Juni 2025

 




Pesta St. Petrus dan St. Paulus

29 Juni 2025

“Batu Penjuru dan Misionaris Ulung”

Kis. 12:1-11; 2 Tim. 4:6-8.17-18

Matius 16:13-19


Saling Memberikan Nama

Pada suatu ketika, seorang pengusaha kaya menangkap seorang pemuda yang hendak menjampret dompetnya. Pemuda itu berusaha membela diri dengan mengisahkan tentang pengalaman hidupnya: “Saya tidak mempunyai pekerjaan. Saya sungguh kelaparan. Saya baru dibebaskan dari kurungan dan dengan reputasi itu, hingga kapan pun, saya tidak akan mendapatkan pekerjaan apa pun yang layak demi kelangsungan hidup saya. Setiap saat saya memperkenalkan nama dan identitas saya, martabat dan harga diri saya dikoyak; dicap sedemikian buruk sehingga tak seorang pun yang bersedia mempekerjakan saya.”

Dengan jiwa kebapaan, Pengusaha itu berkata, “Kalau memang demikian anakku, ambillah nama saya; saya tidak keberatan. Saya tidak akan pernah mengotorinya dalam kehidupanmu. Dengan tulus, saya memberikan nama saya kepadamu. Ambillah; kenakan nama saya pada nama dirimu dan jagalah agar tetap bersih; tidak tercemar.” Kemudian, pengusaha kaya itu memberikan sebuah sepucuk surat rekomendasi kepada pemuda itu untuk mendapatkan pekerjaan.

Lima belas tahun kemudian, pengusaha itu diberitahukan oleh sekertarisnya bahwa ada seorang pria apik yang sedang mencari dan ingin menemuinya. Pengusaha itu membuka buku tamu dan membacanya! Ternyata, keduanya memiliki nama yang sama. Ketika pengusaha itu membuka pintu kantornya untuk mempersilahkan pemuda itu masuk; tampak di hadapannya seorang pemuda berpakaian indah dengan penampilan terhormat; penuh wibawa dan berkata:

“Saya datang untuk mengucapkan berganda terima kasih kepada Bapak. Berkat nama bapak yang saya sandang; saya menjadi seorang eksekutif di sebuah perusahan yang direkomendasikan bapak kepada saya lima belas tahun yang lalu. Sekarang bapak melihat saya seperti ini; saya merasa berhutang karena kemurahan bapak dan di atas semuanya itu….terutama atas pemberian nama bapak sendiri, yang masih belum tercemar hingga saat ini…”

 

Yesus dan Simon saling Memberikan Nama

Yesus, Simon dan Saulus saling memberikan nama. Pemberian nama ini mengungkapkan sesuatu tentang jati diri mereka masing-masing. Awalnya, Yesus bertanya kepada Simon dan kawan-kawannya, “Siapakah Dia menurut pendapat banyak orang, sejauh mereka dengar dan terekam di telinga mereka?

Para murid menjawab, “Menurut kebanyakan orang, Dia adalah Elia, Yeremia atau salah seorang dari para nabi. Tampaknya, para murid juga lupa kalau ada banyak orang, terutama para pembangkang yang memusuhi Yesus memberikan julukan kepada Yesus sebagai “Pengacau, Tukang Hasut, Provokator, Sahabat Para Pendosa dan Seorang Modernis yang sangat berbahaya.”

Yesus pun kembali menyerang mereka dengan pertanyaan yang sama, “Jika itu pendapat banyak orang, menurut kamu, Siapakah Aku? Atas nama para rasul, dengan lantang Simon menjawab, “Engkaulah Kristus, Putera Allah yang Hidup.”

 

Yesus, Sang Mesias, Anak Allah yang Hidup

Sebutan “Mesias, Kristus, Putera Allah yang hidup, serentak mengungkapkan iman, cinta dan kesetiaan Simon kepada Yesus serta identitas, jati diri dan misi mesianik-Nya di dunia, yaitu untuk melaksanakan kehendak Bapa: mengalahkan kejahatan dengan menempuh jalan penderitaan dan akhirnya wafat di salib demi keselamatan manusia.

Melalui jawaban Petrus, Matius Penginjil memperlihatkan bahwa Yesus sungguh-sungguh menghidupi nama-Nya; hidup sesuai dengan nama-Nya sebagai Sang Mesias dan menyelaraskan cara hidup-Nya dengan nama/gelar yang diberikan kepada-Nya. Tindakan terbesar dan termulia yang dilakukan Yesus untuk menghidupkan nama-Nya, menunjukkan identitas, jati diri dan misi inti-Nya di dunia sebagai Mesias: mengorbankan diri demi keselamatan dunia.

 

Petrus, Si Batu Karang

Sebagai balasan atas iman, cinta dan kesetiaannya, Yesus memberikan nama baru kepada Simon, yaitu Petrus, Batu Karang, yang menjadi landasan kokoh bagi Yesus untuk membangun Gereja-Nya, umat-Nya sendiri. Kendati kerap jatuh: menipu diri, menipu orang lain, khususnya wanita Yahudi yang bertanya untuk menguji kejujuran dan kesetiaannya kepada Sang Guru yang diikutinya; menyangkal Tuhan, Pribadi yang sangat dikagumi dan dicintainya ketika ayam jantan berkokok; tidak menunjukkan jiwa seorang pahlawan, jiwa seorang rasul yang perkasa, Simon menunjukkan keteguhan imannya sebagaimana kokoh, teguh dan kukuhnya batu karang kepada Yesus. Karena kekokohan imannya; hubungan yang akrab dengan Kristus: Kasih dan Kesetiaan akan Kristus, Yesus melandaskan Gereja-Nya atas diri Petrus, Sang Batu Karang. Petrus sungguh menghidupi namanya; hidup sesuai dengan nama-Nya sebagai Batu Karang dan menyelaraskan cara hidup dengan nama gelar yang diberikan kepadanya. Di balik namanya, terungkap cinta dan kesetiaannya dalam mengikuti Yesus, dalam segala situasi hidupnya, dengan segala beban dan pengorbanannya. Di dalam kerapuhan dan kejatuhannya, ditemukan juga di dalam diri Petrus nilai yang paling berharga untuk sebuah panggilan, yaitu keindahan, kebahagiaan, kemenangan dan kecemerlangannya. Nilai-nilai yang ditemukan Yesus, Sang guru di dalam diri Petrus ini menjadi unsur penting dalam menjalankan tugas panggilannya.

 

Paulus, Si Kecil dan Rendah Hati

Hal yang sama juga dilakukan Yesus terhadap Saulus. Kendati latar-belakang kehidupan seorang Saulus sangat hitam (Saulus adalah pembunuh dan penganiaya umat Tuhan), namun Yesus memberikan nama baru kepadanya setelah dia bertobat dalam perjalanannya menuju Damsyik. Oleh Yesus, Saulus (artinya: yang diinginkan, yang didoakan, yang dicari dan yang diminta) diberi nama baru, Paulus (Paulos/Yunani: kecil, rendah hati), Rasul para bangsa yang tidak kenal lelah, tahan banting dalam membela dan mempertahankan imannya akan Kristus.

Perjumpaannya dengan Yesus Kristus mengubah Saulus sedemikian sehingga dia merasa dirinya kecil. Dia sadar bahwa dia harus merendahkan hati dan dirinya di hadapan Yesus Kristus.  Semua prestasi dan kehidupan masa lalu tidak lagi menjadi kebanggaan yang harus dipertahankannya, karena baginya, Yesus Kristus adalah segalanya.

Apabila Paulus berubah total berkat perjumpaannya dengan Yesus Kristus, maka kita pun harus berubah, harus menjadi baru dalam Kristus. Kita harus sadar bahwa kita kecil di hadapan-Nya dan harus rendah hati, karena segala seeuatu yang ada dalam diri kita adalah anugerah-Nya.

Dalam kekecilan dan kerendahan hatinya, Rasul Paulus memberikan kesaksian tentang Yesus sebagai Putera Allah yang hidup di dalam dirinya. “Aku hidup, namun bukan aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus-lah yang hidup di dalam diriku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku.” (Galatia 2:20)

 

Dua Pilar Utama Gereja: Batu Penjuru-Misionaris Ulung

Petrus dan Paulus diubah dan diberdayakan Yesus Kristus menjadi dua pilar utama Gereja-Nya. Petrus diangkat dan diberdayakan Yesus menjadi wakil-Nya di dunia, pemegang kunci pintu Surga dan diberikan tugas untuk menggembalakan domba-domba-Nya. Dalam diri Petrus dan para penggantinya, kita melihat tanda persatuan dan kesatuan iman serta perbuatan baik. Dengan bantuan Roh Kudus, Petrus termasuk orang pertama yang mengakui ke-Allah-an Yesus Kristus, “Engkaulah Mesias, Putra Allah yang Hidup.” (Matius 16:16).

Sementara Petrus membangun Jemaat Kristus di Yerusalem, Paulus diutus untuk pergi ke bangsa-bangsa lain di sekitar Laut Tengah untuk mewartakan Kristus kepada masyarakat bukan Yahudi tanpa kenal lelah. Setelah melewati pelbagai kesulitan dan penderitaan, Paulus berhasil membangun banyak jemaat Pasca Konsili Pertama di Yerusalem yang diwarnai dengan perseteruan tajam antara kelompok Kristen Yahudi dan kelompok Kristen non Yahudi. Paulus mendirikan Gereja Kristus menjadi sebuah Gereja yang bukan hanya Kudus dan Apostolik, tetapi juga Katolik: Gereja yang terbuka terhadap siapa saja yang percaya bahwa Yesus adalah Juru Selamat Dunia. Karena jasanya menobatkan bangsa-bangsa lain yang bukan Yahudi inilah, maka Paulus digelari sebagai Rasul Para Bangsa.

Melalui pengembaraan misionernya selama tiga puluh tahun lebih dan menjelajahi puluhan ribu kilometer dengan berjalan kaki, naik kuda dan kapal, Paulus, Sang Rasul menjadi misionaris yang paling menentukkan dalam persemaian Gereja sampai ke ujung bumi. Seandainya Rasul Paulus tidak berhasil mematahkan dominasi Kristen Yahudi yang ingin memaksakan sunat dan Hukum Taurat bagi orang Kristen bukan Yahudi dalam Konsili Yerusalem, Gereja Kristus tidak akan pernah lebih dari sebuah sekte kecil agama Yahudi dan kita semua tidak akan pernah menajdi orang Kristen seperti saat ini.

Petrus dan Paulus juga adalah dua tokoh berbesar yang memiliki kondisi kemanusiaan yang terbatas, rapuh dan lemah:

o   Pada awalnya, Petrus adalah seorang penangkap ikan yang lugu, penduduk desa yang polos, tidak berpendidikan, bahkan sempat tampil menyebalkan Yesus karena tidak memahami siapakah Yesus yang sesungguhnya, bahkan menyangkal-Nya tiga kali.

o   Karena kepintaranya sebagai seorang cendikiawan Farisi, Paulus sempat sombong dan merasa berhak untuk menganiaya kelompok bidaah baru Kristen.

Kedua tokoh ini ditangkap Yesus dari keseharian mereka:

o   Petrus yang awalnya Penjala Ikan dijadikan Penjala Manusia.

o   Paulus, awalnya pengejar dan pembunuh murid Kristus. Tuhan justru membentuk dan mengubahnya menjadi Pewarta Ulung Kristus.

o   Petrus ditangkap Yesus ketika masih hidup di Palestina.

o   Paulus ditangkap Yesus setelah Dia naik ke dalam Kerajaan-Nya di Surga.

Hasil tangkapan Yesus inilah yang membuat Gereja tetap kokoh di atas Batu Karang, walaupun selalu diterpa badai selama lebih kurang dua ribu tahun dan masih tetap bergerak untuk mewartakan Kristus melalui karya misioner Gereja ke seluruh dunia.

o   Petrus adalah Simbol Kekuasaan Gereja;

o   Paulus adalah Simbol Pelayanan dan Karya Misi Gereja.

Perpaduan antara Petrus dan Paulus mengingatkan kita bahwa:

o   Kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin Gereja untuk menggembalakan domba-domba Kristus, pertama-tama harus didasarkan atas Iman Si Batu Karang dan disempurnakan dengan karya kerasulan-pelayanan Gereja.

o   Para pemimpin Gereja harus menyadari diri sebagai penerus Petrus, simbol dan tokoh kesatuan umat beriman. Walaupun sering menyebalkan, seorang pemimpin Gereja yang sederhana, polos, ramah, dan baik hati akan lebih diterima umat daripada seorang pemimpin yang tinggi daya intelegensinya, namun sombong, arogan, apalagi tidak santun, lebih suka mengeritik dan menganggap semua orang sebagai bawahannya. Hanya seorang pemimpin yang sederhana yang akan mengakui bahwa Kristus sebagai Mesias, sedangkan pemimpin yang sombong akan membanggakan diri, bakat, prestasi dan kehebatannya dan Yesus Kristus dijadikan sarana pembesaran dan pemuliaan  diri.

o   Saat ini, tidak sedikit dari para pemimpin Gereja yang sudah “berhenti” setelah ditahbiskan menjadi imam, bahkan lebih berhenti lagi setelah menjadi pemimpin umat lokal atau Uskup. Kekuasaan yang mengalir dari Sakramen Tahbisan tidak jarang memandulkan imamat mereka karena para imam umat dan imam Allah tidak lagi bergerak keluar, seperti Paulus yang tidak pernah bisa bertahan lama di suatu tempat.

o   Tidak jarang para pemimpin Gereja berubah menjadi pemimpin lembaga, pengurus yayasan dan tukang misa dan tidak lagi menjadikan dirinya sebagai Pastor Bonus dan Pastor Peziarah bagi umatnya. Rumah-rumah religius berubah menjadi istana kecil, tempat berkumpul para pangeran Gereja dan menikmati hidup yang nyaman, sementara domba-domba mereka berjuang keras di dunia nyata untuk mencari sesuap nasi demi kesejahteraan hidup dan jiwanya.

Gereja akan kokoh dan berbuah jika semangat hidup dan kerasulan Rasul Petrus dan Rasul Paulus masih tetap digali dan dimekarkan oleh para pemimpin umat. Dalam diri seorang imam perlu hadir sosok Petrus yang bekerja mengukuhkan iman dan sosok Paulus yang bekerja mengalirkan iman ke luar untuk menyehatkan manusia lain dan melayani semua.

Kekuasaan dalam Gereja harus berwajah manusiawi dan membuahkan pelayanan sehingga dalam Gereja Kristus tampillah sebuah kekuasaan yang populis, yang menjadikan  setiap pemimpin Gereja seorang servus servorum. Kekuasaan Gereja tidak akan efektif apabila tidak didasarkan pada iman dan iman itu harus aktif sebab iman hanya bisa dihanyati dalam perbuatan. Pada akhirnya, semua pemimpin Gereja dan semua umat Allah adalah misionaris-iman: Umat Allah adalah Orang Beriman Teguh dan dengan iman itu melayani semua orang.

Pengikut Yesus Kristus yang sejati, aktual dan relevan di zaman ini haruslah perpaduan antara seorang Petrus, Batu Karang Iman dan seorang Paulus, Sang Pelayan dan Misionaris Sejati. Pengikut Yesus Kristus harus beriman teguh serta bersemangat misioner... Siap diutus untuk membawa Terang Injil dan Terang Hidup Allah kepada semua orang yang belum mengenal-Nya.

Jiwa dan semangat hidup Rasul Petrus dan Rasul Paulus akan menjadi jiwa dan semangat kita apabila kita membiarkan diri dan kehidupan kita diubah oleh Yesus Kristus dan membiarkan Yesus Kristus hidup-meraja-memimpin diri kita sehingga kita bisa berkata, “Bukan aku, tetapi Kristuslah yang hidup dalam aku.”

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 


Fombaso I     : Halöwö Rasul 12:1-11

Fombaso II    : 2 Timoteo 4:6-8.17-18

Injil                 : Matai’o 16:13-19

 

Turia Somuso Dödö khö Yesu Keriso nisura Yohane.-

 

Me luo da'ö, Irugi Yesu danö ahatö mbanua Kaisaria Wilifi. Ba da'ö Isofu khö ndra nifahaöNia, Imane : "Molo'ö fanguma'ö niha, haniha Nono Niha andrö ?"- Latema li ira nifahaö Yesu, lamane : "So zanguma'ö Yohane same'e fanasa; so zanguma'ö Eliya;- ba so göi zanguma'ö Yeremia ma zui samösa ba gotalua ndra sama'ele'ö." Isofu khöra Yesu : "Molo'ö ya'ami, haniha Ndra'odo andre ?" Itema li Simoni Fetero, imane : "Keriso – Nibayoini andrö sa Ndra'ugö, Ono Lowalangi sauri." Itema linia Yesu, imane khönia :
"Tefahowu'ö Ndra'ugö, Simoni ono Yona, me tenga niha zama'ele'ö khöu da'ö, - no AmaGu andrö si so ba zorugo.-
Ya'odo göi Uŵa'ö khöu : Fetero – Gowe saro ndra'ugö. Yaŵa ba dete gowe andrö Ufasindro GerejaGu andrö dania. Gowe andrö, ba tebai ni'alani, he fa'amate, he narako. Ube'e dania khöu nono kusi gamatöröŵa Lowalangi andrö. Hadia nitenaŵau ba gulidanö, no nitenaŵa göi ba zorugo. Ba hadia ni'atulö'öu ba gulidanö, no ni'atulö'ö göi ba zorugo." Aefa da'ö Ifangelama ndra nifahaöNia, ena'ö böi la'ombakha'ö gofu ha'ökhö, wa Ya'ia Keriso.-

 Simanö duria somuso dödö khö Zo'aya ya'ita, Yesu Keriso.-

 FA’ARO DÖDÖ BA WAMADUHU’Ö BA BA WANURIAIGÖ 

Samuza ma’ökhö, so samosa niha sifaduhu tödö khö Yesu wa lö iröi ia Yesu na itörö ia fanandraigö. Tandra khönia ya’ia da’ö, lö tebulö so dombua fasa lahe wofanö; safasa lahenia ba safasa lahe Yesu. Ba hiza saluania, na ero itörö fanandraigö niha andre, ha safasa lahe ni’ilania ba iwaö tödönia wa lahenia ya’i da’ö. Ba zimanö kumökö ia khö Yesu wanguma’ö: “He tua, hawa’öröi ndra’o na ero itörö ndra’o fanandraigö?” itema linia Yesu imane: “He nogu, lö niröigu ya’ugö na itörö ndra’ugö fanandraigö. Lahe si safasa andrö ni’ilau ba no lahegu da’ö, me no Ulu’i ndra’ugö na so wanandraigö andrö”.

Ba ngaluo andre tatörö tödöda Santo Fetero ba Faulo si no rasul sanuriaigö andrö. Ya’ira sidarua andre asese sibai lafangai börö me ya’ira andre no niha sanuriaigö Turia Somuso Dödö sifao simane ira Rasul tanö bö’ö. Ha’awai ya’i, Rasul Fetero andre no zondrönia’ö ira Rasul ba wanuriaigö turia somuso dödö si no ihonogöi Yesu samösa simane si no tarongo bakha ba duria somuso dödö andrö nisura Matai’o. Hewa’ae lö sifalukha boto ira Yesu, Waulo andrö, ba hiza no ikaoni göi ia Yesu ba wanuriagö turia somuso dödö andrö ba soi sebua misa.

Ya’ira sidarua andre, no la’oroma’ö hewisa wanaögöra famakao ba wanuriagö Keriso andrö si no tötönafö niha samati fefu. Fetero andrö nikuru, I’efa’ö sa’atö ia Mala’ika moroi ba wamakao razo Herode (fombaso si sara). Simanö göi Waulo, si no labe’e ba gurunga andrö, lö mamalö aro dödönia wa So’aya zi lö mamalö mango’awögö ya’ia (fombaso si dua). Börö wa’aro dödöra andrö ba khö Yesu, lö mamalö Ifasindro Gereja-Nia andrö So’aya. Gereja andrö no simane gowe sitebai ni'alani, he fa’amate ba he göi narako.

Moroi ba zalua khöra andre sidarua, ba zimanö göi tola tabali’ö ia khöda dumaduma ya’ita niha samati. Dumaduma sedöna tahalö khöda ya’ia wa’aro dödö. Yesu zanofu khöda zamösana; “Molo’ö ya’ami, haniha Ndra’odo andre?” Fanemada li ba wanofu Yesu andre, no böröta wa’aro dödö si so khöda. Fa’aro dödöda khö Yesu andre, modanedane ia ba wangi’ilada Ya’ia. Fangi’ilada haniha Yesu no sambua fangaro dödöda wa lö mamalö fariawö ia khöda. Ba zimanö aro dödöda ba wanuriaigö Ya’ia ba lala wa’aurida.

Fe’aso ba gurunga simane salua khö ndra rasul andrö, tola göi tarasoi ia ba lala wa’aurida sero ma’ökhö. Kurungada zamösana ba ya’ia lala halöwöda, ba wangalui fangorifi mboto. Na faduhu dödöda wa lö faröi khöda Yesu, lö mamalö tetoloni ita. Hewa’ae sasesenia simane nidunödunö mege ba ziföföna, tawalinga no iröi ita, ba hiza lö aboto ba dödöda wa fao Ia awöda. Data’a’aro’ö dödöda khö-Nia, ba zimanö tetoloni it aba wa’auri andre, irugi mangawuli ita dania ba zorugo. Amen. (Ditulis oleh Kat. Ingatan Sihura, S.Ag)

 




Homili Hari Raya Tubuh dan Darah Kristus/Tahun C

Berilah Apa yang Kita Miliki: Diri Kita sendiri

Lukas 9:11b-17

**

          Di sebuah kota, ada sebuah Kuil Kafir dan sebuah Gereja Katolik, berdiri berhadap-hadapan. Setiap hari, Phampus, orang Kafir dan Cyrus, orang Katolik, berjalan berdampingan menuju tempat ibadat mereka masing-masing. Phampus selalu membawa kurban persembahan yang akan dibakar di altar kuil sebagai penghormatan kepada dewanya. Dia heran melihat Cyrus tidak membawa apa-apa setiap kali pergi ke gereja.

          Karena ingin tahu, dia pun bertanya kepada Cyrus ketika mereka berjalan bersama, "Tolong ceritakan padaku, teman, mengapa engkau tidak membawa persembahan untuk dewamu, setiap kali engkau beribadat? Mengapa tidak mengikuti kebiasaan kami?"

          Jawab Cyrus, "Kawan, engkau keliru! Kami orang Katolik mempersembahkan sesuatu untuk Tuhan setiap kali kami datang beribadat."

          Karena bingung dengan jawaban Cyrus itu, Phampus bertanya lagi. "Tetapi mengapa saya tidak pernah melihatmu membawa persembahan?"

          Cyrus berkata tegas, "Saya datang dengan membawa sesuatu! Bagi saya, inilah persembahan terbaik yang pernah saya berikan kepada Tuhan, Dewa yang saya sembah."

          "Lalu, apa yang kaupersembahkan untuk dewamu?"

"Saya mempersembahkan diri saya sendiri."

Ekaristi: Kurban Syukur Kristus untuk Persatuan

Adalah benar yang dikatakan Cyrus bahwa dalam Perayaan Ekaristi, saya dan semua umat Katolik datang untuk mempersembahkan diri kepada Allah dalam diri Yesus Kristus. Namun, syukur dalam Perayaan Ekaristi pertama-tama bukanlah syukur dari umat Katolik atas persembahan dirinya, melainkan syukur atas diri Allah yang rela mempersembahkan dan mengorbankan diri-Nya dalam diri Yesus Kristus, Putera-Nya demi keselamatan dan demi persatuan antara manusia dengan diri-Nya. Kurban Ekaristi merupakan kurban syukur dan kurban persatuan. Melalui kurban perjamuan ini, Umat Allah yang pecah-retak, tercerai-berai dipersatukan dalam kasih Kristus sendiri, sebagimana para pengikut Yesus disatukan, dikenyangkan, disembuhkan dan diutuhkan kembali berkat kehadiran dan tindakan agung Yesus Kristus di Padang Gurun.

Namun, persatuan dan keutuhan hanya bisa terwujud apabila kita datang, bukan dengan tangan hampa menuju Meja Perjamuan Tuhan, melainkan menyertakan (membawa serta) roti dan anggur yang kita miliki, baik dalam wujud kesediaan diri untuk berkurban, sikap yang berkenan maupun bakat, kemampuan dan tenaga yang kita miliki (seperti si Cyrus). Apabila kita mencermati tiga peristiwa perjamuan penting yang diadakan Yesus bersama murid-muridnya dan orang banyak di padang gurun, kita akan menemukan harapan terdalam dari Yesus akan pentingnya partisipasi para murid dan khalayak ramai demi lancarnya acara santap bersama itu.

Partisipasi Ekaristi

Di padang gurun, Yesus memberikan makan kepada khalayak ramai berjumlah lima ribu orang melalui mukjizat pergandaan roti dan ikan. Mukjizat itu terjadi berkat kuat kuasa Yesus sebagai Putera Allah serta sumbangan berharga dari seorang anak kecil dan para Rasul.

o   Para Rasul memberikan ikan dan roti, bekal untuk acara piknik mereka;

o   Para Rasul juga memberikan tenaga mereka untuk menertibkan khalayak ramai dan membagi-bagikan buah mukjizat yang ada,

o   Yesus memberikan hati dan kuat kuasa ke-Allah-Nya untuk menggandakan roti dan ikan.

Ketika berjamu bersama para murid-Nya di tepi danau Genasaret, Yesus tetap mengharapkan adanya partisipasi dari para murid-Nya sendiri. Ini terbukti; seusai memanggang ikan di atas bara api, dan menyiapkan roti bagi para murid-Nya yang letih dan lapar di tepi danau Genazaret, Yesus masih menginginkan para murid-Nya untuk membawa beberapa ekor ikan, hasil tangkapan mereka. Yesus yang bangkit sangat menghargai dan menerima sumbangan; pemberian kita, walaupun kecil dan tidak berharga, sebab setiap buah pemberian kita akan dijadikan-Nya sebagai sakramen keselamatan.

Tuntutan akan keterlibatan dan partisipasi para murid-Nya untuk memberikan apa yang mereka miliki semakin nyata dalam peristiwa Perjamuan Terakhir. Yesus tidak menuntut banyak dari mereka, selain memberikan roti dan anggur yang mereka miliki serta kesediaan mereka untuk mempersiapkan segala-galanya demi kelancaran pesta perjamuan itu. “Pergilah ke kota, kepada si Anu dan katakan kepadanya, Pesan Guru: waktu-Ku hampir tiba; di dalam rumahmulah, Aku mau merayakan Paskah bersama-sama dengan murid-murid-Ku.” Dengan kesediaan yang penuh, mereka memenuhi permintaan Yesus; yaitu mempersiapkan tempat untuk perjamuan Paskah itu.

Dalam konteks ini, kita melihat bahwa perjamuan Tuhan bersama para murid-Nya dapat terlaksana berkat adanya partisipasi, sumbangan dan pemberian diri dari tiga pihak:

o   Si anu menyediakan rumahnya sebagai tempat perjamuan;

o   Para murid menyumbangkan tenaga mereka untuk menemui si Anu dan menyiapkan segala-galanya demi lancarnya pesta perjamuan itu;

o   Yesus sendiri yang rela memberikan diri-Nya sebagai Santapan Kehidupan bagi para murid dan semua orang yang beriman kepada-Nya.

o   Ketiga pihak ini “saling” memberikan sesuatu yang mereka miliki, terutama diri mereka sehingga pesta perjamuan berjalan baik dan lancar.

Pelibatan para murid dan Si Anu dalam acara perjamuan kudus itu, bukan karena Yesus tidak sanggup bekerja sendiri, sebab dengan kuasa ke-Allah-an-Nya Yesus sanggup melakukan apa saja tanpa bantuan manusia. Pelibatan para murid dan Si Anu dalam acara perjamuan kudus dimaksudkan Yesus agar: Pertama, mereka mengenal, menyerap pola hidup dan akhirnya menjadi duplikat Yesus yang rela memberikan diri demi keselamatan sesama, tanpa kehilangan cirikhas kepribadian mereka masing-masing; Kedua, Yesus menginginkan agar komunitas pengikut-Nya menjadi Komunitas Berbagi..... Berbagi apa yang kita miliki,... berbagi dari kekurangan dan keterbatasan kita. Kita akan diperkaya karena kerelaan dan ketulusan untuk berbagi....

Berinspirasikan pengalaman ini, saya ingin menegaskan kata-kata ini:

o   Setiap sumbangan dan pemberian, walaupun kecil sangat berarti untuk menunjang kemajuan pribadi maupun bersama, asalkan pemberian itu sungguh-sungguh lahir dari hati dan dari apa yang kita miliki.

o   Hanya jika kita rela memberikan diri sendiri, maka pemberian itu berarti bagi sesama.

o   Nilai sebuah pemberian tidak tergantung dari jumlahnya, melainkan dari aspek pengorbanan yang ada di dalam pemberian itu sebab aspek pengorbanan jauh lebih penting dari jumlah yang diberikan: Menyapu dan membersihkan Gereja, tidak mengotori Gereja, tidak membuat keonaran dan kegaduhan dalam Gereja; tidak ngantuk dalam Gereja; dan kesediaan untuk datang ke Gereja merupakan wujud sumbangan dan pemberian yang sangat berarti demi lancar dan hikmatnya acara perjamuan kudus yang kita rayakan.

o   Namun, tidak jarang, kita kerap mempersoalkan ujud pemberian itu, sejauh tidak berkenan dan tidak menguntungkan kita.

 

 

Ingatlah:

o   Tuhan akan memberikan secara berkelimpahan, jika kita memberikan apa yang kita miliki, terutama kekurangan dan kelemahan kita.

o   Tuhan akan memenuhi dan melengkapi semua kekurangan dalam diri kita... Timbalah dan terimalah kekayaan-Nya yang mengalir dari altar-Nya yang kudus.

 

Selamat Bermenung

Salam Kasih

Buona Domenica

Dio Ti Benedica

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

 

 

 



Bapa Uskup Malang Mgr. Henricus Pidyarto dan Ketua KOMSOS KWI Mgr. Kornelius Sipayung
beserta para Ketua Komsos Keuskupan Nasional


 Komunikasi Pengharapan di Tengah Dinamika Dunia Digital


MALANG — Perkembangan dunia digital yang semakin pesat menghadirkan tantangan baru dalam praktik komunikasi sosial. Di tengah derasnya arus informasi, disinformasi, dan polarisasi opini, pesan Paus Fransiskus dalam perayaan Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-59 mengingatkan pentingnya peran umat Katolik menjadi komunikator pengharapan. Komunikasi yang dijalankan diharapkan tak hanya menyampaikan pesan, melainkan membangun relasi yang mempersatukan.


Hal itu disampaikan Ketua Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr Cornelius Sipayung OFMCap, dalam seminar umum bertajuk Menjadi Komunikator Pengharapan di Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Widya Sasana Malang, Jawa Timur, Kamis (12/06/2025). Menurut Mgr Cornelius, komunikasi dalam iman Katolik berakar dalam misteri Tritunggal Mahakudus, di mana relasi saling memberi diri, mendengar, dan mengasihi menjadi dasar utama.


“Setiap tindakan komunikasi yang jujur, penuh kasih, dan membangun relasi sejati merupakan partisipasi dalam hidup Allah Tritunggal. Itulah sebabnya, komunikasi yang memecah belah, penuh kebencian, dan manipulasi bertentangan dengan semangat iman Kristiani,” ujar Uskup Agung Medan ini.


Disinformasi dan Polarisasi

Dosen sosiologi STFT Widya Sasana, Romo Yohanes I Wayan Marianta SVD menyoroti maraknya disinformasi dan polarisasi yang terjadi akibat pemanfaatan big data dan algoritma oleh pusat-pusat kekuasaan serta perusahaan teknologi. Menurutnya, Paus Fransiskus secara cermat membaca situasi sosial ini, di mana ruang digital sering kali dipenuhi informasi yang tidak berimbang dan menimbulkan perpecahan.


“Algoritma media sosial bekerja dengan menyajikan konten yang sesuai minat pengguna, sehingga memperkuat bias, mempersempit wawasan, dan membuat masyarakat terjebak dalam gelembung informasi. Ini yang memperparah polarisasi, termasuk di dalam komunitas Gereja,” kata Romo Wayan.


Ia juga menyinggung peran ekonomi digital yang mengandalkan perhatian publik. Platform digital dan penggunanya berlomba-lomba menciptakan konten yang menarik klik dan perhatian, tanpa mempertimbangkan nilai kebenaran maupun dampak sosial. Dalam kondisi seperti ini, Gereja diingatkan untuk menghadirkan wajah yang berbeda: menjadi ruang yang menyuarakan kedamaian, harapan, dan keadilan.


Komunikasi Tanpa Senjata

Pakar teknologi informasi dan komunikasi Prof Dr Ricardus Eko Indrajit menyampaikan, Indonesia kini dinilai sebagai negara dengan tingkat keramahan terendah di media sosial di Asia Tenggara, menurut laporan Microsoft. Fenomena ini menunjukkan bahwa ruang digital kerap menjadi sarana penyebaran ujaran kebencian dan provokasi.


Prof Eko mengingatkan pentingnya konsep disarm communication, yaitu komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata ofensif atau menyakiti. Ia menyebutkan, terlalu banyak ruang digital diisi oleh ujaran-ujaran yang bersifat agresif. “Orang baik sering memilih diam, sementara ruang publik digital diisi suara keras yang memecah belah,” ujar Prof Eko.


Ia juga memaparkan bagaimana algoritma digital bekerja dengan menyajikan konten berdasarkan preferensi pengguna. Tanpa disadari, hal ini membentuk ekosistem informasi yang bias dan memperkuat polarisasi. “Yang diperlukan bukan hanya kehadiran, tetapi juga keberanian menyampaikan pesan dengan santun di ruang digital,” tambahnya.


Literasi Digital dan Peran Gereja

Baik Romo Wayan maupun Prof Eko sepakat, salah satu solusi menghadapi tantangan komunikasi digital adalah meningkatkan literasi digital di masyarakat. Menurut mereka, Gereja perlu hadir aktif dalam ruang maya, memanfaatkan algoritma, dan membanjiri ruang digital dengan konten-konten edukatif, inspiratif, dan sejalan dengan nilai-nilai iman.


“Anak-anak muda kini mencari jawaban atas persoalan hidup mereka melalui mesin pencari dan media sosial. Gereja harus memastikan bahwa jawaban yang mereka temukan adalah informasi yang benar, meneguhkan, dan membangun pengharapan,” ujar Prof Eko.


Di akhir pemaparan, Romo Wayan mengingatkan, di tengah dinamika digital, komunitas nyata tak boleh diabaikan. “Komunitas tatap muka tetap penting. Relasi yang dibangun secara langsung di lingkungan gereja dan masyarakat adalah pondasi untuk membangun komunikasi yang sehat, baik di dunia nyata maupun digital,” katanya.


Seminar ini menjadi ruang refleksi atas tantangan komunikasi modern sekaligus upaya bersama menyuarakan pesan damai di tengah kegaduhan informasi. Pesan utamanya jelas: umat Katolik dipanggil menjadi komunikator pengharapan di era digital, dengan komunikasi yang lembut, jujur, dan membangun relasi.

Gambar diambil dari Kalvari.org


Hari Raya Tritunggal Mahakudus (Minggu, 15 Juni 2025)

Bacaan I: Ams 8:22-31

Bacaan II: Rom 5:1-5

Injil: Yoh 16:12-15


Berbicara tentang Allah dalam diri-Nya sendiri mustahil dilakukan. Dalam ajaran Gereja, kita mengenal-Nya sebagai Allah Tritunggal Maha Kudus: Tiga dalam Satu dan Satu memuat Tiga namun ketiga-Nya satu kesatuan. Siapakah Dia: Bapa, Putra, Roh Kudus. Satu hakikat sebagai Allah dan mewujud dalam tiga “Pribadi” sebagai Bapa, Putra dan Roh Kudus yang masing-masing Pribadi memuat ketiga-Nya karena memiliki hakikat yang sama, yakni Allah.

Saya tidak punya perbandingan yang pas tentang Allah ini. Mungkin harusnya demikian agar saya sadar bahwa apa pun yang ada dalam pikiran manusia tidak pernah berhasil mendefinisikan Allah. Tidak mungkin si ciptaan bisa mendefinisikan Penciptanya selain hanya bisa berkata Dia adalah Penciptaku.

Namun kebersamaan dengan Tuhan Yesus selama masih berada di dunia setidaknya membantu ku memahami siapa Allah yang kita imani itu. Sering Yesus berkata aku di dalam Bapa dan Bapa di dalam Aku. Kalau kalian melihat Aku kalian telah melihat Bapa. Dan lagi sebelum Ia terangkat ke surga Ia berkata bahwa akan datang Penolong, yakni Roh Kudus yang akan mengajarkan kepada kita tentang apa yang Ia terima dari Tuhan Yesus seperti yang kita dengar dalam Injil hari ini: Ia tidak berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya, itu5lah yang akan dikatakan-Nya. Ia akan memuliakan Aku, sebab Ia akan memberitakan kepadamu apa yang diterima-Nya dari pada-Ku. Lagi kata Yesus: Segala sesuatu yang Bapa punya adalah kepunyaan-Ku, sebab itu aku berkata: Ia akan memberitakan kepadamu apa yang Dia terima dari pada-Ku.

Saya berefleksi bahwa cara yang paling membantu untuk memahami Allah itu ialah dengan mengalami cara berada-Nya dalam hidup kita. Dahulu kala, dalam Perjanjian Lama, Allah berada di dunia lewat sabda-Nya yang diwartakan oleh para nabi. Dalam Perjanjian Baru cara berada-Nya tampak lewat Yesus Putra-Nya, Sang Sabda yang telah menjadi daging. Dan saat Sang Sabda yang telah menjadi daging itu naik ke surga, Allah berada dalam wujud Roh, dan itu terjadi hingga kini sampai Ia datang untuk kedua kalinya.

Artinya apa? Dalam seluruh zamannya kita, tidak pernah sekalipun Allah tidak menyertai kita. Kini wujud penyertaan-Nya dalam Roh dan hebatnya itu ada dalam diri kita masing-masing karenanya kita pun disebut Bait-Nya Allah.

Karena itu, saya selalu berdoa kepada Allah yang ada dalam diriku ini untuk selalu membantuku membuka hati pada penyertaan-Nya yang sungguh pasti itu. Supaya dalam setiap langkah hidupku, aku boleh berkenan di hadapan-Nya.

Aku juga memohon bantuan-Nya, pengampunan-Nya atas semua dosa yang kulakukan sambil berjanji untuk juga menyalurkan pengampunan-Nya itu kepada sesama yang disekitar yang dikemas dalam wujud kasih.

 





Homili Hari Raya Allah Tritunggal

15 Juni 2025

Cinta Allah Tritunggal

Yohanes 16:12-15

*************************

Kesaksian Manusia Terbelakang

Pada suatu hari, dua pria yang bersahabat kental (berasal dari daerah miskin dan kolotan): seorang dari wilayah Timor dan seorang berasal dari wilayah Barat berlanglangbuana ke seluruh wilayah Nusantara mulai dari ujung Barat hingga di ujung Timur. Sebelum bergerak ke arah Timur, mereka sempat mampir di Taman Buah Mekar Sari di Cibubur. Dari rekannya di Jakarta, kedua pria kolotan ini sudah mendengar kisah mengenai Taman buah itu. Karena itu, mereka sudah memiliki gambaran umum mengenai keadaan pepohonan yang berada di taman yang indah itu.

Namun, apa yang mereka bayangkan masih jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Setibanya di gerbang masuk, si pria dari Timur setengah berteriak penuh keheranan, “Kurang ajar… sungguh luar biasa, buah pisang saja sebesar kaki gajah!

Mendengar itu, si pria dari barat langsung menyambar, “Oh tahe, jangan ngawur. Itu bukan buah pisang benaran. Buah-buah itu terbuat dari kayu dan fungsinya sebagai hiasan atau pajangan belaka! Akhirnya, keduanya meledak tertawa.

Ketika berkeliling dengan kereta gantung, kedua pemuda kampungan itu tak henti-hentinya berdecak kagum menyaksikan bagaimana keadaan pohon-pohon di taman itu yang dipelihara dan diperlakukan secara istimewa. Yang lebih mengherankan, ketika mereka melewati bagian rumah kaca. Si pria kampungan dari Timur tidak mampu menahan rasa gatal hatinya untuk menggerutu.

“Aduh, manusia di Timur sana boleh menderita karena tinggal di gubuk reot, bahkan sangat miskin dan menderita; sementara di sini, tomat dan cabe saja boleh tinggal di rumah kaca yang super mewah. Dunia ini sungguh-sungguh sudah terbalik”.

Belum lagi si pria kampungan dari Timur selesai bicara, situasi keduanya semakin tegang ketika mereka melewati jejeran pohon kedondong. Dengan mata membelalak, si pria kampungan dari barat menyaksikan rapihnya barisan pohon kedondong; semuanya kecil-kecil; tingginya tak sampai semeter, namun sarat dengan buah. Hampir semuanya tak berdaun. Sementara itu, di samping setiap pohon kedondong, berdiri tegak sebatang kran air.

Dalam keadaan setengah sadar, si pria kampungan dari barat, “Amang tahe, Ini sungguh-sungguh keterlaluan. Kami di dusun boleh menderita karena kekurangan, bahkan ketiadaan air. Padahal, di sini, setiap pohon mempunyai satu kran air. Duhai Dewi keadilan. Kapan engkau melawat ke pulau kami?

Hampir banyak hal yang membuat mereka terdecak kagum dan keheranan. Namun, mereka hanya bisa berbisik… tidak jelas apa yang mereka katakan. Dari Taman Buah Mekar Sari, kedua pemuda kampungan  bergerak menuju wilayah istana presiden-Cendana. Sesampainya di sana, mereka semakin terdecak kagum mencium harumnya wangi cendana. Si pria kampungan dari timur yang sungguh-sungguh mengenal aroma cendana dan watak penghuni cendala, angkat bicara, Wangi cendana ini merupakan simbol kemewahan dan kemegahan. Sebagaimana watak pohon cendana itu: angkuh, egois, menganggap diri yang terbaik, dan suka menyepelekan bahkan mematikan daya hidup pohon-pohon yang bertumbuh di sekitarnya, demikian juga dengan watak keluarga cendana ini: mereka sering mengorbankan orang lain supaya mereka bisa hidup seenaknya. Mengapa ini terjadi? Akar persoalannya hanya satu, yaitu karena manusia selalu memperlakukan pohon ini lebih baik daripada pohon yang lain sehingga keluarga ini berpikir bahwa merekalah yang paling baik, benar dalam segala hal, juga apabila mereka berdusta dan berlaku curang.”

Mendengar penjelasan dan analisa yang yang tajam dan kritis akan situasi yang ada, si pria kampungan dari barat langsung menyabar dengan argumennya, “Ya, saya kira, aroma hidup cendana itu, bukan hanya berada di Jakarta ini; bahkan sekarang aromanya lebih menyengat di tanah kita, di pelosok Timur dan Barat. Sebab, pola hidup cendana yang suka mengesampingkan, mengabaikan dan meniadakan manusia kecil ada di sana.”

Tiada Cinta: Manusia saling Mencabik

Adalah benar analisis kedua pemuda kampungan mengenai situasi yang ada bahwa aroma cendana; pola hidup keluarga cendana dan pola hidup para pejabat, saat ini, harum semerbak di tanah ini. Penderitaan, kemiskinan, upaya untuk mengesampingkan dan mengabaikan rakyat kecil sungguh mencolok di tanah ini. Mengapa tabiat hidup ini bisa semerbak di tanah ini? Duduk persoalannya terletak pada satu kata, yaitu cinta. Ketiadaan cinta dalam hati kita, menyebabkan mencuatnya sikap egois; tidak peduli, saling mengabaikan, tidak saling memberikan hati; tidak adanya kekompakkan untuk saling membantu dan memperhatikan antara satu dengan yang lain.

Inti Pesan Yesus

Sebelum kenaikan-Nya ke Surga, Yesus mengungkapkan keinginan-Nya yang paling mendalam, yaitu agar semua pengikut-Nya bersatu dalam mengemban misi kasih-Nya kepada dunia; mewartakan Kerajaan Allah kepada segenap bangsa manusia. Cita-cita, dambaan dan harapan Yesus akan terpenuhi apabila kita memiliki sikap peduli; saling memperhatikan, tidak saling mengabaikan antara satu dengan yang lainnya. Sikap ini hanya mungkin terpupuk apabila kita dituntut untuk melihat diri kita dalam diri sesama yang lain. Dalam hal ini, teladan yang patut kita tiru adalah persatuan antara Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kita yakin dan beriman akan Allah Esa, namun tiga pribadi. Allah yang Esa adalah Allah yang satu dalam cinta, satu dalam karya dan satu dalam kebijakan. 

 

Allah: Satu dalam Cinta, Kebijakan dan Karya

Beriman kepada Allah Trinitas berarti beriman kepada kesatuan dan kekuatan cinta Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kesatuan dan kekuatan cinta Trinitas menjadi Sumber Kerukunan, Kekompakan dan Keakraban; karena dalam Cinta, Bapa, Putera dan Roh Kudus saling Ber-Ada, Saling Menemukan diri, Satu dalam Yang Lain. Bapa menemukan diri-Nya di dalam Putera dan Roh Kudus; Putera menemukan diri-Nya di dalam Bapa dan Roh Kudus; dan Roh Kudus menemukan diri-Nya di dalam Bapa dan Putera. "Dalam Bapa ada Putera dan Roh Kudus, di dalam Putera ada Bapa dan Roh Kudus; dan di dalam Roh Kudus ada Bapa dan Putera" (Yoh.16:15; 17:21-23).

Inilah wujud kesatuan Trinitas: satu dalam cinta, satu dalam kebijakan dan satu dalam karya. Misteri kesatuan Trinitas ini terpupuk karena Bapa, Putera dan Roh Kudus menemukan diri-Nya dalam yang lain. Terlaksananya karya keselamatan Allah bagi dunia merupakan wujud kesatuan dan kekuatan cinta Trinitas karena dalam kesatuan dan kekuatan cinta Trinitas lahirlah kesatuan dalam kebijakan dan karya, yaitu penyelamatan umat manusia: Allah yang satu dan sempurna tidak hanya menciptakan segala sesuatu, tetapi selalu mencintai, menjaga, merawat, meluruskan, memperbaiki dan memperbaharui semua ciptaan-Nya yang telah rusak karena keterbatasannya sebagai ciptaan. Selain menciptakan, mencintai, meluruskan dan memperbaiki, Allah yang sempurna itu juga menuntun, membimbing, mengarahkan dan menyucikan segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya sehingga bisa sampai pada tujuan dalam keadaan yang layak untuk bersatu kembali dengan Penciptanya. Dengan kata lain, Allah yang sempurna adalah Allah yang mencipta, mencinta, menebus dan menyucikan. Inilah kodrat, sifat yang melekat dalam Allah Tritunggal.

Rahasia hubungan di antara ketiganya tersirat dalam hubungan segitiga cinta yang terjalin erat dan rapih di antara mereka. Inilah pesona iman yang hanya tersingkap purna ketika kita sendiri masuk dalam dan menjadi bagian dari jalinan cinta segitiga Ilahi itu.

 

Cinta Trinitas dalam Kehidupan Beriman

Bagi kita, beriman kepada Allah Trinitas harus diwujudkan dan harus bermakna di dalam kehidupan karya dan kebijakan yang penuh cinta serbagaimana cinta itu mempersatukan Bapa, Putera dan Roh Kudus.

o   Sebagai orang Katolik, kita harus percaya akan kekuatan cinta yang menjadi dasar dan jiwa kehidupan kita.

o   Kita harus percaya bahwa kekuatan cinta hanya mampu menciptakan kesatuan, kerukunan, keakraban dan kekompakan apabila kekuatan cinta itu memampukan setiap orang katolik untuk menemukan diri kita dalam yang lain; apabila suami melihat dan menemukan dirinya di dalam diri istri dan anak-anaknya; apabila istri melihat dirinya di dalam diri suami dan anak-anaknya dan apabila anak-anak mlihat diri mereka di dalam diri ayah dan ibu mereka sendiri; dan apabila kita melihat dan menemukan wajah keluarga kita dalam keluarga yang lain.

o   Jika kita cenderung mempertahankan kepentingan diri kita sendiri; melihat diri kita berbeda dari yang lain serta tidak mampu melihat diri kita dalam diri orang lain: suami berbeda dari istri, istri berbeda dari suami, suami-istri melihat diri berbeda dari anak-anak, keluarga saya berbeda dari yang lain, maka perbedaan, pertentangan dan percecokan akan senantiasa terjadi.

o   Kesatuan, kerukunan dan kekompakan dalam kehidupan bersama hanya mungkin terbina apabila kita hidup sesuai sifat Trinitas, yaitu menemukan diri kita dalam yang lain.

 

Helen Troya

Di antara kita pasti yang ingat akan kisah mengenai seorang Ratu yang bernama Helen Troya. Karena kecantikan dan darah ningrat yang mengalir dalam dirinya, maka pada suatu saat Helen diculik dan menjadi seorang korban amnesia. Helen menjadi seorang pelacur jalanan. Helen lupa akan namanya sendiri; ia lupa akan kenyataan dirinya sebagai seorang putri yang berdarah ningrat. Namun, seluruh rakyat dan sahabat-sahabatnya yang sangat mencintainya tidak pernah menyerah untuk mengembalikannya ke negeri asalnya.

Seorang pria, sahabat karibnya yakin bahwa Helen masih hidup. Untuk itu, ia bekeras untuk mencarinya. Da tidak kehilangan harapan. Pada suatu hari, ketika sedang menelusuri jalan di kota, pria itu tiba di sebuah pelabuhan. Di sana, dia melihat seorang wanita malang dengan pakaian compang-camping dan wajah keriputan. Getaran hatinya meyakinkan dirinya bahwa dia pernah mengenal wanita itu. Dengan penuh keyakinan, dia mendekati wanita itu dan bertanya, “Siapakah namamu? Wanita itu menyebut namanya yang sama sekali tidak dikenal oleh pria itu. Pria itu tidak kehilangan akal; dia berbalik bertanya, “Bolehkah saya melihat tanganmu? Wanita itu mengulurkan tangannya. Melihat kedua belah tangannya, pria itu tersentak dan spontak berkata, “Engkau Helen! Engkau Helen! Apakah engkau ingat?

Wanita itu memandang pria yang berada di hadapannya dengan penuh keheranan. “Helen! Serunya. Kemudian, kabut seakan tersibak. Wanita itu tampaknya mulai mengingat sesuatu. Kesadarannya mulai muncul. Secara perlahan, dia mulai menemukan kembali dirinya yang hilang; dia merangkul sahabatnya dan menangis. Dia membuang pakaiannya yang compang camping dan sekali lagi diangkat menjadi Ratu sebagaimana saat dia dilahirkan.

*****************************

Pesan Iman

Hidup ini terasa indah, jika kita saling mencari dan menemukan sesama kita. Hidup ini akan terasa lebih indah lagi jika kita selalu berusaha untuk meyakinkan sesama akan nilai sesama kita dan bahu-membahu memajukan kepentingan bersama, bukan mengabaikan. Inilah wujud cinta Trinitas.

 

Selamat Bermenung

Salam kasih

Buona Domenica

Dio Ti Benedica

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget