Minggu Biasa XXX, 26 Oktober 2025 (Romo Very Ara) Dia Hanya Mengatakan Kebenaran tentang Dirinya, Sirakh 35:12-14.16-18 Mazmur 24:1-2.3-4b.5-6 2 Timoteus 4:6-8.16-18 Lukas 18,9-14

 


Minggu Biasa XXX, 26 Oktober 2025

Dia Hanya Mengatakan Kebenaran tentang Dirinya

Sirakh 35:12-14.16-18

Mazmur 24:1-2.3-4b.5-6

2 Timoteus 4:6-8.16-18

Lukas 18,9-14

***************************

 

Pada suatu ketika, anak-anak katak bermain di sisi sebuah kolam. Mereka berlompat-lompat riang di sekitar bunga-bunga yang tumbuh di seputar kolam itu.

Tidak beberapa lama berselang, kawanan ternak sapi merumput di sisi kolam yang sama. Seekor sapi besar bergerak menuju kolam untuk meminum air. Kakinya yang besar masuk ke dalam lumpur, menginjak dan menewaskan puluhan anak katak.

Melihat kenyataan tragis situ, beberapa anak katak yang masih hidup berlari dan melaporkan peristiwa naas yang menimpah saudaranya itu kepada ibunya. Mendengar berita itu, tubuh ibunya gemetaran karena marah, “Binatang semacam apakah itu yang leluasa mamasuki wilayah kita dan membunuh anak-anak saya?

Anak katak itu menjelaskan, “Bu, binatang itu sangat besar”.

Ibunya dengan angkuh berkata, “Sebesar apa pun binatang itu, saya akan membuat diri saya lebih besar darinya! Dan saya akan membunuhnya!

Tanpa berpikir panjang, ibu katak itu mulai mengisi perutnya dengan udara. Dia menghirup udara sebanyak-banyaknya sehingga perut dan tubuhnya tampak membesar. Sambil menahat napasnya, ibu katak itu bertanya kepada anak-anaknya, “Apakah makhluk itu sebesar ini?

Anak-anaknya berkata, “Oh ibu, dia lebih besar lagi, sebesar gunung. Apabila ibu menghirup udara lebih banyak lagi, perut ibu akan meledak!

Tetapi, ibu katak itu tidak peduli dengan peringatan anak-anaknya, dia menutup matanya dan berusaha menghirup udara sebanyak-banyaknya ke dalam perutnya. Akibatnya, rupanya mulai tampak mengerikan dan seketika itu juga perutnya meledak.

Suku bangsa katak berduka cita atas kematian ibu mereka. Melihat kenyataan itu, ibu katak yang lain menggelengkan kepala dan berkata, “Apa gunanya memasukan udara hingga perut meledak. Kalaupun dia bisa menjadi besar seperti sapi, musuhnya, ternyata yang ada di dalam perutnya hanyalah angin ambisi, angin, persaingan, angin kesombongan, angin kebohongan dan kemunafikan justru yang membawa maut bagi diri sendiri. Dengan memasukan angin-angin itu, dia tidak menerima diri bahwa dirinya kecil, oke dan hebat sehingga mampu melawan yang besar. Kenyataannya, kesombongan, kebohongan, kemunafikan dan ambisi justru merenggut nyawanya sendiri.”

*****************************

 

Satu hikmah berarti yang bisa dipetik dari kisah nyata ini adalah kenyataan diri kita sendiri yang merasa diri oke, hebat di hadapan siapa pun, termasuk di hadapan Allah, apabila diracuni oleh ambisi, kesombongan, keangkuhan dan tipu daya. Patut diakui bahwa kita semua diciptakan untuk oke, sehingga tidak pernah merasa krasan dengan ketidak-oke-annya. Reaksi yang muncul kala merasa dirinya tidak berada dalam keadaan oke adalah mengubah keadaan diri menjadi: Saya Oke dan Anda Tidak. Manusia berdalih sampai pada keputusan untuk memutar sebuah sakelar mental untuk meyakinkan bahwa dirinya berada dalam status oke. Dengan berbuat demikian, seorang manusia terpaksa menempatkan sesama dalam keadaan tidak oke. Akibatnya, seluruh hidup manusia diwarnai oleh permusuhan demi mempertahankan harga dirinya sehingga tetap berada dalam situasi oke. Dengan mengembangkan mental-sikap, Saya Oke, Anda Tidak, manusia menjadi egois, angkuh, meninggikan diri dan menganggap remeh dan rendah orang lain. Akibatnya, manusia terus bersaing dan berupaya semampu mungkin untuk mencapai rasa okenya sendiri dengan mengambil sikap yang sangat radikal: saling meniadakan; membunuh.

 

o   Kalau saya tidak oke, Anda juga tidak oke…segala-galanya menjadi tidak oke. Kalau yang satu punya mobil Mercedes, saya harus double Mercedes.

o   Kalau yang satu pakai parfum dari Paris, saya pakai parfum…?

 

Sikap radikal ini menghancurkan hubungan antar pribadi dalam kehidupan manusia sendiri. Tingginya rasa ego manusia menyebabkan manusia tidak mau menyesuaikan dirinya dengan situasi, bahkan mendorongnya untuk menghancurkan sesamanya.

Cerita mengenai orang Farisi dan Pemungut Cukai merupakan cerminan kehidupan kita sendiri. Orang Farisi berdiri di hadapan Allah sambil memuji, mengakui dan membenarkan dirinya di hadapan Allah: Saya tidak seperti Pemungut Cukai itu: Saya Oke, Dia Tidak Oke. Orang Farisi berhubungan dengan Allah ibarat orangtua berhubungan dengan anaknya. Orang Farisi mengatakan kepada Allah segala sesuatu yang baik tentang dirinya: berpuasa, memberikan derma, berdoa dan lainnya. Orang, dalam nada tertentu, hampir menuntut Allah untuk memuji dirinya. Dengan memperbandingkan dirinya dengan Pemungut Cukai, orang Farisi mengakui, “Saya Oke, Pemungut Cukai Tidak.” Dengan ini, orang Farisi menunjukkan dirinya sebagai seorang anak manusia yang sungguh saleh.

Sedangkan Pemungut Cukai sangat lain penampilannya. Dia berdiri di hadapan Allah dengan perasaan malu. Dia hanya mengatakan kebenaran tentang dirinya sendiri. Saya  tahu bahwa saya adalah seorang pendosa. Saya Tidak Oke. Pemungut Cukai berdiri di hadapan Allah ibarat seorang anak berhadapan dengan orangtuanya. Dengan rendah hati dia mengakui bahwa diatelah berbuat dosa, melakukan tindakan penyelewengan  terhadap tugas dan karyanya sebagai seorang pegawai kecil pemerintah, seorang pemungut pajak. Dia jujur terhadap dirinya sendiri, karena percaya seutuhnya akan cinta dan belaskasih Allah.

Seandainya Yesus hadir dan bertanya kepada kita, “siapakah dalam pandangan kita yang kembali ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah? Barangkali, ada yang denga spontan menjwab, “orang Farisi”. Dengan nada lantang, Yesus akan menjawab, “Anda keliru!. Pemungut Cukai adalah orang yang kembali ke rumahnya sebagai orang yang dibenarkan Allah. Kita tentu  protes, bagaimana itu mungkin?Yesus akan memberikan jawaban yang meyakinkan, “Setiap orang yang meninggikan diri akan direndahkan, akan tetapi setiap orang yang merendahkan dirinya akan ditinggikan.”

Kita tentu bertanya, “Salahkah kita berterim kasih kepada Allah karena kita sudah berbuat baik? Apakah yang salah dalam doa orang Farisi? Ada dua hal yng perlu dicatat:

Pertama: orang Farisi berpura-pura memuji Allah karena kebajikannya. “Saya berterima kasih kepada Allah…Dia menyatakan dirinya di hadapan Allah bahwa dia adalah orang hebat; dia meninggikan dirinya di hadapan Allah. Ini nyata dalam sikapnya yang membandingkan dirinya dengan Pemungut Cukai, “Saya tidak seperti orang lain itu…”

Kedua: Dengan membanding-bandingkan dirinya dengan Pemungut Cukai, sesungguhnya orang Farisi itu sudah menghukum Pemungut Cukai itu sendiri. Inilah adalah cacat besar yang terungkap dalam doanya.

Kesombongan meracuni orang Farisi dan justru berakar pada inti pribadinya sendiri, yaitu hatinya sehingga menular dalam perkataan dan perbuatan baiknya. Hatinya sudah membengkak dan mengeras akibat penyakit kesombongan dan keangkuhannya.

Pemungut Cukai mengakui kebenaran dirinya dengan jujur dan rendah hati, “Tuhan Kasihanilah Aku. Aku tahu bahwa aku ini orang berdosa.” Pemungut Cukai sangt realistis, jujur terhadap dirinya sendiri, Tuhan dan sesamanya. Dia mengakui dan menerima diri apa adanya.

Belajar dari dua sikap-mental ini, kita diajak oleh penginjil untuk menumbuhkan sikap rendah hati. Sikap ini menjadi lahan subur untuk menumbuhkan benih-benih kebajikan dalam diri kita. Tanpa sikap rendah hati, ambisi, kesombongan dan keangkuhan akan senantiasa menyusup masuk ke dalam diri kita yang saleh sehingga bertumbuh menjadi penyakit kesombongan rohani: menganggap diri Oke, bersih dan selalu membandingkan diri dengan orang lain: Saya bersih, Anda kotor, dalam diri Anda sudah ada cacat, bekas luka; Saya terang, Anda Gelap. Dengan menguatnya sikap ini, maka tidak jarang kita selalu bertaru dan bersaing, saling memotong jalan, saling memangkas kesempatan, saling menghalangi, saling menarik kaki sehingga mereka tidak pernah keluar dari situasi keterbelakangan… tetap terbelenggu dalam kemiskinan, kebododhan dan kemelaratan. Mana mungkin kita berkembang apabila senantiasa menarik kaki sesama yang lain, hanya supaya dirinya yang maju; menjadi manusia nomor satu, lebih oke dari yang lain?

 

Buona Domenica..

Selamat Bermenung...

Salam Kasih...

Dio Ti Benedica...

 

Alfonsus Very Ara, Pr

 

 

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget