Mengembalikan Fungsi Negara, Menjamin Kebebasan Beragama

P. Paulus Posma Manalu, Pr
Pada akhir tahun 2019 muncul sebuah berita viral mengenai larangan merayakan Natal di Kabupaten Dharmasraya dan Sijunjung, Sumatera Barat. Larangan tersebut menjadi berita nasional dan mendapat banyak tanggapan dari tokoh-tokoh agama mengingat Indoensia adalah Negara yang salah satu pilarnya adalah Bhineka Tunggal Ika.

Dari berbagai sumber dapat dilihat bahwa persoalan yang terjadi di kedua kabupaten dimaksud yakni adanya larangan bagi umat Kristiani melaksanakan perayaan agamanya secara terbuka, sekaligus melarang melaksanakan kebaktian secara terbuka di rumah warga dan di tempat lain di Kanagarian Sikabau. Selain itu juga terdapat ancaman jika umat Kristen tidak mengindahkan pemberitahuan dan pernyataan pemerintah Nagari, ninik mamak, tokoh masyarakat dan pemuda Nagari Sikabau akan melakukan tindakan tegas. Ada juga keharusan bagi umat Kristiani untuk mengurus izin-izin sebelum kegiatan peribadatan keagamaan dilaksanakan. Pertanyaannya adalah mengapa sudah diusia memasuki 75 tahun kemerdekaan RI kebebasan beragama belum dapat diimplementasikan  secara maksimal?

Kebebasan beragama merupakan hak fundamental setiap warga negara.  Perlindungan terhadap kebebasan tersebut diatur secara tegas dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 pasal 29 yang berbunyi: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu. Jaminan Hak Kebebasan Beragama ini kemudian dipertegas dalam Undang-Undang RI nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM). Pasal 22 ayat 1 UU no 39 tahun 1999, berbunyi: “Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”Hak kebebasan beragama merupakan salah satu hak azasi manusia yang paling penting dan utama. Sedemikian pentingnya hak ini, sehingga publik sepakat menggolongkannya dalam ketegori non-derogable right, yaitu hak azasi manusia yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam keadaan apapun.

Dua lembaga kemanusiaan yang selama ini peduli dengan hak kebebasan beragama dan berkeyakinan yakni Komisi Nasional Hak Azasi Manusia (Komnas HAM) dan Setara Institut mencatat banyaknya pelanggaran kebebasan beragama di tanah air.  Menurut laporan Komnas HAM, selama tahun 2016 terdapat 97 pengaduan menyangkut kebebasan beragama dan berkeyakinan dengan rincian sebagai berikut: 24 tempat ibadah umat Muslim, 22 kasus menyangkut anggota Jemaat Ahmadiyah Indonesia, 17 kasus tempat ibadat umat Kristen, 1 kasus kelompok penghayat kepercayaan, 1 kasus meyangkut umat Buddha. Sisanya adalah intimidasi kelompok keagamaan, sengketa tafsir, kriminalisasi dan lain sebagainya.

Negara Sebagai Aktor Intoleransi
Jumlah kasus pelanggaran hak kebebasan beragama yang lebih banyak, dicatat oleh Setara Institute.  Menurut laporan Setara Institute, selama tahun 2016 terdapat 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama. Jumlah pelanggaran ini meningkat dari tahun sebelumnya, dimana Setara Institute menemukan 236 tindakan pelanggaran pada tahun 2015 dan 177 aksi intoleransi pada tahun 2014. Yang menarik dari temuan Setara Institute ini adalah, dari 270 tindakan pelanggaran kebebasan beragama di tahun 2016, sebanyak 140 tindakan pelanggaran melibatkan para penyelenggara negara sebagai aktor. Sisanya dilakukan oleh aktor non negara.

Fakta-fakta tersebut di atas merupakan tindakan yang mencederai komitmen hidup berbangsa dan bernegara karena salah satu tujuan bernegara adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Selain itu, pelanggaran kebebasan beragama juga telah bertentangan dengan konsensus dasar Bhinneka Tunggal Ika sebagai pemersatu bangsa. Indonesia adalah bangsa yang heterogen, terdapat lebih dari 300 kelompok etnik atau tepatnya 1.340 suku bangsa, ada 187 kelompok penghayat kepercayaan dan enam agama resmi yang diakui di Indonesia yakni Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, dan Khonghucu. Karena pluralitas ini, maka tindakan intoleran sekecil apapun dapat menjadi penyebab gesekan dan konflik sosial yang mengarah pada perpecahan. Pembiaran terus menerus atas pelanggaran hak kebebasan beragama juga akan memunculkan antipati dan kebencian antar kelompok yang berbeda agama.

Jika tidak ditangani secara serius maka tindakan intoleran bukan tidak mungkin dapat meruntuhkan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk mengimplementasikan Hak Kebebasan Beragama guna mencegah disintegrasi bangsa dibutuhkan 3 (tiga) cara yakni: Pertama, mendorong hadirnya negara terhadap kelompok-kelompok masyarakat rawan termarginalkan; Kedua, penegakan hukum berkeadilan; dan Ketiga, pengimplementasian undang-undang yang ada. Ketiga hal di atas selama ini menjadi akar masalah munculnya berbagai konflik horizontal berbau keagamaan di masyarakat dan membuat hak kebebasan beragama tidak dapat diimplementasikan dengan optimal.

Alfanya perlindungan negara bagi kelompok-kelompok minoritas dapat membuat kelompok tersebut semakin termarginalkan dalam kehidupan bermasyarakat. Masalah pentingnya menghadirkan negara dalam menjamin kebebasan hak beragama menjadi sangat mendesak terutama karena ternyata pelaku pelanggaran hak kebebasan beragama banyak melibatkan aktor negara. Dari data-data pada pembahasan sebelumnya terlihat bahwa hampir setengah dari jumlah kasus pelanggaran hak kebebasan beragama melibatkan pemerintah daerah, kepolisian dan institusi-institusi negara lainnya. Konflik keagamaan di daerah umumnya terjadi karena kelemahan karakter kepemimpinan dan tebalnya muatan politik di tingkat lokal. Hasrat untuk memenangkan kontestasi politik di daerah dicapai oleh sebagian parpol dan calon dengan memanfaatkan isu SARA. Oleh karena itu tidak heran, bahwa menjelang Pemilu angka diskriminasi bahkan pelanggaran hak kebebasan beragama semakin subur.

Selain memperkuat hadirnya negara dalam memberi perlindungan, cara lain yang tak kalah penting diperhatikan agar implementasi hak bebebasan beragama dapat optimal ialah menegakkan hukum secara berkeadilan. Berkeadilan maksudnya bahwa hukum harus ditegakkan tanpa memandang latar belakang pelaku tindakan intoleran. Selama ini para pelaku tindakan intoleran tidak takut melakukan aksinya karena hukum tidak ditegakkan dengan adil. Dalam melakukan penegakan hukum menyangkut pelanggaran hak kebebasan beragama, polisi pun terkesan sangat hati-hati bahkan takut menuntaskan kasus intoleran ke ranah hukum. Pembiaran yang demikian kemudian mendorong para pelaku intoleran tidak jera untuk melakukan aksi yang sama di kemudian hari.

Pentingnya Sanksi Bagi Aparatur Negara
Masalah lain dari pelanggaran Hak Kebebasan Beragama ialah tidak terimplementasikannya undang-undang yang ada dalam hidup kemasyarakatan. Undang-undang yang ada, malah hanya sering dipakai sebagai tameng pembenaran tindakan penyegelan rumah ibadat dan pembubaran acara peribadatan. Namun ketika ketentuan dalam peraturan perundangan tersebut sungguh mau dipenuhi oleh satu kelompok misalnya syarat pendirian rumah ibadat sudah lengkap semuanya sebagaimana diminta dalam SKB, justru kemudian muncul persoalan baru yang menghambat implementasi pelaksanaan peraturan tersebut. Dari fakta-fakta yang diperoleh dilapangan, implementasi undang-undang sering gagal karena desakan massa dari ormas yang melakukan demonstrasi dan surat edaran dari kelompok tertentu.

Tidak terimplementasikannya undang-undang juga diakibatkan oleh tiadanya sanksi bagi apatur negara jika tidak melaksanakan isi pasal-pasal peraturan dimaksud. Hal ini membuat kepala daerah tidak perlu kwatir atau takut untuk melaksanakan isi peraturan dimaksud. Pada pasal 14 (empat belas) ayat tiga (3) dengan jelas disebutkan kewajiban pemerintah daerah untuk menyiapkan tempat ibadat sementara bagi kelompok pemohon izin pembangunan rumah ibadat yang sudah memenuhi syarat 90 (sembilan puluh) orang pengguna rumah ibadat, namun belum mendapatkan syarat administrasi berupa dukungan dari 60 (enampuluh) orang penganut agama lain. Jarang sekali, atau hampir tidak ada kepala daerah yang melaksanakan ketentuan ini.

Selain hal tersebut, baik SKB dua menteri maupun UU Penodaan Agama dinilai masih kurang mencerminkan nilai-nilai UUD NRI Tahun 1945. Beberapa pasal dari peraturan perundangan tersebut di atas justru dinilai melanggar Hak Kebebasan Beragama dan menjadi sumber terjadinya tindakan intoleran berujung konflik SARA. Karena itu peran pemerintah sangat dibutuhkan untuk menghilangkan peraturan perundangan yang bertentangan dengan hak asasi manusia dan mencegah pelaksanaan hukum yang timpang antar kelompok sosial. Pengabaian hal tersebut dapat menimbulkan disharmoni sosial yang bisa berujung pada disintegrasi bangsa. [p3m/taskapppra57]

Posting Komentar

Terima Kasih Atas Partisipasi Anda dalam kolom komentar.

[blogger]

MKRdezign

Formulir Kontak

Nama

Email *

Pesan *

Diberdayakan oleh Blogger.
Javascript DisablePlease Enable Javascript To See All Widget