungguh-sungguh menikmati kekayaannya. Dia tenggelam dalam kekayaannya. Dia berpakaian indah ibarat raja dan setiap hari bersukaria dalam kemewahan (Dia makan sekenyang-kenyangnya).

Berbeda dengan Lazarus. Dia hanyalah seorang pengemis karena kemiskinannya. Lazarus berarti Allah membantu. Sebagai seorang pengemis profesional, dia mengharapkan bantuan Allah. Tubuh si kaya ditutup dengan pakaian yang halus. Tubuh Lazarus ditutup dengan borok luka yang bernanah. Lazarus berbaring dekat pintu rumah si kaya: setiap pagi dia membaringkan dirinya di dekap pintu sebab dirinya sungguh-sungguh lumpuh. Dia tidak berdaya sehingga terpaksa membiarkan anjing menjilat boroknya. Si kaya menikmati makanannya dengan tenang dan bersih menurut hukum Yahudi. Lazarus, setiap kali makan, kena kenajisan sebab selalu dijilat oleh anjing.

Perumpamaan ini tidak mengatakan apakah si kaya itu kikir/pelitan atau dermawan. Diduga bahwa si kaya bukanlah orang kikir sebab dia memperkenankan Lazarus berbaring dekat pintu rumahnya. Namun dalam kenyataannya, Lazarus selalu kelaparan...dia tidak mampu mengisi perutnya dengan sisa makanan yang jatuh dari meja di kaya. Si kaya selalu berpesta, sedangkan Lazarus selalu menderita. Ada satu hal yang dilupakannya yang membawanya ke dasar api neraka, yaitu meniadakan kesempatan berahmat untuk berbuat baik, berdermawan. Keadaan ini justru berubah setelah di kaya dan Lazarus meninggal dunia.

Tokoh utama dalam perumpamaan ini adalah si kaya bukan Lazarus. Lazarus bungkam dalam kisah ini. Di pangkuan Abraham pun, dia tidak membuka mulutnya.

Unsur utama yang disoroti Yesus adalah si kaya bersama saudara-saudaranya. Keenam bersaudara ini tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan duniawi yang mereka miliki. Yesus memberikan peringatan keras terhadap keenam saudara ini: “Kalian tidak dapat mengabdi Allah dan mamon sekaligus! Berbahagialah kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan.”

Kata-kata ini bukanlah kecaman terhadap si kaya, melainkan kepada semua orang yang mempergunakan hartanya secara egois dan terhadap semua orang yang karena memiliki kekayaan tidak mampu melihat sesamanya yang menderita. Orang-orang seperti ini membuat diri mereka tumpul dalam iman sehingga tidak mampu menilai hidup di bumi ini dengan tepat. Akibat yang paling fatal adalah: mereka memisahkan diri dari Allah dan sesama.

Keadaan ini dialami Yesus sendiri dalam karya-Nya. Dia selalu berhadapan dengan kaum Farisi, kaum Saduki dan juga Ahli Taurat yang lebih mengagungkan kejayaan Israel secara duniawi dengan melupakan pentingnya pertobatan pribadi. Bahaya yang sama pasti akan dialami oleh kita, pengikut-Nya zaman ini: kita tidak perlu mengagungkan kejayaan dan kemuliaan martabat kita sebagai pengikut Yesus secara duniawi, tetapi sebaliknya bangga karena memiliki kepenuhan rohani: hati yang rela berbagi dan rela mengabdi serta tidak pernah melupakan atau mengabaikan kesempatan berahmat dalam karya kerasulan kita untuk berbuat baik.

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 




Minggu Biasa XXV/C/II, 

Cerdik dan Licik Menggunakan Uang

Amsal 8:4-7

Mazmur 113:1-2.4-6.7-8

1 Timoteus 2:1-8

Lukas 16:1-13



*********************

 

Pada suatu hari, seorang pimpro jatuh sakit dan diantar ke Rumah Sakit Elisabet Medan untuk berobat. Setelah hasil rotgen diperiksa secara teliti, dokter bertanya kepada pimpro ini, ”Apakah bapak adalah pimpro jembatan yang baru-baru ini ambruk ketika dilewati truk yang memuat kelapa sawit?

Dengan polos pimpro itu menjawab, “Benar, dokter. Bagaimana dokter biasa tahu? Padahal dokter ada di Medan, sedangkan saya ada di Tanah Jawa, Pematangsiantar?

Dokter menjawab, ”Dalam surat kabar yang saya baca dijelaskan bahwa jembatan yang bapak bangun itu tidak kokoh karena kurang batu penyangganya. Padahal dana yang dipersiapkan miliaran. Hasil rotgen dengan jelas menunjukkan bahwa batu-batu itu, saat ini ada di dalam tubuh bapak. Bapak menderita penyakit kencing batu. Jelas terlihat di sini … ada beberapa batu di ginjal bagian kiri dan hati bapak juga ternyata mengeras seperti batu, karena batu yang sesungguhnya digunakan untuk membangun tiang penyangga dimasukan dalam hati bapak.

******************

 

Pimpro dalam kisah ini sangat cerdik mengatur anggaran proyeknya. Dia lihai bertimbang dan berhitung. Dia cerdik dan licik melakukan banyak cara, menerapkan aneka strategi untuk meraup keuntungan pribadi. Kecerdikan dan kelicikannya adalah kecerdikan anak-anak dunia yang dikuasai sepenuhnya oleh keserakahan dan ketamakan. Karena nafsu serakah dan tamak sudah menutup hati dan hidupnya, maka dia menjadi “manusia yang berhati batu”, mengeras seperti batu karena batu yang sesungguhnya digunakan untuk menjadi tiang penyangga jembatan dimasukan ke dalam hatinya.

**************

Yesus sangat cemas jika “proses pembatuan hati” akibat ketamakan dan keserahakan juga menimpah kita, para pengikut-Nya. Karena itu, Yesus menasihati kita agar tidak tamak, tidak serakah, tidak menjadi budak uang, tetapi cerdik dan licik menghadapi dan menggunakan uang. Agar isi nasihat-Nya dimengerti oleh para pengikut-Nya, Yesus membentangkan kisah mengenai bendahara yang tidak jujur.

Bendahara itu sungguh tidak jujur. Dia cerdik bertimbang sebelum bertindak. Ironisnya, Yesus tidak mengeritik dan tidak mengutuk ketidakjujuran bendahara itu. Sikap Yesus ini mengundang kita untuk bertanya, “Mengapa Yesus justru memuji tindakan bendahara yang tidak jujur?

Agar kita mengerti alasan, mengapa Yesus memuji ketidakjujuran bendahara dalam kisah ini, kita harus mengerti apa artinya “tidak jujur” dan apa artinya “cerdik” yang ada dalam pikiran Yesus:

Ungkapan “tidak jujur” dalam diri bendahara yang licik itu searti dengan “tidak dapat dipercaya, tidak dapat diandalkan, tidak becus dalam menjalankan tugasnya”. Apakah bendahara itu sungguh-sungguh tidak jujur selama menjalankan tugasnya hingga diakhir masa tugasnya? Tidak diketahui.

Ungkapan “tidak jujur” bisa dimengerti dalam arti yang lebih lunak, yaitu “bertindak sebagaimana lazimnya dilakukan oleh semua manusia di dunia ini”. Seperti semua manusia, bendahara ini terbiasa memikirkan seluruh perjalanan dan perjuangan hidupnya dari sisi materi. Ketidakjujurannya dan kecerdikannya sungguh-sungguh duniawi dan merupakan ketidakjujuran dan kecerdikan anak-anak dunia ini. Anak-anak dunia sangat tanggap dan cekatan membaca situasi dunia, cerdik mencari akal agar tidak dirugikan atau tidak celaka.

Yesus berharap agar kecerdikan anak-anak dunia ini tidak diikuti oleh “anak-anak terang”. Apabila anak-anak dunia cekatan membaca situasi dunia, cerdik mencari akal dan strategi untuk mendatangkan keuntungan bagi dirinya, anak-anak terang, orang-orang yang memiliki Kerajaan Allah harus lebih tanggap, cerdik dan cekatan membaca situasi bahaya dalam terang iman, terutama bahaya yang mengancam iman dan jiwa kita. Anak-anak terang harus selalu waspada, agar iman, jiwa dan diri kita tidak terperangkap dalam ikatan yang mencelakakan, menghancurkan dan membinasakan.

Ini berarti, yang dipuji Yesus dalam kisah bendahara yang licik bukanlah kesalahan yang dilakukan bendahara itu, melainkan kepandaiannya, kecerdikan dan kelicikannya  dalam menghadapi bahaya. Bendahara dipuji karena dengan memotong uang, di satu pihak dia merugikan majikannya, namun dipihak lain, dia juga menguntungkan majikannya sebab nama majikannya akan menjadi harum karena dipuja-puji oleh hamba-hamba yang kebetulan utangnya diringankan.

Melalui kisah bendahara yang tidak jujur dan licik ini, Yesus memberikan pesan praktis/sederhana kepada kita, anak-anak terang, pengikut-Nya sendiri: Sebagai anak-anak terang, di satu pihak, kita seharusnya tidak mengikat persahabatan dengan mamon, yaitu uang (mamon serati dengan deposito yang dipercayakan dan diandalkan karena memberikan rasa aman). Namun, dipihak lain, kita membutuhkan uang untuk hidup agar hidup kita tetap berlanjut. Karena tuntuntan ini, maka Yesus berkata agar kita tetap mengikat persahabatan dengan menggunakan uang.

Namun, Yesus mengingatkan kita bahwa uang adalah kekuatan maha dasyat yang harus dihadapi dan disikapi oleh semua manusia, terutama oleh kita orang berjubah. Kita harus cerdik dan licik dalam menghadapi dan menggunakan uang. Artinya, kita harus bersikap luwes dan sedemikian luwes terhadap uang supaya uang tidak menjadi kekuatan/diktator yang memperbudak kita, tetapi justru menjadi sahabat.

Cara yang paling tepat dalam menghadapi kekuatan maha dasyat dari uang ini adalah: kita harus menjadi tuan yang mengatur dan menggunakan uang, bukan menjadi budak uang dan diatur sepenuhnya oleh uang. Uang dipergunakan untuk kehidupan pribadi dan kehidupan bersama dengan memberikan sedekah. Namun, sedekah bukanlah jaminan utama untuk mengalami surga. Sikap yang paling tepat terhadap uang adalah memiliki kecerdikan khusus dalam menggunakan uang sehingga uang bisa membawa keuntungan yang luar biasa bagi diri kita. Dengan bersikap cerdik terhadap uang, kita tidak membiarkan diri dikuasai oleh uang, tetapi justru dilindungi dari bahaya serakah/tamak yang membuat hati kita menjadi keras, tidak lunak terhadap sesama. Jika sikap kita demikian, maka orang yang beruang pun akan diterima dalam kemah abadi, di rumah Bapa.

 

o   Apabila kita cerdik menggunakan uang seperti yang dikendaki Yesus, kita tidak akan terpancing, tergoda dan tergoncang apabila surga itu direbut dan dimiliki orang-orang yang sederhana.

o   Apabila kita cerdik menggunakan uang, tidak tamak, tidak serakah, kita akan bersahabat dengan semua orang, bukan seperti kaum Farisi dan Anak Sulung yang menutup diri terhadap sesama, termasuk terhadap bapak dan adiknya karena mata dan hati mereka ditutup oleh keserakahannya terhadap harta.

 

Orang Farisi dan ahli Taurat adalah wakil pemuka Yahudi yang menjadi hamba dan budah uang. Mereka serakah dan tamak terhadap uang, namun licik menyembunyikan keserakahan dan ketamakan mereka di balik kedok kemurahan hati dengan memberikan sedekah. Namun, Allah tidak bisa ditipu, tidak bisa dibohongin. Allah sungguh-sungguh tahu motivasi mereka dan kita dalam melakukan sesuatu. Apabila motivasi kita busuk, maka kesalehan kita akan membusuk. Allah sangat membenci  hati yang busuk, walaupun ditutupi dengan kedok yang indah.

 

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 



Minggu Biasa XXIV 14 September 2025

"Pertobatan Perut"

Keluaran 32:7-11.13-14

Mazmur 51:3-4.12.13.17.19

1 Tomoteus 1:12-17

Lukas 15,1-32 (1-10)

*********************************

 

Pada suatu malam, dalam situasi batas yang dialami Maria, ibu dari dua orang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mengajak kedua anaknya untuk bersujud dan berdoa di hadapan patung Santa Maria. Di dalam ruangan berukuran 4 x 5 m, yang penuh sesak dengan peralatan masak dan makan, tempat buku dan meja kecil, Maria bersama kedua anaknya duduk bersila di atas lantai beralaskan plastik tebal yang serentak menjadi tempat tidur mereka.

Ketika mendengar ajakan sang ibu tercinta, Yo, salah seorang dari kedua anaknya tidak menjawab. Yo tenggelam dalam khayalannya untuk mengendarai sebuah mobil. Di tangannya ada sebuah mobil plastik usang. Sementara Eli, kakak Yo, sudah mengambil sikap doa di hadapan patung Bunda Maria. Ibunya mengambil mobil mainan di tangan Yo secara paksa dan mengajaknya bersujud di hadapan patung Bunda Maria.

Yo menolak dan berkata, “Saya nggak mau berdoa, Ma?

Sementara itu, Ely memandangnya dengan perasaan jengkel dan berkata, “Kalau Yo berdoa bersama Bunda Maria, Yo bisa minta apa saja kepada Tuhan Allah. Tuhan Allah akan memberikan apa yang kamu inginkan”.

Yo tidak mau kalah, “Yesus dan Bunda Maria tidak punya apa-apa. Lihatlah, tangan Yesus dan Bunda Maria dibuka semuanya. Satu-satunya apel yang ada di tangan Bunda Maria sudah jatuh di makan ular.”

Yo menunjuk ke arah patung Bunda Maria. Patung itu melukiskan posisi Bunda Maria sedang berdiri dengan tangan terbuka, sedangkan kakinya menginjak ular yang sedang memakan buah apel. Sedangkan patung Yesus yang berada di salib tidak punya apa-apa.

“Yo, Tuhan Yesus dan Bunda Maria memang tidak mempunyai apa-apa. Bunda Maria hanya membantu kita untuk menyampaikan doa kita kepada Tuhan Yesus, Putra-Nya dan Tuhan Yesus kepada Allah, Bapa-Nya dan Bapa kita semua. Kalau Yo berdoa, maka Bunda Maria akan berdoa bersama Yo. Mari, kita berdoa bersama Bunda Maria agar permohonan kita didengar oleh Yesus dan Allah Bapa, sebab Allah sendirilah pemilik segala sesuatu yang ada di dunia ini.” Kata Maria, ibu Yo.

Maria memandang Yo sejenak dan mengajaknya berdoa, “Sekarang, ayo kita berdoa. Nanti Ely yang pertama menyampaikan doa permohonan, kemudian giliranmu, Yo!

Mereka berdoa sekali Bapa Kami dan sepuluh kali Salam Maria. Ely menyampaikan permohonannya agar berhasil dalam ulangannya keesokan harinya. Setelah Ely selesai berdoa, Yo diam saja, walau dia tahu gilirannya untuk menyampaikan doa permohonan. Ibunya berbisik kepada Yo untuk menyampaikan doa permohonan. Dengan terpaksa, Yo mulai berdoa, “Bunda Maria, bapak sudah lama tidak pulang. Kalau dia pulang ke rumah, seringkali mabuk dan marah-marah. Saya dan mbak Ely sering dipukul. Saya memohon agar bapak tidak lagi mabuk-mabukan dan marah-marah pada ibu; tidak memukul saya dan mbak Ely lagi. Saya sayang pada bapak, tetapi mengapa bapak tidak sayang pada saya? Amin. Tanpa sadar, air mata membasih pipi Yo, Ely dan Maria, ibunya.

Sudah lama sang bapak terkena PHK. Dia sudah berusaha untuk melamar kerja, namun tetap tidak ada panggilan. Semua jalan terasa buntu. Dia sudah membuka usaha dengan cara berjualan, namun gagal karena terbentur modal. Dalam situasi frustrasi dan putus asa, dia suka mabuk-mabukan. Dia menjual apa saja untuk membeli minuman dan mabuk-mbukan bersama pengangguran lainnya.

Dia memaksa agar Maria, istrinya selalu memberikan kepadanya uang. Padahal Maria harus bekerja keras sebagai tukang cuci pakaian tetangga dan berjualan kue di pasar. Namun perolehan hasil kerjanya itu selalu diminta secara paksa oleh sang suami untuk membelikan minuman. Jika tidak diberi, dia akan marah. Salah satu sasaran kemarahan adalah kedua anaknya dengan cara memukul dan mencaci maki mereka. Jika terjadi demikian, maka Maria berusaha memberikan uang agar suaminya dengan segera meninggalkan rumah.

Maria tidak tahan melihat penderitaan kedua anaknya, namun dia tidak sanggup mengubah situasi hidup mereka. Dia tidak tahu bagaimana caranya agar semuanya berubah. Dia bekerja keras dari pagi hingga dini hari, namun penghasilan yang diperolehnya tetap tidak mencukupi. Selain itu, rongrongan dan sikap kasar sang suami pada kedua anaknya membuatnya semakin tertekan.

Akhirnya, satu-satunya jalan yang ditempu adalah memasrahkan semua beban kehidupannya kepada Tuhan. Dia yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkannya berjuang sendirian dalam menghadapi semua beban penderitaannya. Maria ingat akan kotbah seorang imam bahwa Yesus hadir di tengah-tengah murid-Nya disaat mereka diamuk badai yang dasyat. Maria membayangkan dirinya sedang berada dalam amukkan badai yang dasyat dan menakutkan. Dia berharap agar Tuhan datang untuk menenangkan badai itu. Dia berharap agar tangan Tuhan berkarya di dalam hidupnya.

Permohonan Yo, anaknya, membuat Maria tidak mampu menahan deraian air matanya. Dia menatap kedua anaknya dengan linangan air mata. Yo yang masih membutuhkan belaian kasih sayang sang ayah, sering mendapat gaprakan dan kata makian yang menyakitkan. Ini bukan kesalahan Yo, melainkan kesalahan sang suami yang tidak tahan menghadapi pahitnya kehidupan ini.

Yo terdiam dengan mata terpejam. Dia berharap agar Bunda Maria berdoa bersamanya. Semuanya terdiam dalam doanya masing-masing. Tiba-tiba pintu terbuka; seorang lelaki kumal terdiam di depan pintu. Pakaiannya kotor; wajahnya kuyu, dari mulutnya tersebar aroma minuman keras dan mabuk. Dia berdiri sembari berpegang pada tiang pintu. Dia tampaknya mabuk berat. Maria dan kedua anaknya ketakutan. Kehadiran Hans, sang suami menebarkan rasa takut yang mencekam. Sejenak, mereka saling memandang dalam ketakutan. Dengan langkah terhuyung, lelaki itu bergerak ke arah Yo yang sudah disekam rasa takut yang luar biasa. Tiba-tiba, lelaki itu berteriak keras dan menangis. Dipeluknya Yo dan Ely, dengan tangisan yang tiada duanya. Dia tidak peduli kalau suaranya didengar banyak orang. Dia tidak malu akan semuanya itu.

Saat itu, dia tidak sanggup berkata apa-apa, selain menangis. Dia ingin melepaskan beban kepedihan di dalam hatinya. Yo dan Eli ikut menangis, walau mereka tidak tahu persis, mengapa mereka menagis. Mereka hanyut dalam tangisan sang ayah.

Sesungguhnya, sang ayah sudah lama berdiri di depan pintu. Dia hanya bersandar di dinding rumah sebab tidak mampu menyeret tubuhnya ke dalam rumah akibat mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar, dia mendengar percakapan istri dan anaknya. Hatinya hancur ibarat disayat sembilu. Batinya perih ketika mendengar doa Yo, putri bungsungnya. Dia malu pada dirinya sendiri. Dia sadar bahwa selama ini dia sudah menyepelehkan cinta kedua anaknya dan membalas cinta istrinya dengan perlakuan kasar dan caci maki. Dia salah memperlakukan istri dan kedua anaknya. Doa Yo dalam situasi batas, ibarat pedang yang menghancurkan dirinya dan membuatnya sadar bahwa dia sudah menyiksa mereka dengan perlakuannya yang kasar selama ini.

 

o   Cinta keluarga: Maria, Ely dan Yo mengubah kehidupan sang suami dan ayah kecintaan mereka.

o   Cinta Sang Bapa mengubah hidup anak kecintaannya yang hilang dari rangkulan kasih-Nya.

o   Namun, akar perubahan Hans dan anak yang hilang lahir dari situasi derita: PHK, gagal usaha, tidak mampu menghidup keluarga, penderitaan dan perut yang lapar.

*******************

Kisah kembalinya Si Anak yang Hilang setelah mengalami penderitaan akibat kelaparan (bangkrut), akhirnya tersimpul dalam benak saya sebagai kisah seorang anak manusia yang mengalami pertobatan karena alasan perut. Dikatakan demikian,  karena keinginan si anak yang hilang untuk kembali ke rumah bapanya karena kesusahan hidup yang dialaminya: Kelaparan, kecelakaan, sakit dan penderitaan lainnya di daerah perantauan.

Dalam kenyataannya, tidak sedikit di antara kita yang mengalami peristiwa hidup seperti si anak yang hilang dalam kisah Injil ini. Kita berniat untuk kembali ke jalan yang benar (bertobat) karena alasan perut.

 

o   Sebagai tahap awal, pertobatan perut, bukanlah hal yang buruk sebab pengalaman ini: sakit, derita, lapar, dll, sangat diperlukan dalam hidup manusia, terutama untuk menempah sikap iman yang benar.

o   Namun, adalah sangat konyol, jika manusia menunggu saatnya…ketika mengalami penderitaan baru bertobat dan mencari Allah.

o   Jika demikian, rasa-rasanya, tidak ada seorang pun yang mau bertobat dan mencari Allah, sebab tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengangan-angankan penderitaan dan kelaparan dalam hidupnya; sebaliknya manusia selalu berusaha untuk menghindar dari kecelakaan dan penderitaan itu.

 

Di sinilah letak persoalan pertobatan perut: Manusia bertobat hanya untuk menghindarkan diri dari penderitaan, kelaparan, kesakitan dan kelaparan. “Jangan berbuat jahat kepada orang lain, supaya kamu tidak dijahati.”

 

o   Saat ini, kita memiliki agama dan iman, namun kehidupan kita dihantui oleh hukum karma. Banyak di antara kita yang beriman ini memahami arti dosa sebagai tindakan yang  melanggar hukum.

o   Allah dipandang sebagai majikan yang membuat hukum: mengatur perilaku manusia, mana yang disebut dosa dan mana yang tidak.

 

Baik anak bungsu maupun anak sulung dalam kisah mengenai anak yang hilang ini menganggap bapak sebagai majikan mereka.

 

o   Anak bungsu berniat kembali kepada bapaknya untuk menjadi orang upahan saja.

o   Anak sulung menganggap bapaknya sebagai majikan yang suka memerintah.

o   Untuk mendapat pengampunan dan memperoleh keselamatan, mereka harus menaati perintah dan menjauhi larangan. Inilah yang di namakan pertobatan perut.

 

Iman Katolik bukanlah iman hukum. Iman Katolik berlandaskan pada cinta dan belas kasih Allah serta keselamatan-Nya dalam diri Kristus bagi semua orang. Oleh karena itu, jika kita berbicara soal dosa, kriterianya adalah cinta dan belas kasih Allah serta karya keselamatan-Nya dalam Kristus yang merangkul semua orang, bukan hukum yang dibuat manusia. Untuk memahami hal ini, kita melihat, siapa yang berperan dalam kisah anak yang hilang.

Karena itu judul kisah ini seharusnya bukan Kisah Anak yang Hilang dan tokoh utamanya bukanlah Si Bungsu, melainkan Sang Bapa yang Penuh Cinta dan Belas Kasih. Bapa yang dilukiskan dalam kisah ini adalah Allah yang baik hati, penuh belas kasih dan pengampun. Yesus melukiskan figur Allah yang baik, berbelas kasih dan pengampun melalui tindakan kasih-Nya yang merangkul, mengenakan jubah yang indah, mengenakan cincin kebesaran-Nya dan mengadakan perjamuan besar dalam suatu pesta yang meriah. Perjamuan itu diadakan karena sang ayah bersukacita atas kembalinya si anak bungsu, walaupun bermodalkan pertobatan perut. Sang ayah ingin agar semua orang merayakan kegembiraan itu dalam suatu pesta yang meriah.

Namun tindakan sang ayah yang baik dan pengampun tidak diterima oleh si sulung. Dia tidak menerima kalau seorang pendosa diampuni; dia tidak senang kalau adiknya yang baru kembali dipestakan. Yang ada dalam ingatannya hanya kesalahan dan dosa adiknya.

Walaupun demikian, sang ayah yang baik, berbelas kasih dan pengampun keluar dan mengajaknya untuk ikut berpesta. Sekarang, keputusan berada di tangan si sulung: mau masuk ke dalam pesta atau tidak? Yesus tidak menutup perumpamaan ini dengan memperlihatkan keputusan si sulung. Di sinilah kita bisa memahami makna pertobatan bagi orang Kristen dewasa, yang harus meninggalkan pertobatan yang bersifat kekanak-kanakan.

Tobat bukan hanya soal memperbaiki diri, membangun kesucian pribadi. Tobat adalah soal bagaimana kita sadar, mendalami, mengalami dan menghidupi isi cinta dan belas kasih sang ayah yang menyediakan perjamuan bahagia bersama anak sulung dan anak bungsungnya karena yakin sepenuhnya bahwa tiada Bapa yang paling baik dan berbelas kasih, Bapak-Ku sendiri.

Inti kisah ini menegaskan bahwa yang menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan Bapa, “Bukan karena anak-Nya mengaku segala kesalahan dan dosanya dengan penuh rasa sesal dan tobat, melainkan karena anak-Nya sadar bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik, selain Bapanya sendiri. Di luar rumah Bapanya, dia tidak menemukan apapun yang lebih baik, yaitu sebuah wujud kebaikan yang tidak dibangun atas dasar kecemburuan yang menyelamatkan, seperti kebaikan yang berakar dalam sikap batin Bapanya sendiri”.

Kisah ini menunjukkan bahwa titik puncak dari pertobatan adalah: “Apakah kita, ibarat si sulung yang tidak bersedia dan mau masuk ke dalam pesta besar yang diselenggarakan Allah dan melibatkan kita semua karena tidak menyadari kedalaman cinta dan belas kasih Bapa atau seperi anak bungsu?

Pada tahapan ini sikap tobat yang seharusnya dibangun bukanlah menjalankan hukum gereja atau sepuluh perintah Allah. Banyak orang yang mengikuti secara ketat hukum Allah: tidak mencuri, tidak iri hati, tidak membunuh, rajin ke gereja. Namun manusia seperti ini bisa saja tidak berbuat apa-apa untuk membangun solidaritas Allah yang mau menjadi bapak semua orang. Kita bisa berkata kepada Yesus, ”Semua perintah Allah sudah kuturuti sejak masa kecilku.”

Sikap yang tobat yang seharusnya dibangun harus lahir dari kedalaman iman kita bahwa Bapa adalah Cinta. Dia rahim dan berbelas kasih. Kebahagiaan Bapa adalah kesatuan yang kekal-abadi dengan semua manusia yang berdosa; Dia tidak peduli seberapa dalam manusia mengkhianati-Nya; Dia tidak memperhitungkan seberapa lebar jurang yang diciptakan manusia untuk memutuskan jalinan relasi dengan-Nya. Kebaikan Bapa tampak dalam sikap batin-Nya yang tidak mengingat kesalahan manusia: rela mengampuni dan menerima kembali setiap anak-Nya yang hilang dari rangkulan kasih-Nya.

 

Ingatlah.....

Allah dalam diri Yesus yang kita imani adalah Allah yang tidak mengingat dan memperhitungkan segala salah dan dosa kita. Namun, sikap Allah tersebut seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita untuk terus menjauh dan menghilang dari rangkulan kasih-Nya dengan melakukan tindakan yang berdosa, membenci, mendendam dan tidak bersedia memaafkan.

 

Terbukti....

o   Terasa sangat sulit bagi kita yang kuat dan dituakan untuk memberikan maaf kepada yang lemah; sebaliknya yang lemah selalu dituntut untuk memaafkan kesalahan si kuat.

o   Betapa sulit orang yang berkedudukan memberikan maaf kepada bawahannya, walaupun nyata-nyata salah hanya karena harga diri.

o   Betapa sulit orangtua memohon maaf kepada anak-anak mereka, walaupun nyata-nyata salah hanya karena mereka orangtua.

o   Betapa sulit sang suami memohon maaf kepada istri, walaupun nyata-nyata bersalah (pukul istri karena kalah judi), hanya karena dia laki.

o   Betapa sulitnya seorang imam memaafkan umatnya, walau pun nyata salah karena harga dirinya sebaga seorang imam.

 

Karena itu, marilah kita belajar dan berjuang untuk menghidupi sikap Sang Bapa: selalu terbuka untuk mengampuni. Ingatlah... dalam cinta selalu ada pengampunan. Orang yang sulit mengampuni adalah orang yang tidak memiliki iman dan hampa cinta. Cinta bukanlah cinta jika tidak ada pengampunan... Pribadi yang beriman adalah pribadi yang mencintai dan pribadi yang tulus mengampuni...

 

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget