Homili Hari Raya Allah Tritunggal, 15 Juni 2025 Cinta Allah Tritunggal Yohanes 16:12-15, Romo Very Ara

 





Homili Hari Raya Allah Tritunggal

15 Juni 2025

Cinta Allah Tritunggal

Yohanes 16:12-15

*************************

Kesaksian Manusia Terbelakang

Pada suatu hari, dua pria yang bersahabat kental (berasal dari daerah miskin dan kolotan): seorang dari wilayah Timor dan seorang berasal dari wilayah Barat berlanglangbuana ke seluruh wilayah Nusantara mulai dari ujung Barat hingga di ujung Timur. Sebelum bergerak ke arah Timur, mereka sempat mampir di Taman Buah Mekar Sari di Cibubur. Dari rekannya di Jakarta, kedua pria kolotan ini sudah mendengar kisah mengenai Taman buah itu. Karena itu, mereka sudah memiliki gambaran umum mengenai keadaan pepohonan yang berada di taman yang indah itu.

Namun, apa yang mereka bayangkan masih jauh dari kenyataan yang sesungguhnya. Setibanya di gerbang masuk, si pria dari Timur setengah berteriak penuh keheranan, “Kurang ajar… sungguh luar biasa, buah pisang saja sebesar kaki gajah!

Mendengar itu, si pria dari barat langsung menyambar, “Oh tahe, jangan ngawur. Itu bukan buah pisang benaran. Buah-buah itu terbuat dari kayu dan fungsinya sebagai hiasan atau pajangan belaka! Akhirnya, keduanya meledak tertawa.

Ketika berkeliling dengan kereta gantung, kedua pemuda kampungan itu tak henti-hentinya berdecak kagum menyaksikan bagaimana keadaan pohon-pohon di taman itu yang dipelihara dan diperlakukan secara istimewa. Yang lebih mengherankan, ketika mereka melewati bagian rumah kaca. Si pria kampungan dari Timur tidak mampu menahan rasa gatal hatinya untuk menggerutu.

“Aduh, manusia di Timur sana boleh menderita karena tinggal di gubuk reot, bahkan sangat miskin dan menderita; sementara di sini, tomat dan cabe saja boleh tinggal di rumah kaca yang super mewah. Dunia ini sungguh-sungguh sudah terbalik”.

Belum lagi si pria kampungan dari Timur selesai bicara, situasi keduanya semakin tegang ketika mereka melewati jejeran pohon kedondong. Dengan mata membelalak, si pria kampungan dari barat menyaksikan rapihnya barisan pohon kedondong; semuanya kecil-kecil; tingginya tak sampai semeter, namun sarat dengan buah. Hampir semuanya tak berdaun. Sementara itu, di samping setiap pohon kedondong, berdiri tegak sebatang kran air.

Dalam keadaan setengah sadar, si pria kampungan dari barat, “Amang tahe, Ini sungguh-sungguh keterlaluan. Kami di dusun boleh menderita karena kekurangan, bahkan ketiadaan air. Padahal, di sini, setiap pohon mempunyai satu kran air. Duhai Dewi keadilan. Kapan engkau melawat ke pulau kami?

Hampir banyak hal yang membuat mereka terdecak kagum dan keheranan. Namun, mereka hanya bisa berbisik… tidak jelas apa yang mereka katakan. Dari Taman Buah Mekar Sari, kedua pemuda kampungan  bergerak menuju wilayah istana presiden-Cendana. Sesampainya di sana, mereka semakin terdecak kagum mencium harumnya wangi cendana. Si pria kampungan dari timur yang sungguh-sungguh mengenal aroma cendana dan watak penghuni cendala, angkat bicara, Wangi cendana ini merupakan simbol kemewahan dan kemegahan. Sebagaimana watak pohon cendana itu: angkuh, egois, menganggap diri yang terbaik, dan suka menyepelekan bahkan mematikan daya hidup pohon-pohon yang bertumbuh di sekitarnya, demikian juga dengan watak keluarga cendana ini: mereka sering mengorbankan orang lain supaya mereka bisa hidup seenaknya. Mengapa ini terjadi? Akar persoalannya hanya satu, yaitu karena manusia selalu memperlakukan pohon ini lebih baik daripada pohon yang lain sehingga keluarga ini berpikir bahwa merekalah yang paling baik, benar dalam segala hal, juga apabila mereka berdusta dan berlaku curang.”

Mendengar penjelasan dan analisa yang yang tajam dan kritis akan situasi yang ada, si pria kampungan dari barat langsung menyabar dengan argumennya, “Ya, saya kira, aroma hidup cendana itu, bukan hanya berada di Jakarta ini; bahkan sekarang aromanya lebih menyengat di tanah kita, di pelosok Timur dan Barat. Sebab, pola hidup cendana yang suka mengesampingkan, mengabaikan dan meniadakan manusia kecil ada di sana.”

Tiada Cinta: Manusia saling Mencabik

Adalah benar analisis kedua pemuda kampungan mengenai situasi yang ada bahwa aroma cendana; pola hidup keluarga cendana dan pola hidup para pejabat, saat ini, harum semerbak di tanah ini. Penderitaan, kemiskinan, upaya untuk mengesampingkan dan mengabaikan rakyat kecil sungguh mencolok di tanah ini. Mengapa tabiat hidup ini bisa semerbak di tanah ini? Duduk persoalannya terletak pada satu kata, yaitu cinta. Ketiadaan cinta dalam hati kita, menyebabkan mencuatnya sikap egois; tidak peduli, saling mengabaikan, tidak saling memberikan hati; tidak adanya kekompakkan untuk saling membantu dan memperhatikan antara satu dengan yang lain.

Inti Pesan Yesus

Sebelum kenaikan-Nya ke Surga, Yesus mengungkapkan keinginan-Nya yang paling mendalam, yaitu agar semua pengikut-Nya bersatu dalam mengemban misi kasih-Nya kepada dunia; mewartakan Kerajaan Allah kepada segenap bangsa manusia. Cita-cita, dambaan dan harapan Yesus akan terpenuhi apabila kita memiliki sikap peduli; saling memperhatikan, tidak saling mengabaikan antara satu dengan yang lainnya. Sikap ini hanya mungkin terpupuk apabila kita dituntut untuk melihat diri kita dalam diri sesama yang lain. Dalam hal ini, teladan yang patut kita tiru adalah persatuan antara Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kita yakin dan beriman akan Allah Esa, namun tiga pribadi. Allah yang Esa adalah Allah yang satu dalam cinta, satu dalam karya dan satu dalam kebijakan. 

 

Allah: Satu dalam Cinta, Kebijakan dan Karya

Beriman kepada Allah Trinitas berarti beriman kepada kesatuan dan kekuatan cinta Bapa, Putera dan Roh Kudus. Kesatuan dan kekuatan cinta Trinitas menjadi Sumber Kerukunan, Kekompakan dan Keakraban; karena dalam Cinta, Bapa, Putera dan Roh Kudus saling Ber-Ada, Saling Menemukan diri, Satu dalam Yang Lain. Bapa menemukan diri-Nya di dalam Putera dan Roh Kudus; Putera menemukan diri-Nya di dalam Bapa dan Roh Kudus; dan Roh Kudus menemukan diri-Nya di dalam Bapa dan Putera. "Dalam Bapa ada Putera dan Roh Kudus, di dalam Putera ada Bapa dan Roh Kudus; dan di dalam Roh Kudus ada Bapa dan Putera" (Yoh.16:15; 17:21-23).

Inilah wujud kesatuan Trinitas: satu dalam cinta, satu dalam kebijakan dan satu dalam karya. Misteri kesatuan Trinitas ini terpupuk karena Bapa, Putera dan Roh Kudus menemukan diri-Nya dalam yang lain. Terlaksananya karya keselamatan Allah bagi dunia merupakan wujud kesatuan dan kekuatan cinta Trinitas karena dalam kesatuan dan kekuatan cinta Trinitas lahirlah kesatuan dalam kebijakan dan karya, yaitu penyelamatan umat manusia: Allah yang satu dan sempurna tidak hanya menciptakan segala sesuatu, tetapi selalu mencintai, menjaga, merawat, meluruskan, memperbaiki dan memperbaharui semua ciptaan-Nya yang telah rusak karena keterbatasannya sebagai ciptaan. Selain menciptakan, mencintai, meluruskan dan memperbaiki, Allah yang sempurna itu juga menuntun, membimbing, mengarahkan dan menyucikan segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya sehingga bisa sampai pada tujuan dalam keadaan yang layak untuk bersatu kembali dengan Penciptanya. Dengan kata lain, Allah yang sempurna adalah Allah yang mencipta, mencinta, menebus dan menyucikan. Inilah kodrat, sifat yang melekat dalam Allah Tritunggal.

Rahasia hubungan di antara ketiganya tersirat dalam hubungan segitiga cinta yang terjalin erat dan rapih di antara mereka. Inilah pesona iman yang hanya tersingkap purna ketika kita sendiri masuk dalam dan menjadi bagian dari jalinan cinta segitiga Ilahi itu.

 

Cinta Trinitas dalam Kehidupan Beriman

Bagi kita, beriman kepada Allah Trinitas harus diwujudkan dan harus bermakna di dalam kehidupan karya dan kebijakan yang penuh cinta serbagaimana cinta itu mempersatukan Bapa, Putera dan Roh Kudus.

o   Sebagai orang Katolik, kita harus percaya akan kekuatan cinta yang menjadi dasar dan jiwa kehidupan kita.

o   Kita harus percaya bahwa kekuatan cinta hanya mampu menciptakan kesatuan, kerukunan, keakraban dan kekompakan apabila kekuatan cinta itu memampukan setiap orang katolik untuk menemukan diri kita dalam yang lain; apabila suami melihat dan menemukan dirinya di dalam diri istri dan anak-anaknya; apabila istri melihat dirinya di dalam diri suami dan anak-anaknya dan apabila anak-anak mlihat diri mereka di dalam diri ayah dan ibu mereka sendiri; dan apabila kita melihat dan menemukan wajah keluarga kita dalam keluarga yang lain.

o   Jika kita cenderung mempertahankan kepentingan diri kita sendiri; melihat diri kita berbeda dari yang lain serta tidak mampu melihat diri kita dalam diri orang lain: suami berbeda dari istri, istri berbeda dari suami, suami-istri melihat diri berbeda dari anak-anak, keluarga saya berbeda dari yang lain, maka perbedaan, pertentangan dan percecokan akan senantiasa terjadi.

o   Kesatuan, kerukunan dan kekompakan dalam kehidupan bersama hanya mungkin terbina apabila kita hidup sesuai sifat Trinitas, yaitu menemukan diri kita dalam yang lain.

 

Helen Troya

Di antara kita pasti yang ingat akan kisah mengenai seorang Ratu yang bernama Helen Troya. Karena kecantikan dan darah ningrat yang mengalir dalam dirinya, maka pada suatu saat Helen diculik dan menjadi seorang korban amnesia. Helen menjadi seorang pelacur jalanan. Helen lupa akan namanya sendiri; ia lupa akan kenyataan dirinya sebagai seorang putri yang berdarah ningrat. Namun, seluruh rakyat dan sahabat-sahabatnya yang sangat mencintainya tidak pernah menyerah untuk mengembalikannya ke negeri asalnya.

Seorang pria, sahabat karibnya yakin bahwa Helen masih hidup. Untuk itu, ia bekeras untuk mencarinya. Da tidak kehilangan harapan. Pada suatu hari, ketika sedang menelusuri jalan di kota, pria itu tiba di sebuah pelabuhan. Di sana, dia melihat seorang wanita malang dengan pakaian compang-camping dan wajah keriputan. Getaran hatinya meyakinkan dirinya bahwa dia pernah mengenal wanita itu. Dengan penuh keyakinan, dia mendekati wanita itu dan bertanya, “Siapakah namamu? Wanita itu menyebut namanya yang sama sekali tidak dikenal oleh pria itu. Pria itu tidak kehilangan akal; dia berbalik bertanya, “Bolehkah saya melihat tanganmu? Wanita itu mengulurkan tangannya. Melihat kedua belah tangannya, pria itu tersentak dan spontak berkata, “Engkau Helen! Engkau Helen! Apakah engkau ingat?

Wanita itu memandang pria yang berada di hadapannya dengan penuh keheranan. “Helen! Serunya. Kemudian, kabut seakan tersibak. Wanita itu tampaknya mulai mengingat sesuatu. Kesadarannya mulai muncul. Secara perlahan, dia mulai menemukan kembali dirinya yang hilang; dia merangkul sahabatnya dan menangis. Dia membuang pakaiannya yang compang camping dan sekali lagi diangkat menjadi Ratu sebagaimana saat dia dilahirkan.

*****************************

Pesan Iman

Hidup ini terasa indah, jika kita saling mencari dan menemukan sesama kita. Hidup ini akan terasa lebih indah lagi jika kita selalu berusaha untuk meyakinkan sesama akan nilai sesama kita dan bahu-membahu memajukan kepentingan bersama, bukan mengabaikan. Inilah wujud cinta Trinitas.

 

Selamat Bermenung

Salam kasih

Buona Domenica

Dio Ti Benedica

 

 

Alfonsus Very Ara, Pr

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget