Minggu Biasa XXIV 14 September 2025 "Pertobatan Perut" (Romo Very Ara) Keluaran 32:7-11.13-14 Mazmur 51:3-4.12.13.17.19 1 Tomoteus 1:12-17 Lukas 15,1-32 (1-10)

 



Minggu Biasa XXIV 14 September 2025

"Pertobatan Perut"

Keluaran 32:7-11.13-14

Mazmur 51:3-4.12.13.17.19

1 Tomoteus 1:12-17

Lukas 15,1-32 (1-10)

*********************************

 

Pada suatu malam, dalam situasi batas yang dialami Maria, ibu dari dua orang anak yang masih duduk di bangku Sekolah Dasar, mengajak kedua anaknya untuk bersujud dan berdoa di hadapan patung Santa Maria. Di dalam ruangan berukuran 4 x 5 m, yang penuh sesak dengan peralatan masak dan makan, tempat buku dan meja kecil, Maria bersama kedua anaknya duduk bersila di atas lantai beralaskan plastik tebal yang serentak menjadi tempat tidur mereka.

Ketika mendengar ajakan sang ibu tercinta, Yo, salah seorang dari kedua anaknya tidak menjawab. Yo tenggelam dalam khayalannya untuk mengendarai sebuah mobil. Di tangannya ada sebuah mobil plastik usang. Sementara Eli, kakak Yo, sudah mengambil sikap doa di hadapan patung Bunda Maria. Ibunya mengambil mobil mainan di tangan Yo secara paksa dan mengajaknya bersujud di hadapan patung Bunda Maria.

Yo menolak dan berkata, “Saya nggak mau berdoa, Ma?

Sementara itu, Ely memandangnya dengan perasaan jengkel dan berkata, “Kalau Yo berdoa bersama Bunda Maria, Yo bisa minta apa saja kepada Tuhan Allah. Tuhan Allah akan memberikan apa yang kamu inginkan”.

Yo tidak mau kalah, “Yesus dan Bunda Maria tidak punya apa-apa. Lihatlah, tangan Yesus dan Bunda Maria dibuka semuanya. Satu-satunya apel yang ada di tangan Bunda Maria sudah jatuh di makan ular.”

Yo menunjuk ke arah patung Bunda Maria. Patung itu melukiskan posisi Bunda Maria sedang berdiri dengan tangan terbuka, sedangkan kakinya menginjak ular yang sedang memakan buah apel. Sedangkan patung Yesus yang berada di salib tidak punya apa-apa.

“Yo, Tuhan Yesus dan Bunda Maria memang tidak mempunyai apa-apa. Bunda Maria hanya membantu kita untuk menyampaikan doa kita kepada Tuhan Yesus, Putra-Nya dan Tuhan Yesus kepada Allah, Bapa-Nya dan Bapa kita semua. Kalau Yo berdoa, maka Bunda Maria akan berdoa bersama Yo. Mari, kita berdoa bersama Bunda Maria agar permohonan kita didengar oleh Yesus dan Allah Bapa, sebab Allah sendirilah pemilik segala sesuatu yang ada di dunia ini.” Kata Maria, ibu Yo.

Maria memandang Yo sejenak dan mengajaknya berdoa, “Sekarang, ayo kita berdoa. Nanti Ely yang pertama menyampaikan doa permohonan, kemudian giliranmu, Yo!

Mereka berdoa sekali Bapa Kami dan sepuluh kali Salam Maria. Ely menyampaikan permohonannya agar berhasil dalam ulangannya keesokan harinya. Setelah Ely selesai berdoa, Yo diam saja, walau dia tahu gilirannya untuk menyampaikan doa permohonan. Ibunya berbisik kepada Yo untuk menyampaikan doa permohonan. Dengan terpaksa, Yo mulai berdoa, “Bunda Maria, bapak sudah lama tidak pulang. Kalau dia pulang ke rumah, seringkali mabuk dan marah-marah. Saya dan mbak Ely sering dipukul. Saya memohon agar bapak tidak lagi mabuk-mabukan dan marah-marah pada ibu; tidak memukul saya dan mbak Ely lagi. Saya sayang pada bapak, tetapi mengapa bapak tidak sayang pada saya? Amin. Tanpa sadar, air mata membasih pipi Yo, Ely dan Maria, ibunya.

Sudah lama sang bapak terkena PHK. Dia sudah berusaha untuk melamar kerja, namun tetap tidak ada panggilan. Semua jalan terasa buntu. Dia sudah membuka usaha dengan cara berjualan, namun gagal karena terbentur modal. Dalam situasi frustrasi dan putus asa, dia suka mabuk-mabukan. Dia menjual apa saja untuk membeli minuman dan mabuk-mbukan bersama pengangguran lainnya.

Dia memaksa agar Maria, istrinya selalu memberikan kepadanya uang. Padahal Maria harus bekerja keras sebagai tukang cuci pakaian tetangga dan berjualan kue di pasar. Namun perolehan hasil kerjanya itu selalu diminta secara paksa oleh sang suami untuk membelikan minuman. Jika tidak diberi, dia akan marah. Salah satu sasaran kemarahan adalah kedua anaknya dengan cara memukul dan mencaci maki mereka. Jika terjadi demikian, maka Maria berusaha memberikan uang agar suaminya dengan segera meninggalkan rumah.

Maria tidak tahan melihat penderitaan kedua anaknya, namun dia tidak sanggup mengubah situasi hidup mereka. Dia tidak tahu bagaimana caranya agar semuanya berubah. Dia bekerja keras dari pagi hingga dini hari, namun penghasilan yang diperolehnya tetap tidak mencukupi. Selain itu, rongrongan dan sikap kasar sang suami pada kedua anaknya membuatnya semakin tertekan.

Akhirnya, satu-satunya jalan yang ditempu adalah memasrahkan semua beban kehidupannya kepada Tuhan. Dia yakin bahwa Tuhan tidak akan membiarkannya berjuang sendirian dalam menghadapi semua beban penderitaannya. Maria ingat akan kotbah seorang imam bahwa Yesus hadir di tengah-tengah murid-Nya disaat mereka diamuk badai yang dasyat. Maria membayangkan dirinya sedang berada dalam amukkan badai yang dasyat dan menakutkan. Dia berharap agar Tuhan datang untuk menenangkan badai itu. Dia berharap agar tangan Tuhan berkarya di dalam hidupnya.

Permohonan Yo, anaknya, membuat Maria tidak mampu menahan deraian air matanya. Dia menatap kedua anaknya dengan linangan air mata. Yo yang masih membutuhkan belaian kasih sayang sang ayah, sering mendapat gaprakan dan kata makian yang menyakitkan. Ini bukan kesalahan Yo, melainkan kesalahan sang suami yang tidak tahan menghadapi pahitnya kehidupan ini.

Yo terdiam dengan mata terpejam. Dia berharap agar Bunda Maria berdoa bersamanya. Semuanya terdiam dalam doanya masing-masing. Tiba-tiba pintu terbuka; seorang lelaki kumal terdiam di depan pintu. Pakaiannya kotor; wajahnya kuyu, dari mulutnya tersebar aroma minuman keras dan mabuk. Dia berdiri sembari berpegang pada tiang pintu. Dia tampaknya mabuk berat. Maria dan kedua anaknya ketakutan. Kehadiran Hans, sang suami menebarkan rasa takut yang mencekam. Sejenak, mereka saling memandang dalam ketakutan. Dengan langkah terhuyung, lelaki itu bergerak ke arah Yo yang sudah disekam rasa takut yang luar biasa. Tiba-tiba, lelaki itu berteriak keras dan menangis. Dipeluknya Yo dan Ely, dengan tangisan yang tiada duanya. Dia tidak peduli kalau suaranya didengar banyak orang. Dia tidak malu akan semuanya itu.

Saat itu, dia tidak sanggup berkata apa-apa, selain menangis. Dia ingin melepaskan beban kepedihan di dalam hatinya. Yo dan Eli ikut menangis, walau mereka tidak tahu persis, mengapa mereka menagis. Mereka hanyut dalam tangisan sang ayah.

Sesungguhnya, sang ayah sudah lama berdiri di depan pintu. Dia hanya bersandar di dinding rumah sebab tidak mampu menyeret tubuhnya ke dalam rumah akibat mabuk berat. Dalam keadaan setengah sadar, dia mendengar percakapan istri dan anaknya. Hatinya hancur ibarat disayat sembilu. Batinya perih ketika mendengar doa Yo, putri bungsungnya. Dia malu pada dirinya sendiri. Dia sadar bahwa selama ini dia sudah menyepelehkan cinta kedua anaknya dan membalas cinta istrinya dengan perlakuan kasar dan caci maki. Dia salah memperlakukan istri dan kedua anaknya. Doa Yo dalam situasi batas, ibarat pedang yang menghancurkan dirinya dan membuatnya sadar bahwa dia sudah menyiksa mereka dengan perlakuannya yang kasar selama ini.

 

o   Cinta keluarga: Maria, Ely dan Yo mengubah kehidupan sang suami dan ayah kecintaan mereka.

o   Cinta Sang Bapa mengubah hidup anak kecintaannya yang hilang dari rangkulan kasih-Nya.

o   Namun, akar perubahan Hans dan anak yang hilang lahir dari situasi derita: PHK, gagal usaha, tidak mampu menghidup keluarga, penderitaan dan perut yang lapar.

*******************

Kisah kembalinya Si Anak yang Hilang setelah mengalami penderitaan akibat kelaparan (bangkrut), akhirnya tersimpul dalam benak saya sebagai kisah seorang anak manusia yang mengalami pertobatan karena alasan perut. Dikatakan demikian,  karena keinginan si anak yang hilang untuk kembali ke rumah bapanya karena kesusahan hidup yang dialaminya: Kelaparan, kecelakaan, sakit dan penderitaan lainnya di daerah perantauan.

Dalam kenyataannya, tidak sedikit di antara kita yang mengalami peristiwa hidup seperti si anak yang hilang dalam kisah Injil ini. Kita berniat untuk kembali ke jalan yang benar (bertobat) karena alasan perut.

 

o   Sebagai tahap awal, pertobatan perut, bukanlah hal yang buruk sebab pengalaman ini: sakit, derita, lapar, dll, sangat diperlukan dalam hidup manusia, terutama untuk menempah sikap iman yang benar.

o   Namun, adalah sangat konyol, jika manusia menunggu saatnya…ketika mengalami penderitaan baru bertobat dan mencari Allah.

o   Jika demikian, rasa-rasanya, tidak ada seorang pun yang mau bertobat dan mencari Allah, sebab tidak ada seorang pun manusia di dunia ini yang mengangan-angankan penderitaan dan kelaparan dalam hidupnya; sebaliknya manusia selalu berusaha untuk menghindar dari kecelakaan dan penderitaan itu.

 

Di sinilah letak persoalan pertobatan perut: Manusia bertobat hanya untuk menghindarkan diri dari penderitaan, kelaparan, kesakitan dan kelaparan. “Jangan berbuat jahat kepada orang lain, supaya kamu tidak dijahati.”

 

o   Saat ini, kita memiliki agama dan iman, namun kehidupan kita dihantui oleh hukum karma. Banyak di antara kita yang beriman ini memahami arti dosa sebagai tindakan yang  melanggar hukum.

o   Allah dipandang sebagai majikan yang membuat hukum: mengatur perilaku manusia, mana yang disebut dosa dan mana yang tidak.

 

Baik anak bungsu maupun anak sulung dalam kisah mengenai anak yang hilang ini menganggap bapak sebagai majikan mereka.

 

o   Anak bungsu berniat kembali kepada bapaknya untuk menjadi orang upahan saja.

o   Anak sulung menganggap bapaknya sebagai majikan yang suka memerintah.

o   Untuk mendapat pengampunan dan memperoleh keselamatan, mereka harus menaati perintah dan menjauhi larangan. Inilah yang di namakan pertobatan perut.

 

Iman Katolik bukanlah iman hukum. Iman Katolik berlandaskan pada cinta dan belas kasih Allah serta keselamatan-Nya dalam diri Kristus bagi semua orang. Oleh karena itu, jika kita berbicara soal dosa, kriterianya adalah cinta dan belas kasih Allah serta karya keselamatan-Nya dalam Kristus yang merangkul semua orang, bukan hukum yang dibuat manusia. Untuk memahami hal ini, kita melihat, siapa yang berperan dalam kisah anak yang hilang.

Karena itu judul kisah ini seharusnya bukan Kisah Anak yang Hilang dan tokoh utamanya bukanlah Si Bungsu, melainkan Sang Bapa yang Penuh Cinta dan Belas Kasih. Bapa yang dilukiskan dalam kisah ini adalah Allah yang baik hati, penuh belas kasih dan pengampun. Yesus melukiskan figur Allah yang baik, berbelas kasih dan pengampun melalui tindakan kasih-Nya yang merangkul, mengenakan jubah yang indah, mengenakan cincin kebesaran-Nya dan mengadakan perjamuan besar dalam suatu pesta yang meriah. Perjamuan itu diadakan karena sang ayah bersukacita atas kembalinya si anak bungsu, walaupun bermodalkan pertobatan perut. Sang ayah ingin agar semua orang merayakan kegembiraan itu dalam suatu pesta yang meriah.

Namun tindakan sang ayah yang baik dan pengampun tidak diterima oleh si sulung. Dia tidak menerima kalau seorang pendosa diampuni; dia tidak senang kalau adiknya yang baru kembali dipestakan. Yang ada dalam ingatannya hanya kesalahan dan dosa adiknya.

Walaupun demikian, sang ayah yang baik, berbelas kasih dan pengampun keluar dan mengajaknya untuk ikut berpesta. Sekarang, keputusan berada di tangan si sulung: mau masuk ke dalam pesta atau tidak? Yesus tidak menutup perumpamaan ini dengan memperlihatkan keputusan si sulung. Di sinilah kita bisa memahami makna pertobatan bagi orang Kristen dewasa, yang harus meninggalkan pertobatan yang bersifat kekanak-kanakan.

Tobat bukan hanya soal memperbaiki diri, membangun kesucian pribadi. Tobat adalah soal bagaimana kita sadar, mendalami, mengalami dan menghidupi isi cinta dan belas kasih sang ayah yang menyediakan perjamuan bahagia bersama anak sulung dan anak bungsungnya karena yakin sepenuhnya bahwa tiada Bapa yang paling baik dan berbelas kasih, Bapak-Ku sendiri.

Inti kisah ini menegaskan bahwa yang menjadi sumber kegembiraan dan kebahagiaan Bapa, “Bukan karena anak-Nya mengaku segala kesalahan dan dosanya dengan penuh rasa sesal dan tobat, melainkan karena anak-Nya sadar bahwa tidak ada sesuatu yang lebih baik, selain Bapanya sendiri. Di luar rumah Bapanya, dia tidak menemukan apapun yang lebih baik, yaitu sebuah wujud kebaikan yang tidak dibangun atas dasar kecemburuan yang menyelamatkan, seperti kebaikan yang berakar dalam sikap batin Bapanya sendiri”.

Kisah ini menunjukkan bahwa titik puncak dari pertobatan adalah: “Apakah kita, ibarat si sulung yang tidak bersedia dan mau masuk ke dalam pesta besar yang diselenggarakan Allah dan melibatkan kita semua karena tidak menyadari kedalaman cinta dan belas kasih Bapa atau seperi anak bungsu?

Pada tahapan ini sikap tobat yang seharusnya dibangun bukanlah menjalankan hukum gereja atau sepuluh perintah Allah. Banyak orang yang mengikuti secara ketat hukum Allah: tidak mencuri, tidak iri hati, tidak membunuh, rajin ke gereja. Namun manusia seperti ini bisa saja tidak berbuat apa-apa untuk membangun solidaritas Allah yang mau menjadi bapak semua orang. Kita bisa berkata kepada Yesus, ”Semua perintah Allah sudah kuturuti sejak masa kecilku.”

Sikap yang tobat yang seharusnya dibangun harus lahir dari kedalaman iman kita bahwa Bapa adalah Cinta. Dia rahim dan berbelas kasih. Kebahagiaan Bapa adalah kesatuan yang kekal-abadi dengan semua manusia yang berdosa; Dia tidak peduli seberapa dalam manusia mengkhianati-Nya; Dia tidak memperhitungkan seberapa lebar jurang yang diciptakan manusia untuk memutuskan jalinan relasi dengan-Nya. Kebaikan Bapa tampak dalam sikap batin-Nya yang tidak mengingat kesalahan manusia: rela mengampuni dan menerima kembali setiap anak-Nya yang hilang dari rangkulan kasih-Nya.

 

Ingatlah.....

Allah dalam diri Yesus yang kita imani adalah Allah yang tidak mengingat dan memperhitungkan segala salah dan dosa kita. Namun, sikap Allah tersebut seharusnya tidak menjadi alasan bagi kita untuk terus menjauh dan menghilang dari rangkulan kasih-Nya dengan melakukan tindakan yang berdosa, membenci, mendendam dan tidak bersedia memaafkan.

 

Terbukti....

o   Terasa sangat sulit bagi kita yang kuat dan dituakan untuk memberikan maaf kepada yang lemah; sebaliknya yang lemah selalu dituntut untuk memaafkan kesalahan si kuat.

o   Betapa sulit orang yang berkedudukan memberikan maaf kepada bawahannya, walaupun nyata-nyata salah hanya karena harga diri.

o   Betapa sulit orangtua memohon maaf kepada anak-anak mereka, walaupun nyata-nyata salah hanya karena mereka orangtua.

o   Betapa sulit sang suami memohon maaf kepada istri, walaupun nyata-nyata bersalah (pukul istri karena kalah judi), hanya karena dia laki.

o   Betapa sulitnya seorang imam memaafkan umatnya, walau pun nyata salah karena harga dirinya sebaga seorang imam.

 

Karena itu, marilah kita belajar dan berjuang untuk menghidupi sikap Sang Bapa: selalu terbuka untuk mengampuni. Ingatlah... dalam cinta selalu ada pengampunan. Orang yang sulit mengampuni adalah orang yang tidak memiliki iman dan hampa cinta. Cinta bukanlah cinta jika tidak ada pengampunan... Pribadi yang beriman adalah pribadi yang mencintai dan pribadi yang tulus mengampuni...

 

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget