Hari Raya Kemerdekaan Republik Indonesia
17 Agustus 2025
“Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib
kamu kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah”
Sirakh 10:1-8; Mazmur 101:1a.2ac.3a.7.7; 1 Petrus
2:13-17
Matius 22:15-21
*******************************
Kisah
ini terjadi pada tahun 1997. Seorang ibu datang ke pastoran dan marah-marah
kepada seorang Imam muda karena melihat gambar mantan Presiden Soeharto masih
terpancang di dinding ruangan tengah pastoran. Ketika ditanya, sang ibu
menjawab, "tidak pantas dinding dan ruangan pastoran yang bersih dan suci
dihiasi oleh gambar orang yang kotor, koruptor, pembunuh dan pelbagai penilaian
buruk lainnya. Pokoknya, gambar itu harus diangkat dan dibakar”.
Mendengar
comelan sang ibu, Imam muda dengan caranya yang khas berusaha memberikan
beberapa petuah dalam bentuk pertanyaan. “Ibu, apakah di dompet ibu ada uang
lima puluh ribu?
Jawab
ibu itu, “Oh, banyak”.
Imam
itu bertanya, “Apakah ibu suka dengan uang itu?
Jawab
ibu itu, “Oh, tentu!
Imam
itu berkata, “Ibu, saya hanya memancangkan gambar Soeharto di dinding pastoran,
tetapi ibu selalu membawa uang berangka lima puluh ribu yang bergambar Soeharto
ke mana-mana, bahkan menyimpannya di tempat yang paling aman supaya tidak
hilang atau kecurian. Ibu begitu benci terhadap Soeharto, tetapi sesungguhnya
ibu sangat mencintai Soeharto. Terbukti, ibu selalu membawanya ke mana-mana,
bahkan membayangkan, mendambakan dan berusaha mendapatkan uang yang berangka
lima puluh ribu, yang nyatanya bergambar Soeharto itu. Inilah model sikap
manusia zaman ini: lain kata, lain perbuatan.”
*********************
Seperti ibu
dalam kisah ini, kaum Yahudi sangat membenci kaisar, wakil penjajah Romawi yang
menindas mereka, namun mereka berusaha memiliki dan membawa uang yang bergambar
Kaisar, sang penindas mereka. Ironisnya lagi, mereka membawa uang yang
bergambarkan Kaisar untuk mencobai Yesus yang sangat tidak berminat dengan
urusan uang.
Dengan
maksud mencobai Yesus, mereka pun bertanya, “Apakah diperbolehkan membayar
pajak kepada kaisar atau tidak? Pertanyaan ini diajukan kepada Yesus untuk
menjebak-Nya.
o
Seandainya Yesus menjawab “harus”,
maka seluruh masyarakat akan marah kepada-Nya. Tidak banyak manusia di dunia
ini yang suka membayar pajak, termasuk orang-orang yang menempelkan tulisan “Bayar
Pajak, Bung! di kaca mobil mereka.
o
Tetapi, seandainya Yesus menjawab
“jangan”, Dia langsung dilaporkan kepada penjajah Romawi sebagai pemberontak.
Selama 20
abad kekristenan, teks ini dibaca, ditafsir dan diartikan oleh jutaan manusia
dengan aneka ragam pengertian. Namun, perlu disadari bahwa Yesus datang ke bumi
bukan untuk mengurus pajak.
Terhadap
pertanyaan orang Yahudi yang bersifat jebakan, Yesus justru balik bertanya,
“Gambar dan lukisan siapakah ini? Mereka terpaksa menjawab, “Gambar dan tulisan
kaisar! Maka Yesus pun menjawab seadanya, “Berikanlah kepada kaisar apa yang
wajib kamu berikan kepada Kaisar! Namun ucapan ini langsung ditambahkan Yesus
dengan beberapa kata kunci: “Berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu
berikan kepada Allah! Dengan berkata demikian, Yesus meninggalkan urusan uang
yang sungguh-sungguh tidak menarik perhatian-Nya dan beralih ke urusan rohani.
Diakui bahwa
disepanjang sejarah bangsa Yahudi, relasi antara masyarakat dengan Kaisar
selalu tegang dan tidak dapat dibereskan dengan satu kalimat saja. Akar persoalannya
selalu berkaitan dengan hal yang satu ini: Uang. Kenyataan yang sama juga
dialami oleh bangsa kita ini. Selama kurun waktu 80 tahun ini, akar persoalan
yang dihadapi sama, yaitu uang.
o
Usia
80 tahun hanyalah rentatetan waktu,
namun tidak bermutu karena anak-anak bangsa ini kehilangan cita-cita luhur
untuk meraih kebebasan batin dan jasmani yang sejati . Yang diburu oleh
anak-anak bangsa ini adalah uang untuk kepentingan pribadi, partai, bahkan
agama, bukan untuk kemajuan dan kepentingan bersama bangsa ini.
o
Semakin
bertambahnya usia kemerdekaan bangsa ini, kulit anak-anak bangsa ini semakin
berkerut, jiwa anak-anak bangsa ini semakin kecut; rasa antusiasme semakin
luntur; jiwa patriotisme dan cinta akan bangsa sendiri semakin kendur-luluh
juga akibat sengitnya perjuangan, saling ganyang dan saling menjatuhkan hanya
untuk mendapatkan uang demi kepentingan pribadi, partai dan agama.
o
Tahun-tahun
panjang yang dilalui anak-anak bangsa ini penuh dengan kecemasan, kekuatiran,
ketakutan, keragu-raguan, tidak percaya diri, dan keputusasaan juga karena uang
sehingga semangat cinta akan bangsa sendiri meluntur dan melebur menjadi debu.
o
Semuanya
menundukkan kepala, sembari merenungkan nasib bangsa ini. Ini pertanda bahwa
anak-anak bangsa ini belum menikmati kemerdekaan dalam arti yang sesungguhnya
karena seluruh diri dirasuki ambisi untuk memiliki uang lebih dari yang lain
dan menjadi budak uang.
Fakta juga
menunjukkan bahwa hingga saat ini, anak bangsa ini masih dibelenggu dan dicengkeram
oleh aneka hal yang menghambat menuju perkembangan bangsa yang matang dan
mandiri serta perkembangan manusia yang lebih sejati, seperti kemiskinan,
kebodohan, ketidakadilan dan pengangguran.
o
Kemerdekaan
yang diraih delapan puluh tahun yang lalu sama sekali tidak menghapus
penindasan. Sebaliknya, di alam kemerdekaan ini beban semakin bertambah:
hutan-hutan pepohonan hijau di pelbagai wilayah gundul tidak karuan; sementara
ibu kota menjadi gemerlapan dan semakin ditumbuhi beton dengan biaya yang
disedot dari seluruh penjuru bumi pertiwi.
o
Kesenjangan
antara yang miskin dan kaya semakin melebar. Jika yang kaya bingung bagaimana
menghabiskan harta, sementara yang miskin bingung memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari. Dalam dunia kerja, si kaya mudah mendapatkan pekerjaan karena ada
koneksi dan kolusi, sementara yang miskin hanya gigit jari karena tidak
memiliki sarana dan prasarana yang diperlukan untuk menata kehidupan mereka
yang lebih manusiawi.
Seperti
manusia Yahudi, anak-anak bangsa ini lupa bahwa unsur terpenting dalam
kehidupan bersama adalah relasi yang dibangun diantara sesama manusia, antara
atasan dan bawahan, serta antara manusia dengan Allah atas kekuatan cinta,
kebenaran dan keadilan. Siapa pun saja yang membangun relasi yang akrab dengan
Allah, tidak mungkin tergila-gila dengan uang. Manusia yang demikian pasti akan
menempatkan uang pada posisi yang sesungguhnya, yaitu sebagai alat belaka. Karena
itu, bagi manusia seperti ini, perihal membayar pajak bukanlah persoalan antara
hidup dan mati.
Apa yang wajib diberikan manusia kepada Allah? Apa yang diharapkan oleh
Allah?
o
Yang wajib diberikan oleh manusia
kepada Allah adalah sesuatu yang paling sulit dilepaskan manusia, yaitu diri
kita sendiri. Manusia yang rela menyerahkan dirinya kepada Allah adalah manusia
yang menomorsatukan Allah, bukan dirinya sendiri, bukan dunia ini, bukan pula
sesuatu yang tercipta. Semua yang tercipta dapat menjadi berhala jika kita
menanggalkan relasi dengan Allah dan sesama dalam kekuatan cinta, kebenaran dan
keadilan.
o
Memberikan
kepada Allah apa yang dimiliki Allah searti dengan menyerahkan seluruh diri dan
kehidupan kita kepada Allah karena semua yang ada dalam kehidupan ini, terutama
diri kita adalah milik Allah.
o
Memberikan
kepada Allah apa yang dimiliki Allah juga serati dengan hidup dalam cinta dan
melakukan kebaikan karena cinta. Allah adalah Sang Cinta. Allah menciptakan
kita dari Isi Cinta-Nya sehingga kita menjadi Citra Cinta Allah. Apabila kita
hidup dalam cinta dan melakukan kebaikan kepada sesama karena cinta, kita
sungguh-sungguh menjadi Citra Allah serta menjadi pribadi yang merdeka; menjadi saudara bagi
sesama dalam keadaan apa pun karena melakukan perbuatan cinta dan kebaikan.
Buona Domenica..
Selamat
Bermenung...
Salam Kasih...
Dio Ti Benedica...
Alfonsus Very Ara,
Pr
Posting Komentar
Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.